Sambatan Warga Gunungkidul: Lamanya Durasi Perbaikan Jalan di Bukit Bintang Bikin Warga Harus Ngelus Dada Tiap “Turun Gunung”

Sambatan Warga Gunungkidul: Lamanya Durasi Perbaikan Jalan di Bukit Bintang Bikin Warga Harus Ngelus Dada Tiap "Turun Gunung"

Sambatan Warga Gunungkidul: Lamanya Durasi Perbaikan Jalan di Bukit Bintang Bikin Warga Harus Ngelus Dada Tiap "Turun Gunung" (Dokumentasi Pribadi)

Keresahan ini sesungguhnya sudah berlangsung lama, tetapi tak saya acuhkan karena khawatir dicap nggak memiliki kepribadian nrimo khas warga KTP DIY. Sungguh, keadaanlah yang membuat saya tak mampu lagi memendam semua keresahan dalam hati ini. Oleh karena itu, biarkan saya mengawali sambatan warga Gunungkidul soal perbaikan jalan di area Bukit Bintang ini.

Lamanya durasi perbaikan jalan di area Bukit Bintang

Jalan utama ini diperbaiki sejak bulan Agustus 2023 kemarin hingga sekarang. Jalan dibagi menjadi dua. Satu sisi untuk lewat pengendara, sedang sisi lainnya dilakukan perbaikan. Satu sisi jalan telah rampung dan kini tengah dilakukan perbaikan untuk sisanya.

Mekanisme buka tutup diberlakukan di sini. Untuk mereka yang datang dari arah Bantul, akan diberhentikan di sekitar tugu Gunungkidul. Sedangkan pengendara dari arah Wonosari, berhenti di depan Masjid Al-Huda. Mekanisme ini berlaku 24 jam karena pemugaran dilakukan tanpa henti. Ada petugas di setiap sisi pemberhentian yang mengatur durasi dan kerapian para pengendara.

Saya memperkirakan durasi menunggu giliran jalan antara 15-20 menit pada jam-jam sibuk. Sedangkan untuk tengah malam, bisa sangat pendek, cuma sekitar 2 menit. Lama tidaknya pengendara menunggu tentu tergantung waktu sampai di lokasi pemberhentian. Menurut pengamatan saya, ada beberapa kegiatan yang kerap dilakukan pengendara sembari menunggu giliran buka jalan.

Pertama, tentu saja merokok. Mereka yang berada di barisan paling depan nggak perlu buru-buru karena satu batang rokok bisa dihabiskan tepat waktu.

Kedua, bermain gawai. Entah untuk mengeluarkan unek-unek soal macet, bikin konten, atau sekadar scrolling media sosial.

Ketiga, mencoba melipir tipis-tipis melewati pembatas sebelum tiba giliran jalan. Meski begitu, perlu mental kuat karena kadang petugas jaga akan memberikan respons yang galak.

Keempat, beli makanan. Saya sempat menemukan penjual buah yang mengitari antrean para pengendara di siang hari. Macet dan panas luar biasa ternyata jadi peluang usaha. Luar biasa!

Dari semua kegiatan itu, saran saya, matikan mesin motor ketika kalian berada di barisan depan. Selain menghemat bensin, juga berfungsi agar kegiatan selingan yang dilakukan bisa lebih santai.

Perlu diketahui bahwa perbaikan jalan nggak hanya ada di antara dua titik buka tutup tersebut. Apabila pengendara dari arah Wonosari Gunungkidul setelah melewati Bukit Bintang, maka akan terdapat proyek pembangunan penahan longsor. Kehati-hatian dan kesabaran amat diperlukan karena material bangunan ada di kanan kiri jalan.

Pembangunan yang kota sentris

Perbaikan jalan di area Bukit Bintang sesungguhnya nggak akan sekrusial ini jika ada tatanan kota yang merata. Praktik kota sentris membuat banyak warga Gunungkidul mesti “turun gunung” setiap hari.

