Fenomena #PercumaLaporPolisi tak perlu terjadi andai penegak hukum tidak mengecewakan.
Ada satu adagium hukum yang berbunyi sangat merdu seperti ini: lex nemini operator iniquum, neminini facit injuriam. Artinya hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapa pun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapa pun. Adagium satu ini seharusnya memberikan ketenangan kepada siapapun terlebih korban atas suatu kejahatan. Namun, nampaknya dewasa ini yang terjadi malah sebaliknya.
Tagar #PercumaLaporPolisi menjadi hal yang ramai diperbincangkan setelah adanya kasus pemerkosaan tiga orang anak oleh ayahnya sendiri. Hal yang membuat semakin miris dari kasus ini adalah adanya penghentian proses penyelidikan oleh aparat kepolisian.
Dalihnya tidak adanya cukup alat bukti untuk melanjutkan proses penyelidikan. Sang Ibu yang berharap kasusnya dapat selesai dengan menempuh jalur hukum. Alih-alih pelaku bejat dipenjara, justru sang ibu dan ketiga anaknya yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan.
Saya yakin betul kasus yang diabaikan dengan dalih tak cukup bukti bukanlah baru kali ini saja terjadi. Meskipun data saya mungkin sebatas reply-tweet jagad pertwitteran, tapi setidaknya bukan reply seperti buzzer yang sudah autotext isinya. Soalnya masih ada yang jualan Netflix atau Spotify.
Apabila menilik lebih dalam lagi sistem hukum kita ini memang sangatlah menyebalkan. Sudah kita tidak punya “uang banyak” dan hanya bisa menggunakan jalur lurus prosedur hukum yang berlaku. Prosedur yang harus dijalani ini rumit, njelimetnya bukan main. Belum lagi kalau kamu sedang tidak beruntung harus bertemu dengan aparat yang tidak jelas kerjanya. Eh maaf kurang sopan, kalau meminjam bahasanya pejabat itu katanya hanya “oknum” bukan aparat. Podo ae, Bos.
Sebenarnya dari kasus #PercumaLaporPolisi tadi saja bisa mencerminkan kebobrokan sistem hukum negara kita loh. Biar lebih mudah membahas sistem hukum negara kita yang bobrok ini, saya coba meminjam gagasanya Eyang Kakung Lawrence M. Friedman yang membagi sistem hukum itu ada tiga yakni legal substance (substansi hukum), legal structure (struktur hukum), dan legal culture (budaya hukum).
Pertama, substansi hukum dari kasus tersebut kurang mumpuni apa coba sekarang saya tanya? Untuk mengakomodir kepentingan Sang Ibu dan ketiga anaknya yang menjadi korban sudah ada KUHP, KUHAP, Putusan MK yang memperbaharui, dan memperkuat KUHAP pun sudah ada. Bahkan ada undang-undang yang lebih khusus yakni Undang-Undang Perlindungan Anak, dan senjata paling ampuh yaitu Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Mengapa senjata paling ampuh? Karena posisi anak dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mendapatkan posisi yang sangat diperhatikan. Tidak hanya korban, bahkan untuk anak yang melakukan kejahatan saja masih ditempatkan sebagai individu yang berharga. Oke berarti setidaknya untuk masalah peraturan ini aman kan.
Kedua, nah ini adalah hal yang paling sangat menyebalkan: masalah penegakan hukum atau struktur hukum. Bagaimana tidak, sesimpel sudah jelas-jelas aturannya A, bisa saja di lapangan jadi A+B, atau bahkan tiba-tiba jadi C. Siapa yang tidak kaget? Makanya bukanlah hal yang mengagetkan apabila teori atau aturan hukum hanyalah sebuah pemanis belaka.
Berkaca pada kasus dan pengalaman dari para pencuit #PercumaLaporPolisi tersebut, coba hitung ada berapa pelaksanaan aturan yang tidak sesuai sebagaimana mestinya
Baru mendatangi Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak untuk mendapatkan bantuan atau perlindungan, ketiga anak korban tersebut langsung dipertemukan dengan pelaku. Ajaib. Tak sampai di situ saja, anak korban yang seharusnya didampingi oleh orangtuanya atau pekerja sosial. Setidaknya oleh penasihat hukum dalam setiap proses pemeriksaan seringkali tidak didampingi.
Lebih lucunya lagi adalah Sang Ibu sebagai saksi diminta untuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP), tapi dilarang membacanya terlebih dahulu. Loh? Jadi yang akan dimasukan BAP tersebut keteranganya siapa dong? Tapi, mana mungkin kan pemeriksaan BAP cuma formalitas belaka?
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan oleh aparat penegak hukum memang masih menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar dan rumit untuk diselesaikan. Ini saja saya belum berbicara yang kotor-kotor seperti main suap-menyuap, jual-beli pengaruh jabatan, atau secuil “bantu saudara”.
Kalau contoh kasus tersebut saja belum meyakinkan Anda, sekarang silahkan coba lihat kasus UU ITE. Sudah berapa banyak orang yang terjerat secara konyol? Kasus Saiful Mahdi contohnya, terjerat pencemaran nama baik Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya karena mengkritik kampusnya. Saya rasa para penegak hukum di sana tahu bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE juga tidak bisa terpisahkan dari Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Lalu mengapa masih dipenjara? Untungnya Pak Saiful Mahdi mendapatkan amnesti sekarang, sehat-sehat terus pak.
Sebenarnya jika regulasi mau dibuat sebagus apa pun juga, apabila SDM aparat penegak hukum kita memang tidak mau melaksanakan sebagaimana mestinya, ya untuk apa. Sudah susah-susah memperjuangkan Undang-Undang sebagus mungkin. Tapi, pada praktiknya malah melakukan sebaliknya dengan dalih sudah sesuai hukum, padahal sepertinya baca saja tidak. Mau bagaimana nasib rakyat jelata seperti kami ini? Ujung-ujungnya budaya hukum yang kotor di masyarakat semakin merajalela lagi. Hadeuh.