Perempatan Kedung Cowek Paling Barbar di Surabaya: Lampu Merah dan Rambu Lalu Lintas Nggak Ada Harga Dirinya di Sini

Perempatan Kedung Cowek, Perempatan Paling Barbar di Surabaya: Lampu Merah dan Rambu Lalu Lintas Nggak Ada Harga Dirinya di Sini

Perempatan Kedung Cowek Paling Barbar di Surabaya: Lampu Merah dan Rambu Lalu Lintas Nggak Ada Harga Dirinya di Sini (Unsplash.com)

Lampu merah dan rambu lalu lintas nggak ada harga dirinya di Perempatan Kedung Cowek Surabaya.

Saya mengamini kalau lampu merah Margorejo Surabaya memiliki durasi yang ora umum. Durasi yang lama itu tentu menciptakan keruwetan bagi pengendara. Apalagi ketika hal itu menimbulkan macet di tengah panas Surabaya yang nggak umum, belum lagi ada kereta yang lewat. Semua keresahan soal lampu merah Margorejo pernah ditulis Mbak Tiara Uci beberapa minggu lalu di sini.

Akan tetapi keruwetan di Surabaya tentu nggak hanya terjadi di sana. Pasalnya, masih ada jalan lain yang juga bikin ruwet pengendara. Misalnya Jalan Perak, Jalan Raya Waru, hingga Jalan MERR yang pernah saya tuliskan di Terminal Mojok.

Siapa sangka kalau di Surabaya bagian utara, ada satu perempatan yang pantas menyandang predikat perempatan paling ruwet. Namanya perempatan Kedung Cowek di Kecamatan Kenjeran. Saking ruwetnya lalu lintas di sana, benang ruwet saja minder kalau disuruh ke sana.

Perempatan Kedung Cowek paling barbar di Surabaya

Warga Surabaya tentu paham kalau kemacetan di Margorejo adalah momok bagi tiap pengendara yang melintas. Durasi lampu merahnya yang super lama, ditambah kereta api yang melintas membuat jalan di sana jadi macet. Belum lagi ada Jalan Ahmad Yani di seberang Royal Plaza dan Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya yang bikin macet tambah nggak wajar.

Akan tetapi kemacetan di sana nyatanya masih bisa diatasi. Nggak sesemrawut kemacetan yang dibayangkan banyak orang. Tapi di perempatan Kedung Cowek berbeda. Kemacetan di sini tak terkendali dan bahkan bisa dibilang rajanya macet di Surabaya.

Pengalaman saya ketika nyore di wisata kolong Jembatan Suramadu nyatanya nggak berjalan mulus. Saat itu saya berniat ingin menikmati sunset di Pantai Kenjeran sambil melihat jembatan terpanjang se-Indonesia di situ. Apesnya, saya malah terjebak macet parah di perempatan Kedung Cowek. Saking macetnya, saya yang harusnya tiba jam 5 sore malah sampai kolong Suramadu jam 6.

Potret kemacetan di Surabaya yang mirip kemacetan di India

Kalau saya perhatikan, perempatan Kedung Cowek malah menjelma jadi New Delhi versi Surabaya ketika sore tiba. Tepatnya jam 4 sampai 6 sore. Kemacetan di sini mencapai puncaknya pada jam segitu. Suara klakson kendaraan yang bersahutan, mobil yang rapat dan motor yang umpel-umpelan jadi pemandangan lumrah di sini.

Kenapa saya sebut New Delhi versi Surabaya? Ya soalnya pada tahun 2021 New Delhi menduduki urutan kedua sebagai kota paling macet dan semrawut di Asia.

Saya terkadang mbatin, perasaan jalan-jalan poros lain di Indonesia nggak se-chaos di perempatan Kedung Cowek, deh. Gimana nggak chaos, kendaraan datang dari arah selatan, barat, timur, dan utara tumpah ruah di sini.

Lampu merah dan rambu lalu lintas nggak punya harga diri di mata pengendara

Saking ramainya kendaraan yang melintasi perempatan Kedung Cowek, rambu lalu lintas di sana seakan nggak punya harga diri. Lampu merah di sana pun bagai lampu hiasan jalan. Nggak dihiraukan pengendara yang keburu ingin melintas.

Maka nggak usah kaget kala kecelakaan kerap terjadi di perempatan ini. Data yang saya telusuri secara mandiri pun menunjukkan bahwa pada tahun 2023, terjadi puluhan kecelakaan di perempatan Kedung Cowek, baik kecelakaan ringan hingga berat. Itu belum termasuk hitungan pelanggaran lalu lintasnya, ya. Entah ada berapa ratus pelanggaran per jamnya.

Jadi, perempatan Kedung Cowek sebenarnya adalah cerminan dari wajah Surabaya yang masih belum tertata rapi. Kemacetan parah dan minimnya kesadaran pengendara bak bom waktu yang siap meledak. Saya nggak bermaksud mendiskreditkan warga Surabaya utara, tapi kalau dipikir-pikir kok semua pelanggaran ada di sana? Au, ah.

Pemerintah yang turun tangan untuk mengatasi masalah ini sepertinya juga akan angkat tangan. Apalagi jika ada warga yang kalau dituturi akan ngotot bilang, “Wong ini jalannya Gusti Allah, kok!” Apa nggak stres kalian?

Penulis: Adhitiya Prasta Pratama
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Surabaya Selepas Hujan Tak Lagi Seindah Video Orang-orang, Hanya Tinggal Banjir dan Macet di Jalan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version