Di banyak kota, perpustakaan daerah selalu dibayangkan sebagai tempat aman bagi siapa pun yang ingin mencari ketenangan, literasi, dan kadang, kalau sedang sial, tempat lari dari panas terik dan ketika kuota internet habis. Tapi itu semua hanya teori. Di lapangan, perpustakaan daerah lebih sering berperan sebagai gedung pemerintah biasa yang kebetulan punya rak buku. Di tempat saya pun, Rembang, tidak kebal dari fenomena ini.
Masalahnya sederhana tapi menjengkelkan, jam buka perpustakaan daerah mengikuti jam kerja ASN. Artinya, ketika anak sekolah masih duduk manis di kelas, ketika pegawai sedang kerja, ketika masyarakat punya waktu paling sedikit untuk main ke perpus, justru di situlah perpustakaan buka. Sementara ketika orang-orang akhirnya punya waktu luang, libur, akhir pekan, atau setelah jam pulang kantor, perpustakaan malah tutup seperti toko bangunan hari Minggu.
Perpustakaan memang tempat membaca, tapi jadwal bukanya sering kali tidak “membaca” kehidupan masyarakat.
Sekolah masih jalan, perpus sudah tutup
Kalau dipikir-pikir, siapa sebenarnya target perpustakaan daerah? Anak sekolah? Remaja? Mahasiswa? Masyarakat umum? Jawabannya: iya. Semua iya. Tapi jam bukanya bilang lain.
Ambil contoh pelajar SMA. Jam pulang mereka paling cepat pukul dua siang, seringnya tiga. Tambah perjalanan pulang, ganti baju, dan izin ke orang tua, baru bisa melipir ke perpus sekitar jam empat sore. Masalahnya, pukul empat sore itu justru jam-jam krusial ketika petugas mulai merapikan kursi, mematikan sebagian lampu, dan menyiapkan pintu untuk dikunci. Alih-alih dapat buku, pengunjung justru mendapat tatapan “Sudah ya, Mas. Besok lagi.”
Padahal, di banyak tempat, perpustakaan justru ramai pada sore hari. Jam tiga sampai enam adalah golden hour bagi mereka yang tidak sempat datang pagi. Itu masa ketika tugas menumpuk tiba-tiba terasa mendesak dan Wi-Fi perpustakaan tampak lebih menarik dari paket data.
Ketika hari libur saat pengunjung ada, perpus malah tutup
Yang paling sulit dipahami adalah perpustakaan tutup di hari libur. Hari ketika orang benar-benar punya waktu santai, tidak terburu piket kantor atau jam pelajaran, justru hari ketika pintu perpustakaan terkunci rapat.
Ini seperti gym yang tutup di awal tahun, padahal itulah momen ketika orang paling semangat berubah. Atau seperti warung bakso yang tutup saat musim hujan, padahal itu waktu emas menarik pelanggan.
Apalagi perpustakaan daerah sering digadang-gadang sebagai ruang publik, tempat belajar, dan sarana pembentukan budaya literasi. Tetapi bagaimana budaya literasi mau tumbuh kalau jadwalnya malah tidak bersahabat dengan ritme hidup masyarakat?
Perpustakaan daerah itu ruang belajar publik atau ruang kerja ASN?
Salah satu masalah utama adalah perpustakaan dianggap sama saja dengan kantor pemerintahan lainnya. Jamnya sama, ritmenya sama, suasananya pun kadang sama, sunyi, tertib, dan tutup di hari-hari ketika pengunjung paling berharap datang.
Padahal fungsi perpustakaan itu berbeda. Ia bukan tempat mengurus surat pindah atau membuat legalisir. Ia adalah ruang publik, tempat orang belajar, mengeksplorasi, dan menghabiskan waktu tanpa harus merasa dikejar jam kerja birokrasi.
Perpustakaan harusnya menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat, bukan sebaliknya.
Perpustakaan daerah bisa lebih ramah pengunjung, kalau mau
Beberapa daerah di Indonesia sudah mulai menerapkan jam operasional yang lebih manusiawi: buka sampai malam, buka di akhir pekan, atau punya sesi khusus untuk anak sekolah. Ada juga yang membuat zona belajar malam, sehingga pelajar bisa mengerjakan tugas tanpa harus berdesakan di kafe ber-AC yang penuh colokan.
Tidak perlu muluk-muluk sebenarnya. Minimal, perpus bisa buka sampai pukul tujuh malam, atau menyediakan shift piket di akhir pekan. Bahkan sekadar membuka dua jam pada hari Minggu pagi saja sudah cukup membuat banyak orang senang.
Pada dasarnya, masyarakat bukan menuntut layanan lebih, tapi hanya meminta layanan yang logis.
Perpustakaan bukan untuk pegawai, tapi untuk pengunjung
Perpustakaan daerah adalah ruang belajar publik. Ruang yang seharusnya mengikuti pola kegiatan masyarakat, bukan pola absensi kantor. Jika pemerintah ingin meningkatkan minat baca, ingin anak-anak lebih akrab dengan buku, ingin pelajar punya tempat aman dan nyaman untuk belajar, jam operasional perpustakaan harus menyesuaikan kebutuhan pengunjungnya, bukan sebaliknya.
Selama perpustakaan masih dibuka seperti kantor, bukan seperti ruang publik, maka fungsi utamanya akan selalu setengah jalan. Buku-buku tetap rapi di rak, tapi pengunjungnya tidak ada. Dan perpustakaan, alih-alih menjadi pusat literasi, hanya akan menjadi gedung sunyi yang buka di waktu yang salah.
Penulis: Mochamad Firman Kaisa
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.



















