Isu kesuburan, anak kecil, hantu, dan perempuan-perempuan yang dipaksa melampui batasan mereka lantaran menjadi korban dari dosa masa lalu. Empat hal ini mudah kita jumpai dalam hampir setiap filmnya Joko Anwar, semudah menjumpai Indomaret dan warmindo di pinggiran jalan atau sudut-sudut gang Yogyakarta.
Dari mulai perempuan yang ngeue sama tukang CD bajakan dan jadi sial karena nyolong barang milik koruptor, perempuan yang gentayangan gara-gara ikut sekte kesuburan, perempuan yang minggat karena tak tahan kemiskinan, sampai perempuan yang rebutan anak sama wewe gombel. Pendek kata, kehadiran perempuan dan kaitannya dengan anak atau kesuburan menjadi identik dengan film-film garapan sutradara ini. Termasuk film terbarunya, Perempuan Tanah Jahanam.
Perempuan Tanah Jahanam dibuka dengan adegan yang cukup ngegas. Seorang penjaga gerbang tol, Maya (Tara Basro), tiba-tiba diserang oleh lelaki misterius dengan sebilah golok—saya sebetulnya tidak yakin apakah ini golok atau pedang, saya tidak begitu melihatnya dengan jelas, tapi mari kita sebut saja golok demi kesan yang lebih dramatis. Lelaki ini memanggil Maya dengan nama Rahayu dan mengoyak bekas luka pada area paha perempuan itu, tanpa ba-bi-bu, seperti orang kesetanan.
Meski kehadirannya di film hanya untuk mati ditembak polisi sebelum sempat mengayunkan golok, akan tetapi lelaki itulah yang membuat Maya terpantik menyelami masa lalunya dan menemukan sebuah kemungkinan bahwa keluarga aslinya kaya raya. Memiliki warisan harta yang banyak. Asumsi tersebut didapat manakala Maya melihat foto dirinya semasa kecil bersama kedua orangtuanya di depan rumah mereka yang besar.
Dipengaruhi oleh tuntutan ekonomi yang kian menghimpit dan rasa penasaran atas masa lalu, Maya pun memutuskan untuk pergi menuju desa yang nama serta alamatnya tertera di balik foto itu. “Harjosari.” Ia pergi besama sahabatnya, Dini (Marissa Anita), yang ceriwis tetapi perhatian. Khas sidekick-sidekick dalam film yang cenderung dibuat hanya untuk direlasikan dengan karakter tokoh utama semata.
Singkat cerita, setelah menempuh perjalanan yang jauh, Maya dan Dini pun sampai di Harjosari. Desa itu terletak di pedalaman dan masih sangat tradisional. Joko Anwar, untuk sejenak, menghadirkan kampung-kampung ala zaman baheula yang sebagian besar rumahnya masih berbentuk joglo dan terbuat dari kayu. Pohon-pohon yang rindang, kandang sapi, dan jalan setapak tanpa aspal yang membelah ilalang, juga menambah suasana nostalgia tersendiri bagi saya.
Namun semua hal menyenangkan itu berakhir manakala saya memasuki scene areal perkuburan, rumah kosong milik keluarga Maya, dan tatapan-tatapan creepy masyarakat Harjosari. Oh, tetapi itu hanya baru permulaan saja. Karena misteri dalam Perempuan Tanah Jahanam justru hadir setelahnya, bagaikan potongan puzzle.
Seperti film Pengabdi Setan, Joko Anwar pun membangun konflik yang terpusat pada seorang anak sebagai generasi yang kena imbas dosa masa lalu keluarganya. Dan masih menggunakan formula yang sama pula, dosa besar tersebut berkaitan dengan perkawinan, kesuburan, serta iblis. Sehingga kemalangan di film ini, tertuju secara khusus terhadap para perempuan di dalam relasi masyarakat yang ada. Secara garis besar, kemalangan-kemalangan tersebut direpresentasikan melalui masing-masing tokohnya.
1. Dini
Dini (bukan N.H Dini sastrawan itu) adalah perempuan pertama yang kemalangannya membuat saya agak malas menonton kelanjutan film ini. Marissa Anita membuat Dini jadi tokoh yang mudah mendapat simpati: kocak, cerwet, dan juga perhatian terhadap teman. Saking perhatiannya, Dini bahkan mau-mau saja diajak Maya untuk jualan baju di sebuah pasar. Ketika Maya hendak pergi ke Harjosari karena ingin membuktikan apakah keluarganya memang betul-betu kaya, Dini pun ikut. Selain karena faktor pertemanan, Dini pun berharap bisa kecipratan kekayaan sahabatnya tersebut. Sayang sekali, menjelang pertengahan film, Dini harus kena sial gara-gara ngaku bernama Rahayu setelah diberitahu dua orang bapak-bapak super creepy mengenai warisan keluarga Donowongso. Ia pun diculik dan digorok Nyi Misni.
Saya betul-betul simpati sama tokoh Dini yang tidak tahu apa-apa ini. Tapi boleh jadi ia kelak akan memiliki filmnya sendiri yaitu “Mba Dini”—si kuntilanak yang nongol di video anak kecil dan membuat netizen melongo.
2. Ratih
Ratih (Asmara Abighail) adalah perwakilan dari para perempuan hamil di Harjosari yang cemas akan kelahiran anaknya. Sebagaimana kita tahu lewat sinopsis, Harjosari adalah desa yang terkutuk pasca hilangnya tiga orang anak semasa Ki Donowongso menjadi lurah di sana. Semua bayi yang lahir di Harjosari tidak memiliki kulit dan seringkali terpasak dibunuh beberapa menit setelah lahir ke dunia.
