Hal yang paling membuat saya sesak ialah ketika para teman teman pada ngajak, “ke perpus yok, mumpung dosen belum datang, mumpung dosen tidak masuk, mumpung cepat pulang.” Mumpung, mumpung, dan mumpung~
Mau nolak? Nggak enak, nanti dibilang malas untuk kesekian kalinya, tapi kalau saya ngikut bagai hewan kembala ya malah jadi risau. Masalahnya saya nggak tahu mau ngapain disana.
Buku-buku pada jadi hantu di mata saya. Belum lagi kalau para pembaca tidak menata buku dengan baik—ah, ingin rasanya saya mendorong rak buku itu sampai roboh.
Entah mengapa perpustakaan alias perpus adalah tempat yang sangat menyeramkan menurutku—belum lagi kalau teman-teman pada ngajak ke rak buku yang bukunya setebal kardus indomie—sumpah! Rasanya ingin pingsan di tempat dan saat itu juga. Namun, kebiasaan buruk ini tentu tidak kudiamkan begitu saja.
Saya kadang merenung dan merasa bingung dengan apa yang terjadi dengan diri saya sebenarnya—apa karena saya tidak suka membaca? Atau jangan-jangan saya malah terkena bibliophobia—yaitu orang yang takut dengan buku? Kalau dikatakan takut, tidak juga.
Hingga suatu ketika saya pun mengadukan kebiasaan burukku ini pada salah satu senior yang sekaligus satu organisasi denganku. Karena merasa kasihan dan tak ingin melihat saya terus berada dalam kegundahan akan ketiadaan minat membaca akhirnya diapun membawa saya ke perpus. Sungguh saya tidak ingin ikut. Namun katanya, ajakan dia kali ini bakal menghipnotis diriku yang keesokannya bakal mencintai perpustakaan seutuhnya—layaknya mencintai seorang kekasih, bahkan lebih.
Baiklah—akhirnya saya mengikutinya dari belakang sambil melewati rak demi rak buku begitu pula dengan berpindah dari lantai satu ke lantai dua sampai pada akhirnya di lantai empat perpustakaan. Namun mengapa, di dalam hatiku malah bertiup bisikan halus seperti ini: “Ngapain coba saya ngikut. Toh tetap saja saya bosan berada di tempat yang seperti ini. Belum lagi kalau lihat mahasiswa mahasiswi lainnya yang pada nunduk baca. Serius banget hidup mereka, kayak memikul beban beberapa ton saja. Coba kek sekali-kali senyum sama tuh buku. Eh, itu malah pada cemberut dan tegang semua.”
Tiba tiba senior saya pun datang sambil memperlihatkanku satu buku dengan sampul oranye, “Nih, kamu sangat suka mendengar kisah bunda Khadijah, kan? Dengan buku ini, kau akan jauh lebih tahu lagi tentang tokoh idolamu itu. Coba saja baca.”
Senyumnya seketika melabrak pandanganku yang dari tadi ngeyel. “Setebal ini?” tanya saya sambil memandangi buku yang berada di tangannya tersebut yang tebalnya sekitaran 6 cm.
Dia hanya mengangguk kemudian mengajakku ke tempat peminjaman buku. Pikiranku serasa loyo. Lagian kalau saya mau tahu kisah Bunda Khadijah, saya bisa dengar ceritanya di YouTube kali—nggak usah pinjam buku dan baca tuh sederet kata-kata yang ada di dalam buku situ.
Belum lagi kertasnya yang udah kusam bahkan sampul belakangnya udah sobek—kayak bisa disimpan tuh buku di museum saking tuanya.
Hingga suatu ketika karena nggak ada tugas dan nggak ada percakapan menarik di media sosial, akhirnya buku yang dipinjamkan oleh senior di perpus kayaknya memberi saya kode untuk bersahabat dengannya. Awalnya saya merasa gengsi untuk buka dan baca, tapi kayaknya bisalah ngisi waktu daripada tidur mulu. Saya nggak perlu baca mulai dari halaman awalnya, langsung aja di halaman tengahnya yang pas ketika Bunda Khadijah dan Nabi Muhammad bertemu. Setelah ngikuti sederet kata demi kata dan kalimat demi kalimat, hmm.. menarik juga nih buku. Ternyata kekusaman kertas dan sedikit sobek pada sampul bekalangnya sempat menipu diriku.
