Perpustakaan di Indonesia Memang Nggak Bisa Buka Sampai Malam, apalagi Sampai 24 Jam

Perpustakaan Harusnya Jadi Contoh Baik, Bukan Mendukung Buku Bajakan

Perpustakaan Harusnya Jadi Contoh Baik, Bukan Mendukung Buku Bajakan (unsplash.com)

Ada beberapa hal yang perlu kamu ketahui kenapa perpustakaan di negeri ini belum sanggup hidup 24 jam seperti minimarket atau warung kopi. Mungkin dianggap hal-hal kecil, sepele, tapi cukup serius untuk disimak.

Sebagai pustakawan, saya sebetulnya juga ingin perpustakaan buka 24 jam. Serius. Siapa sih yang tidak ingin melihat perpustakaan hidup sepanjang hari, jadi tempat aman bagi mahasiswa yang kejar deadline, pekerja yang butuh Wi-Fi gratis, atau warga yang ingin membaca tanpa harus beli kopi tiga puluh ribuan.

Masalahnya, hal-hal yang ideal kadang tidak realistis. Alih-alih buka 24 jam, ada banyak hal yang lebih krusial dalam pengelolaan perpustakaan di Indonesia.

Saya yang sudah beberapa tahun melakoni profesi sebagai penjaga perpustakaan rasanya campur aduk. Iya, kata “penjaga” itu memang masih sering melekat dengan pustakawan. Tidak bisa didebat. Di satu sisi, kami membawa beban moral sebagai penyedia literasi, penjembatan informasi, bahkan sering disebut sebagai salah satu kontributor pencerdas kehidupan bangsa. Atau lebih puitisnya, penjaga jendela dunia, ceunah.

Di sisi lain, kami masih harus menjawab pertanyaan klasik yang datang berulang-ulang seperti kaset rusak. Seperti, “Kenapa sih perpustakaannya selalu tutup cepat?”, atau “Kenapa nggak buka 24 jam aja sih?” Jawaban singkatnya: mau. Jawaban panjangnya, sini saya jelaskan dulu perkaranya.

Membuka perpustakaan 24 jam artinya pembengkakan anggaran

Keterbatasan dana adalah penyebab utama, dan ini bukan rahasia negara. Perpustakaan di Indonesia sejak lama hidup dalam mode bertahan, bukan berkembang. Anggaran untuk pemeliharaan gedung, pengadaan koleksi, listrik, keamanan, hingga sistem teknologi informasi saja sering dianggap “sudah terlalu besar”. Padahal, kalau dihitung dengan jujur, justru sering tidak cukup.

Jika membuka perpustakaan 24 jam, artinya membuat anggaran akan membengkak. Mulai biaya listrik, keamanan, kebersihan, dan tentu saja biaya kerja. AC harus terus on, selain keamanan pengunjung dan pegawai. Sehingga perlu biaya kebersihan ekstra, karena perpustakaan butuh pendanaan. Nah di sinilah masalahnya: institusi sering ingin memberikan layanan ekstra, tapi tidak ingin membayar ekstra.

Jangankan membayar staf dengan sistem shift, membayar pustakawan sesuai tupoksinya saja masih jadi kemewahan. Gaji rendah di dunia perpustakaan bukan isu baru. Ia sudah jadi rahasia umum, bahkan mungkin sudah jadi folklore profesi. Belum lagi tambahan pekerja non-pustakawan, seperti tukang bersih-bersihnya. Sudah berapa biaya yang akan membengkak coba. Apalagi jika dipaksakan menjadi 24 jam.

Pengunjung malam hari hanya ideal di kepala, sepi di dunia nyata

Secara pribadi, saya juga akan lebih memilih menghabiskan malam di perpustakaan daripada di kafe. Duduk tenang, Wi-Fi stabil, tidak perlu beli minuman hanya demi numpang colokan. Kedengarannya ideal. Namun nyatanya pustakawan hanya berkawan sepi.

Pengalaman magang saya di salah satu perpustakaan kampus ternama di Malang membuktikan satu hal, minat kunjungan malam hari itu tidak setinggi yang dibayangkan. Perpustakaan tersebut buka sampai pukul 20.00 bahkan 22.00 WIB. Tapi pengunjungnya bisa dihitung jari. Akhirnya pustakawannya pun ikut gigit jari.

Secara profesional, perpustakaan memang berkewajiban menyediakan layanan maksimal meski pengunjung sedikit. Tapi dalam logika birokrasi, angka tetap berbicara. Kalau data menunjukkan bahwa layanan malam tidak terlalu diminati, atasan pasti akan bertanya, “Urgensinya di mana? Banyak-banyakin pengeluaran saja”.

Yah, kurang lebihnya seperti itu. Tau kan, kalau birokrasi tidak mau bekerja sama dengan literasi. Ia hanya mau bekerja dengan laporan, data, dan efisiensi anggaran.

Perpustakaan itu ruang sosial, bukan sekadar jam operasional  

Ada satu hal yang jarang dibicarakan, perpustakaan 24 jam tidak akan hidup jika budaya belajarnya tidak hidup. Di Jepang, perpustakaan Nakajima, atau UCL di London, perpustakaan 24 jam bukan sekadar bangunan yang menyala lampunya. Ia hidup karena masyarakatnya terbiasa menggunakan ruang publik secara disiplin, tenang, dan bertanggung jawab.

Di Indonesia, membuka perpustakaan malam hari sering justru menambah pekerjaan non-literasi. Nanti ujung-ujungnya mengatur keributan, menegur pengunjung yang tidur, bahkan memastikan perpustakaan tidak berubah fungsi menjadi ruang “mojok” yang tidak-tidak. Ini bukan menyalahkan pengunjung, tapi menunjukkan bahwa perpustakaan bekerja dalam konteks sosial yang nyata, di Indonesia adalah PR plus lainnya.

Jadi, kenapa pustakawan cenderung diam ketika dihujat soal jam buka, bukan karena kami tidak peduli. Tapi karena kami tahu, kalau membuka mulut tanpa kuasa hanya akan menambah daftar keluhan tanpa solusi. Meskipun kami juga bermimpi bisa membuka perpustakaan buka 24 jam, tapi kami juga ingin work-life balance sebagai pustakawan sejahtera. Tidak kelelahan, tidak ditekan ugal-ugalan, tidak miskin, dan tidak terus dianggap “cuma penjaga gedung”.

Mungkin yang perlu ditanya bukan hanya kenapa perpustakaan tidak buka 24 jam, melainkan seberapa serius kita sebagai negara dan masyarakat jika ingin menjadikan literasi sebagai kebutuhan utama. Bukan hanya slogan saja. Kalau jawabannya masih setengah-setengah, ya jangan heran kalau perpustakaan pun hidupnya setengah hari.

Yang jelas sih, jangan keburu marah, jangan langsung menuduh pustakawan malas, jangan buru-buru menyimpulkan juga bahwa perpustakaan Indonesia tutup cepat karena tidak peduli pada kebutuhan publik. Tapi, realitas yang ada berbicara lebih banyak ketimbang yang ada di dalam kepala.

Penulis: Ferika Sandra
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Derita Jadi Pustakawan: Dianggap Bergaji Besar dan Kerjanya Menata Buku Aja

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version