Ratih, sebagai calon ibu-ibu generasi sekarang, juga menanggung kemungkinan terpapar kutukan tersebut. Sehingga suaminya, terpaksa pergi ke kota dan mati ketika hendak membunuh Maya alias Rahayu menggunakan golok. Ironisnya, ia belum tahu nasib suaminya tersebut hingga bertemu Maya pada pertengahan film.
Meski demikian, Ratih digambarkan sebagai satu-satunya penduduk yang tidak ingin membunuh Rahayu. Sebab, bagi Ratih, membunuh Rahayu tidak menjadi solusi. Ia banyak membantu Rahayu lari dari kejaran warga. Harus saya akui, Asmara Abighail, walaupun medoknya agak lebay, tetapi berhasil memerankan Ratih dengan cukup baik dan sebentar lagi mungkin kita akan melihat wajahnya terpampang di meme dengan pertanyaan, “Kerasa enggak?”
3. Nyi Shinta
Nyi Shinta (Faradina Mufti) merupakan istri Ki Donowongso yang, karena rasa frustasi tak kunjung memperoleh anak, kemudian selingkuh dengan Saptadi. Malang, perselingkuhan ini diketahui oleh Nyi Misti. Tak tinggal diam, Nyi Misti pun mengguna-nggunai Saptadi agar melupakan Shinta. Tidak berhenti sampai di situ, Nyi Misti bahkan berusaha menggugurkan kandungan Shinta, meskipun gagal.
4. Nyi Misni
Nyi Misni (Christine Hakim) menjadi antagonis utama di balik kemalangan desa tersebut. Ia, dalam porsi yang besar, telah menyebabkan kemalangan pada Rahayu dan masyarakat desa.
Nyi Misni hadir sebagai tokoh yang sadis dan dingin. Misalnya saja, ketika ia menggorok leher Dini tanpa basa-basi seperti menebas lobak atau semacamnya. Meski demikian, kekejian Nyi Misti juga tak lantas menunjukkan bahwa ia bukan orang kalah. Dalam film ini, Nyi Misti juga semula merupakan korban dari relasi kuasa bapaknya Ki Donowongso. Diceritakan, bahwa bapaknya Ki Donowongso meniduri Misti berkali-kali hingga lahirlah Saptadi (Ario Bayu)—lurah cum dalang setelah Donowongso.
Alih-alih menuntut sang majikan untuk mengakui anaknya, Misti justru tak bisa berbuat apa-apa karena berada di status sosial lapisan bawah (pembantu). Dendam Misti terus membara hingga ia tahu anaknya, Saptadi, mulai bermain api dengan Nyi Shinta alias istri Donowongso. Ia pun mengguna-guna Saptadi agar melupakan Nyi Shinta dan merancang konspirasi di balik hancurnya keluarga Donowongso. Nyi Misti ibarat Ontosoroh versi klenik, yang bangkit dari kekalahannya dan menjadi “dalang” sesungguhnya di jagat Perempuan Tanah Jahanam.
5. Maya alias Rahayu
Lagi-lagi Tara Basro didapuk sebagai pemeran tokoh utama—dan tetap dibikin basah oleh air mata penderitaan semata. Seperti dalam A Copy of My Mind, Pengabdi Setan, atau Gundala, Tara Basro menjadi perempuan tegar yang menguatkan, bukan hanya kepada tokoh-tokoh lain di filmnya Joko Anwar, tetapi juga kita selaku penonton. Setidaknya, kehadiran Tara Basro cukup meneduhkan, entah saat dikejar-kejar setan maupun jadi bagian dari orang-orang yang akrab dengan penindasan.
Maya alias Rahayu yang diperankan Tara Basro di film ini sudah sengsara sejak janin. Diguna-guna Nyi Misti supaya gugur, tapi gagal dan malah terlahir tanpa kulit. Terpaksalah sang bapak tiri yang gelap mata, Ki Donowongso, bersekongkong dengan Iblis. Ia mengorbankan tiga anak perempuan di Harjosari untuk menyembuhkan Rahayu. Namun dari situlah masalah dimulai. Setelah Ki Donowongso dan keluarganya dibantai, Rahayu dilarikan ke kota oleh salah seroang pembantu.
Karena masih membawa serta stampel “terkutuk” pada dirinya, Rahayu pun menjadi incaran warga untuk digorok dan dikuliti. Sepanjang film, kita akan dibawa untuk bersimpati terhadap Rahayu yang merupakan korban dosa masa lalu kedua orangtuanya dan konspirasi Nyi Misni.
*
Perempuan Tanah Jahaman menurut saya pribadi masih kalah dari Pengabdi Setan. Dari segi narasi konflik, film ini mainstream belaka. Bagaimana seseorang menenung dan membunuh orang lain karena sakit hati. Sementara pengabdi setan, bisa membuat saya takut berhari-hari terhadap adanya sekte-sekter tertentu yang mungkin sekali berada di sekitar kita. Pun zombi-zombi berwujud pocong yang keluar menjelang akhir film, terasa begitu horor.
Selain itu, formula Joko Anwar yang senantiasa bicara soal masalah keluarga dan perempuan sudah terasa usang. Meski demikian, kita tetap bisa mengagumi beberapa perempuan dalam film ini, seperti Nyi Misti atau Maya atau Ratih. Setidaknya, mereka membuktikan bahwa dominasi tidak pernah bisa mutlak. Di belakang kekuasaan lelaki, selalu ada sosok perempuan yang memengaruhinya. (*)
BACA JUGA Lagu Lingsir Wengi dan Kaitannya Terhadap Kemunculan Kuntilanak di Penginapan atau tulisan Akhyat Sulkhan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.