Percayalah, Pergi Jauh Tanpa Izin Orang Tua Adalah Ide yang Sangat Buruk

Percayalah, Pergi Jauh Tanpa Izin Orang Tua Adalah Ide yang Sangat Buruk

Kejadian ini bermula ketika liburan akhir semester kuliah beberapa bulan lalu. Awalnya, seperti mahasiswa pada umumnya, liburan ini saya manfaatkan untuk pulang ke kampung halaman menemui orang tua dan handai taulan. Maklum, saya jarang sekali pulang karena selain padatnya kegiatan, juga jarak yang lumayan jauh dan biaya lumayan menguras kantong saya sebagai mahasiswa.

Saya adalah seorang mahasiswa yang berkuliah di salah satu kampus negeri di Kabupaten Jember, sedangkan saya berasal dari Kabupaten Kediri. Jaraknya lumayan deket sih jika dibandingkan dengan teman saya yang merantau ke Jepang setelah lulus SMK.

Beberapa hari setelah liburan semester dimulai, saya memutuskan untuk pulang kampung, karena ayah saya sudah menelpon saya beberapa kali menanyakan kapan saya pulang. Atas dasar itu, saya meminta teman saya yang tinggal di Jember untuk mengantarkan saya ke Terminal Tawang Alun, terminal terbesar di Kabupaten Jember, tempat bus menaik-turunkan penumpang sekaligus tempat mencari rezeki bagi pengamen, pengemis dan tentu saja, calo.

Tidak seperti kebanyakan orang, saya lebih suka melakukan perjalanan dengan bus di malam hari. Selain karena jadwal bus jurusan Yogyakarta adanya sore hari, ya karena perjalanan malam terasa lebih cepat soalnya jalanan relatif sepi dan pengamen maupun pedagang asongan relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan siang hari, walaupun risiko perjalanan malam cukup tinggi yakni banyaknya pelaku copet dan gendam.

Seperti yang saya bilang di atas, saya memilih naik bus jurusan Yogyakarta karena tidak harus memutar puluhan kilometer melewati Surabaya dan berganti bus lagi. Dengan santai saya bilang kepada pak penarik karcis tujuan saya adalah Mengkreng, atau lebih di kenal dengan “Brak’an”, yakni sebuah desa tempat transit dari orang-orang di seluruh pulau Jawa yang akan menuju ke Kabupaten Kediri.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tujuh jam setengah, saya akhirnya tiba di Brak’an. Normalnya, saya tinggal mencari bus jurusan Tulungagung untuk sampai menuju rumah saya yang dekat dengan pusat Kota Kediri. Namun, ketika saya menukarkan uang di sebuah warung, saya melihat jam di HP masih menunjukkan pukul setengah dua. Dari sinilah ide liar itu dimulai.

Bukannya naik bus Harapan Jaya yang menuju arah selatan ke Kediri Kota, saya malah naik bus Sugeng Rahayu yang dulu bernama Sumber Kencono yang terkenal dengan kebut-kebutannya menuju arah barat, yakni Madiun, Ngawi, Solo dan terakhir Yogyakarta. Saat naik bus itu lah, saya resmi kelayapan tanpa izin dari orang tua namun masih menggunakan duit orang tua, iya dosanya berkali-kali lipat.

Ketika kondektur bus Sugeng Rahayu bertanya tujuan saya, saya menjawab akan ke Madiun, dengan ramah pak kondektur menjawab tarifnya 12 ribu dan memberikan karcis kepada saya yang terlebih dahulu di coret titik tempat saya naik dan titik saya turun. Saya memilih ke Madiun terlebih dahulu, untuk mengisi perut dengan nasi pecel Madiun.

Di sinilah, kualat saya terhadap orang tua dimulai. Ketika masih di daerah Kabupaten Nganjuk, kandung kemih saya terasa sangat penuh, dorongan ingin pipis begitu sangat kuat, dan kota tujuan saya masih cukup jauh, sedangkan bus yang saya tumpangi adalah bus ekonomi ber AC, yang tidak ada toiletnya dan dingin dari AC membuat dorongan untuk pipis menguat drastis. Boro-boro menikmati perjalanan, saya justru fokus gimana caranya biar nggak ngompol.

Bus melaju sangat kencang karena jalanan sangat sepi. Sayangya infrastruktur jalan di sepanjang Kabupaten Nganjuk hingga Kota Madiun sangat tidak konsisten, ada yang halus tapi yang bergelombang juga masih banyak. Ketika melewati jalan bergelombang, urin di kandung kemih saya seperti terombang-ambing dan terus memaksa untuk keluar. Namun, saya masih bisa menahannya hingga sampai di termnal Madiun.

Sesampainya di Terminal Madiun, saya langsung membuang hajat yang sudah terkumpul sangat banyak itu di toilet terminal yang terkesan kuno namun masih bersih, terawat, dan tidak tercium bau pesing, padahal gratis. Setelah itu saya makan nasi pecel Madiun seperti yang sudah direncanakan.

