Perdebatan Film Dua Garis Biru dan Haruskah Karya Seni Memiliki Pesan Moral?

Perdebatan Film Dua Garis Biru dan Haruskah Karya Seni Memiliki Pesan Moral?

Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Indonesia, Reza Indragiri, dalam acara Rosi Kompas TV episode “Film, Prestasi dan Kontroversi”, saat diminta tanggapan mengenai film Dua Garis Biru sebagai pemerhati anak menyiratkan bahwa sebuah film harus mengkampayekan isi dari Undang-Undang. Dalam hal ini, pelarangan kontak seksual pada anak dan nikah usia dini yang itu digambarkan dalam film tersebut. Pernyataan ini memantik perdebatan dengan Garin Nugroho mengenai, apakah perlu sebuah film memiliki pesan moral?

Saya rasa munculnya pandangan sebuah film atau karya seni lainnya harus memiliki pesan moral. Hal ini sudah ditanamkan sejak dini di sekolah-sekolah. Saya misalnya, di buku pelajaran Bahasa Indonesia dulu diajarkan, langkah pertama dalam mengarang cerita adalah harus tahu dulu apa pesan yang ingin disampaikan, baru kemudian membuat cerita. Kaidah ini saya pakai untuk membuat cerita drama dalam salah satu tugas pelajaran tersebut.

Bahkan tanpa saya sadari sebelumnya, sepertinya kaidah itu masih saya pakai untuk membuat drama perpisahan waktu MA. Hasilnya tentu adalah karya dengan cerita yang monoton. Seorang suami yang selingkuh lalu dapat musibah sampai akhirnya insaf kembali pada istrinya, misalnya. Persis kayak cerita di sinetron-sinetron adzab.

Kaidah yang saya dapat dari buku pelajaran SD itu ditambah lagi dengan pernyataan guru Bahasa Indonesia saya waktu MA. Beliau mendefinisikan bahwa karya sastra adalah karya yang memiliki pesan kebaikan dan disampaikan dengan cara yang indah. Mungkin pandangan-pandangan inilah yang menciptakan semacam keharusan bahwa film atau karya seni lainnya harus memiliki pesan moral sebagaimana yang disampaikan Pak Reza di atas.

Nah, pandangan ini mendapat tanggapan dari pelaku kesenian yang punya reputasi internasional dan menghasilkan karya dengan tema sensitif seperti Garin Nugroho, sutradara film Kucumbu Tubuh Indahku dan Eka Kurniawan, novelis Cantik Itu Luka.

Garin, misalnya, dalam acara yang sama langsung menanggapi pernyataan Pak Reza tadi. Bahwa pandangan yang semacam ini bermasalah dan menghambat produktifitas film berkualitas dengan tema yang beragam, sebab film lebih luas dari itu. Selain bisa dibuat untuk menyampaikan pesan, film juga bisa sebagai pemantik ruang diskusi baru, bahan perenungan, potret bagi realitas, dan sebagainya. Mendidik moral pada penonton itu bukan tugas pembuat film.

Senada dengan ini, Eka Kurniawan dalam blog esainya “Pesan Moral” juga menyatakan jengkel dengan anggapan karya seni harus punya pesan moral atau diberi penghargaan karena mengangkat tema tertentu. Ia menuliskan, “Jika ingin menulis karya bermoral, tulislah. Jika ingin menulis karya tak bermoral, tulislah. Yang akan membuat saya membaca novel itu pertama-tama bagaimana ia dituliskan. Menarik atau tidak? Mengasyikkan atau tidak? Kalau sekadar ingin bilang ‘para bayi butuh minum ASI hingga 6 bulan’ cukup tuliskan dalam satu baris kalimat, tak perlu satu novel.”

Intinya, mereka sepakat, boleh sebuah karya seni memiliki pesan, tapi itu tidak wajib. Yang wajib adalah bagaimana sebuah karya itu memiliki kualitas sebagai karya, bukan sebagai pembawa pesan.

Dalam konteksnya mengenai perdebatan di acara Rosi tersebut, Pak Reza, Om Garin, dan narasumber lainya bersepakat, klasifikasi umur penonton film dengan isi film juga harus disesuaikan. Lantaran yang dipermasalahkan, apa yang ditangkap oleh anak dapat berpengaruh pada perkembangan mereka. Inilah yang mendasari Pak Reza mengatakan film Dua Garis Biru kurang cocok ditonton oleh anak. Meskipun cara film tersebut menggambarkan penanganan dua masalah di atas oleh keluarga, diapresiasi oleh beliau.

Saya sendiri berpandangan, kalau sebuah karya sampai diwajibkan memiliki pesan moral, berarti ada semacam kekecewaan dan kekhawatiran masyarakat. Seperti kurang berhasilnya lembaga pendidikan formal, informal, dan keluarga dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pembentukan moral yang baik. Untuk kemudian menghasilkan generasi yang berintegritas dan teguh. Sehingga masyarakat perlu mencari opsi lain untuk menutupi kegagalan itu. Kalau lembaga pendidikan moralnya sudah beres, tentu kita akan tenang tenang saja menghadapi film atau novel dengan tema yang biadab sekalipun. Pasalnya, kita punya masyarakat dan generasi yang dapat berpikir secara dewasa.

BACA JUGA Santuy, Film “Dua Garis Biru” Nggak Otomatis Bikin Kita Hamil di Luar Nikah atau tulisan FN Nuzula lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version