Baca halaman selanjutnya: Contohnya saya kuliah di Kabupaten Sleman…
Contohnya saya yang kuliah di Kabupaten Sleman. Untuk sekadar nongkrong dan ngopi juga kerap melaju ke kota. Begitu pula tetangga saya yang mesti “turun gunung” menuju Berbah untuk bekerja di sebuah usaha penatu rumahan.

Jalan yang menghubungkan Piyungan dengan Patuk ini terkenal padat oleh sepeda motor, bus, hingga truk. Rute yang penuh kelok dengan tanjakan kerap kali membuat kendaraan besar yang menuju ibu kota Kabupaten Gunungkidul, Wonosari, mogok dan bahkan terguling. Kondisi itu pernah saya alami ketika ingin turun gunung. Jalanan yang sudah padat menjadi macet total karena truk menutup jalan yang hanya satu sisi. Petugas jaga berteriak-teriak menyuruh pengendara lain putar balik. “Telung jam nek meh ngenteni neng kene,” teriaknya.

Banyak pengendara yang tak sabaran dan menyelip-nyelip membuat keadaan makin runyam. Saya sendiri memutuskan untuk mengikuti arahan petugas dan mengambil jalan alternatif yang tak ramah bagi pengendara berkemampuan rendah seperti saya.

Kondisi kendaraan mogok sehingga membuat jalanan semakin macet bukan fenomena baru. Kejadian itu sempat membuat warung sayur di dekat rumah saya terlambat buka karena perjalanannya pulang dari kulak di Pasar Piyungan terhambat.

Sebelum perbaikan ini, jalanan di area Bukit Bintang memang kerap rusak. Kerusakannya biasanya jalanan ambles dengan lubang di sana sini. Saya sendiri pernah lewat sana dengan kondisi jalanan becek, dan itu jelas membahayakan. Di masa-masa itu pula dilakukan tambal sulam berulang kali.

Warga Gunungkidul yang setiap hari “turun” harus bersabar dan memaklumi kemacetan. Menurut beberapa berita yang saya baca, terdapat aliran air di bawah jalanan ini sehingga keadaan jalanan selalu basah dan cepat rusak.

Sebagai warga Gunungkidul, kami berharap banyak

Menurut saya, wajar rasanya jika warga Gunungkidul berkendara dengan ngebut lantaran untuk sekali jalan “turun gunung” kami perlu menghabiskan waktu 1-2 jam. Keponakan saya, seorang siswi SMP di Jogja, bisa menggeber motornya hingga 70-80 km/jam setiap hari. Stigma ugal-ugalan memang kerap dilekatkan pada para wong nggunung. Perjalanan jauh ditambah dengan macet sesungguhnya berpeluang membuat jarum spidometer kami bergerak makin ke kanan.

Perbaikan jalan di area Bukit Bintang kali ini memang terlihat paling niat. Hal ini saya nilai dari pengangkatan keseluruhan aspal lama, melakukan pengedukan, dan penggunaan alat berat. Karena itu, setelah dua pengorbanan rakyat—uang dari pajak dan mental menghadapi kemacetan—semoga jalanan penghubung Gunungkidul dan Jogja ini awet sungguhan.

Ketika jalanan sudah beres, harapannya dapat ditunjang dengan pengadaan transportasi umum yang terintegrasi. Uang yang tipis bisa awet karena tak lagi habis untuk membeli bensin, mengganti oli, dan servis kendaraan. Setelahnya lagi, semoga pembangunan infrastruktur lain dibangun secara merata agar warga Gunungkidul tak lagi tua di jalan. Kalau sudah begitu, saya dan banyak orang ber-KTP DIY nggak hanya terampil untuk nrimo susah, tetapi juga bisa nrimo keadaan yang senang.

Penulis: Delima Purnamasari
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Mengenal Gunungkidul, Kabupaten (yang Dianggap) Gersang yang Ternyata Dulunya Dasar Laut.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version