Alih-alih kembali ke Brak’an, timbul lagi keinginan saya untuk lebih ke barat. Padahal, alam sudah memperingatkan saya dengan membuat kandung kemih saya penuh lagi yang membuat saya harus kembali membuangnya di toilet untuk kedua kalinya. Selesai dari toilet, saya melenggang masuk ke bis Sugeng Rahayu yang akan menuju arah barat tepat pukul tiga pagi.

Di bus yang saya tumpangi ini, sopir yang mengemudikan bus sepertinya berumur lebih dari 50 tahun jika dilihat dari rambutnya yang hampir memutih seluruhnya. Ketika kondektur bus bertanya saya mau kemana, saya dengan yakin menjawab Sragen, untuk mengejar waktu sholat shubuh.

Awalnya semua berjalan normal. Akan tetapi, selepas ring road Madiun, sang sopir bus ternyata tidak dalam kondisi prima, beberapa kali dia tiba-tiba tertunduk, sepertinya sedang sangat ngantuk. Gilanya adalah dia menggeber bus di kecepatan lebih dari 100 kilometer per-jam jika dilihat dari speedometer nya. Dengan kondisi seperti itu, saya sempat berpikir saat itu adalah terakhir saya naik bus sekaligus melihat dunia.

Ketika sampai di Maospati, Magetan. Bus yang saya tumpangi menaikkan beberapa orang untuk memenuhi kursi yang masih kosong, dua diantaranya duduk di samping saya, di mana ada anak cewek yang kira-kira masih berusia 10 tahunan, dipangku oleh sang ibu.

Belum sampai setengah jam perjalanan, si anak tiba-tiba merasa mual dan ingin muntah, sang ibu dengan cekatan mengambil sebuah kantong kresek untuk menampung muntahan dari sang anak. Dan benar saja, sang anak muntah dengan lancarnya di samping saya, yang membuat mood perjalanan saya jadi berantakan.

Tiba-tiba, kandung kemih saya terasa kembali sangat penuh, kali ini lebih parah karena tidak hanya kudu pipis, tapi juga tekanan psikis, karena si anak di sampih saya terus merengek dan sang ibu terus ngedumelin anaknya. Awalnya, saya berpikir untuk turun di terminal Ngawi baru saja karena sudah nggak tahan. Namun, di luar dugaan saya, bus ini hanya masuk saja dan tidak berhenti. Terpaksa saya harus menahan semua ini lebih lama lagi.

Bus melaju sangat kencang hingga memasuki provinsi Jawa tengah, yang berarti saya menahan kencing saya antar kota antar provinsi. Ketika memasuki kota Sragen, bus berhenti di sebuah lampu merah, saya memutuskan untuk turun karena benar-benar sudah nggak tahan. Ternyata saya berhenti tepat di depan alun-alun Kota Sragen.

Saya berjalan mencari masjid terdekat, untuk kencing dan sholat shubuh. Ternyata masjid masih beberapa ratus meter lagi, yang berarti saya harus jalan kaki sambil menahan kencing. Naik ojek atau becak adalah ide yang buruk karena uang saya terbatas.

Selepas sholat, saya menuju jalan utama untuk mencari bis ke arah timur. Kali ini saya memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan karena keuangan menipis dan matahari sudah mulai terbit.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat dibendung. Itulah peribahasa yang menggambarkan keadaan saya waktu itu. Ternyata setelah pukul lima pagi, Bus antar kota antar provinsi, tidak boleh memasuki kawasan Kota Sragen. Jadilah saya terlontang lantung di kota yang sama sekali tidak saya kenal tanpa tahu saya harus kemana.

Saya terus berjalan tanpa tentu arah sejauh-jauhnya berharap menemukan bus antar kota. Dikala pikiran sudah buntu dan penuh ke-frustasi-an, datanglah bapak-bapak supir angkot yang menawarkan saya untuk naik angkotnya yang menuju ke terminal Sragen yang belakangan saya ketahui namanya Terminal Pilangsari.

Alhamdulillah, beliau menarik saya sesuai dengan ketentuan yakni Rp4.000 yang membuat saya berterima kasih banyak pada beliau. Akhirnya saya dapat pulang dengan menumpangi bus Sugeng Rahayu (lagi), kali ini yang mengarah ke timur.

Sesampainya di rumah, saya mengakui semua yang terjadi pada ibu saya yang justru tertawa dan menyuruh saya untuk mejadikan kejadian ini sebagai pelajaran kedepannya untuk mempersiapkan perjalanan dengan baik dan tak lupa, izin dari orang tua.

BACA JUGA Namanya Saja Power Point, Bukan Power Word, Jadi Isinya ya Harus Poin, Bukan Hasil Copasan Word!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version