Tolok Ukur Keberhasilan KKN Itu Bukan pada Jumlah Proker yang Berhasil, tapi Mahasiswa dan Desa Bisa Saling Belajar!

KKN itu Pengabdian Masyarakat, Bukan Menjilat Kelurahan (Unsplash) mahasiswa KKN, KKN di kota

KKN itu Pengabdian Masyarakat, Bukan Menjilat Kelurahan (Unsplash)

Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap penulis yang menuliskan tulisan berjudul Balasan terhadap Tulisan Jelek Soal Mahasiswa KKN yang Katanya Berlagak Pahlawan: Mahasiswa KKN Mana yang Menyakitimu, Bung? Saya sudah membaca tulisan itu beserta tulisan yang ditanggapi oleh tulisan kedua. Namun, alih-alih melakukan kritik terhadap tulisan yang pertama, tulisan yang kedua malahan jatuh kepada problem yang sama dibahas oleh penulis pertama yaitu pentingnya komunikasi antara mahasiswa dan warga.

Dan yang kedua, penulis penanggap kedua justru gagal paham membedakan tantangan yang bersifat sistemik dengan tantangan yang bersifat problem kecil di lapangan.

Problem KKN kita bukan hanya soal masalah komunikasi antara warga dan mahasiswa. Lebih jauh daripada itu, adalah masalah relevansi zaman terhadap kegiatan KKN dan manfaat KKN itu untuk siapa.

Zaman sudah berubah semenjak era internet masuk ke desa dan membuat luapan informasi semakin menggila setiap hari. Pengetahuan dari kampus yang bersifat ilmiah harus menghadapi dua tantangan sekaligus. Yaitu bagaimana cara membawa informasi secara renyah dan mudah diterima. Serta yang kedua bagaimana informasi yang bersifat ilmiah itu mampu bersaing dengan ratusan ribu informasi lainnya di internet. Belum lagi akses pendidikan dan kesehatan secara nyata sudah masuk ke desa-desa terutama di Jawa dan Sumatera.

Zaman sudah berubah, Bung

Bagi yang pernah menonton film Cintaku di Kampus Biru, pasti tidak akan asing dengan scene ketika mahasiswa melakukan kunjungan ke sebuah daerah di Dieng. Adegan tersebut dengan sangat apik menampilkan kondisi desa yang sangat jauh tertinggal, akses informasi yang minim, serta pengetahuan tentang kesehatan yang sangat terbatas. Begitulah sekiranya gambaran hubungan antara kampus dan masyarakat pada era Orde Baru. Mahasiswa dianggap sebagai agen perubahan yang memang mampu mengubah banyak aspek dalam kehidupan masyarakat.

Kini semua keadaan berubah. Desa-desa sudah diserbu oleh segala macam informasi dan akses yang lebih memadai dibandingkan dulu. Desa sekarang lebih mampu untuk menghasilkan sarjana dan ahli-ahli lainnya. Ketika lulus mereka membangun desa atau merantau ke kota lain sekadar mencari penghidupan serta pengalaman hidup. Zaman sudah berubah bung! Masyarakat desa sudah bukan merupakan masyarakat yang kaget akan teknologi baru ataupun pengetahuan baru karena telah menerima informasi jauh sebelum acara KKN digelar.

Tantangan mahasiswa sekarang bukan hanya soal membangun komunikasi yang efektif dengan masyarakat, melainkan lebih dari itu adalah masalah basis keilmuan. Seorang mahasiswa harus pintar-pintar membungkus informasi ilmiah yang tidak sekadar ilmiah namun juga berguna untuk masyarakat. Belum lagi ketika pengetahuan kampus secara langsung harus berhadapan dengan logika mistika masyarakat atau berita hoax yang ada dalam masyarakat, maka mahasiswa harus pintar dalam melakukan pendekatan tanpa menghasilkan konflik yang berarti.

Kegagalan KKN bukan sepenuhnya salah dari mahasiswa dalam menjalankan komunikasi dengan warganya. Di balik itu semua ada hegemoni pengetahuan dan kelirunya tujuan KKN sejak awal. Sehingga ketika KKN berlangsung bukannya memberikan dampak namun hanya akan terfokus pada selesainya program KKN.

Tentu saya sangat senang dan mendukung apabila ada program yang secara nyata memang berdampak baik secara panjang terhadap masyarakat. Tapi, dengan cara apa kita bisa menghakimi program KKN yang satu berhasil, tapi yang lain gagal?

KKN itu memang untuk mahasiswa

Kalau ada program KKN yang jalan, selamat. Tapi kalau gagal, ya nggak apa-apa. Memang untuk belajar sebagai mahasiswa itu perlu salah dan keliru, dan tidak ada salahnya mengalami hal seperti itu.

Saya jadi teringat dengan sebuah video di YouTube Mojok yang dibawakan secara baik oleh Muhidin M Dahlan ketika menjelaskan mengenai BTI (Barisan Tani Indonesia). Video itu secara jelas membawa semangat kepada segenap kaum intelektual Indonesia untuk tidak menggurui masyarakat maupun secara terang-terangan mencatat di depan rakyat. Malahan sebaliknya seorang intelektual harus belajar dari rakyat, merasakan penderitaan rakyat dan mampu untuk memahami persoalan rakyat.

Ketika seorang mahasiswa sudah sampai pada pemahaman yang baik terhadap problem di masyarakat maka sejatinya dirinya telah melakukan tugas intelektual dengan baik dan adil.

Sebenarnya tidak perlu suatu kegiatan KKN itu masuk ke dalam berita nasional. Cukup melakukan refleksi kritis terhadap problem yang dihadapi oleh rakyat sudah merupakan langkah yang benar untuk belajar dari rakyat. Sejatinya, mahasiswa itu berasal dari rakyat dan pada saatnya nanti akan atau sudah menjadi rakyat dengan sekelumit masalah sosial yang membelitnya. Sehingga program KKN berbasis dampak itu bagus, tapi bukan itu inti dari KKN dijalankan. Sebab, aktor utama dari seluruh kegiatan KKN adalah mahasiswa. Untuk apa suatu program KKN yang bagus ketika KKN namun tidak sedikit pun memunculkan rasa keadilan sosial yang akan melekat pada diri mahasiswa itu seumur hidupnya?

Jadi, itulah yang harusnya diomongkan. Bukan mencari siapa pahlawan, siapa beban. Sebab, kalau begitu terus ya tujuan utamanya nggak tercapai dong. Nggak capek debat terus?

Penulis: Yoga Aditya Leite
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Mahasiswa KKN: Berlagak Pahlawan, padahal Cuma Beban. Pahlawan Sebenarnya ya Masyarakat Desa!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version