Dua minggu pun berlalu, seniorku yang rupanya sedang ada di kampung mengirimkanku pesan lewat WhatsApp agar mengembalikan buku tersebut karena sudah jatuh tempo katanya.
“What? Jatuh tempo? Kayak minjam uang koperasi aja,” pikirku.
Akhirnya pas pulang kuliah langsung singgah ke perpus tanpa harus membawa apa-apa selain buku yang kupinjam. Lagian bukunya sudah selesai saya baca, jadi langsung simpan saja di rak buku dan cus pulang. Namun sesampainya di kos, seniorku malah telpon—katanya, “Ingat, jangan lupa ambil kartu perpustakaanku kalau bukunya dikembalikan.”
Pikiranku kosong seketika—kenapa harus ada kartu perpustakaan coba? Setelah kujelaskan kalau bukunya kusimpan begitu saja, suaranya malah nyinyir bagai kuda.
“Kenapa kau simpan begitu saja? Memangnya kamu nggak biasa minjam atau lihat temanmu kek. Kamu harusnya ke tempat pengembalian kemudian bilang ini buku adalah pinjaman atas namaku, bla bla bla bla bla.”
Cukup panjang dia berbicara dan ditutup dengan, “Pokoknya kamu harus ke perpustakaan dan cari tuh buku. Bawa buku itu kemudian ke tempat pengembalian.”
Busyet! Mana coba saya perhatikan teman-teman kalau lagi minjam dan kembalikan buku—kayak saya suka aja ke tempat itu. Tapi mau bagaimana lagi—daripada kena marah dan punya masalah.
“Dasar tuh perpus betul-betul membuat Kyubi saya pengen keluar”—saya mengumpat dalam hati.
Kembali ke tempat yang selama ini saya nggak suka—saya memandanginya baik-baik dari luar dan melihat mahasiswa satu persatu keluar masuk.
“Bagaimana kalau bukunya sudah nggak ada disana? Mampus nih. Hmmm, serasa pengen beli minyak tanah 1 drum lalu saya bakar tempat ini. Sumpah menyusahkan sekali.”
Saya pun kembali masuk, melewati rak demi rak dan mencoba mengingat ingat kalau bukunya saya simpan di mana. Alhamdulillah, itu buku masih keadaan utuh ditempat yang semula. Lagian siapa coba yang minat baca buku setua ini selain saya. Tak perlu berlama-lama, saya pun ketempat pengembalian sambil menyebutkan nama senior. Namun rupanya, di luar dugaan.
“Denda 20.000, Dek.”
Dahiku mengkerut, mana saya nggak bawa uang lagi. Lagian mana saya tahu coba kalau ada sistem denda dendaan. Lagian nih orang ikhlas nggak sih minjamin buku?
“Uangnya mana?”
Mana nggak sabaran lagi—saya udah kayak pengen nabok aja nih pegawai perpus!
“Tunggu kak, saya pulang ambil uang dulu ya. Soalnya saya nggak tahu kalau ada sistem denda-dendaan,” saya menjawab sembari tersenyum kecut.
Pegawainya cuma senyum sambil menyimpan buku itu di dekat monitor.
Sumpah, hari ini adalah terakhir saya ke tempat ini. Sampai wisuda saya nggak bakalan ke tempat ini lagi—bahkan sampai Pak Rektor bersujud di kaki saya, saya akan tetap yakin untuk menolak.
Dan untuk hari esok, sepertinya saya akan membeli perpustakaan milik saya sendiri. Tentu saya akan berbaik hati, akan meminjamkan semua orang buku-buku yang dimiliki perpustakaan saya tanpa harus ada sistem denda. Sementara mulai hari ini, sepertinya saya harus memulai membeli buku demi perpustakaan masa depanku nanti.
Yah, semoga ini bukan sekedar bacot saja yhaaa~