Sebagai anak jebolan madrasah “al-hijrahiyah”, saya selalu ingin menengok diri saya di masa lalu. Entah apa pun makna kata hijrah itu sendiri, saya tidak mau ambil debat. Kembali menengok momen ketika memutuskan untuk berhijrah adalah keputusan yang baik untuk bermuhasabah. Momen di mana seseorang memulai untuk berubah, mulai dari gaya berpakaian, pandangan hidup, lingkup pertemanan, hingga mengonsumsi konten hijrah Instagram.
Ketika saya menengok diri saya sendiri yang dulu-dulu itu, saya seperti bercermin kepada realitas anak hijrah sekarang. Bolehlah saya mengatakan diri saya sebagai anak hijrah yang sudah berpengalaman. Berbagai bentuk godaan untuk kembali pada dunia terlaknat tentu tidak menggoyahkan keputusan saya. Namun, ada beberapa momen yang sangat saya sayangkan. Saya menyesal pernah menemukan diri saya terkungkung atas sesuatu, namun tidak menyadarinya.
Hal-hal tersebut terus saja berulang pada komunitas anak hijrah. Seperti struktur rapi yang memang harus selalu dijalankan. Anak hijrah senior jadi merasa melihat dirinya kembali dan menghujat perilaku tersebut. Alih-alih memberikan edukasi yang baik kepada juniornya, senior tersebut malah membuatnya menjadi konten hijrah, seperti saya ini.
Terkadang, hal seperti ini yang membuat anak hijrah cenderung toksik. Memang ada gagasan-gagasan yang benar dan baik, tetapi penyampaiannya kurang baik. Alasan “yang penting sudah menyampaikan”, seolah menjadi dalih atas setiap perilaku yang nggak nyenengin.
Berikut beberapa isu dan konten hijrah yang selalu diangkat. Hal ini sepertinya menjadi masalah di awal-awal hijrah dan memang perlu dikritisi. Uraian ini murni pengalaman saya pribadi saat menjadi produsen dan konsumen konten hijrah.
#1 Tidak boleh pacaran. Menikahlah untuk menghindari zina
Namanya juga anak muda yang fungsi biologis dan emosionalnya sedang meledak, kasus percintaan merupakan isu penting yang harus selalu diangkat. Kisah cinta siapa sih yang rasanya biasa-biasa saja? Kalau sedih, ya sedih banget. Kalau bahagia, ya seperti dunia milik berdua yang lain tolong bayar sewa.
Anak hijrah mana yang tidak hafal ayat wa laa taqrobuzzina? Sepertinya itulah ayat yang dihafal di deretan surat-surat yang panjang. Momen mutusin pacar adalah momen yang paling menyedihkan dan sangat spektakuler untuk diceritakan dalam konten berbau hijrah.
Kalau yang tidak bisa sampai mutusin pacar, minimal hubungannya dijaga diam-diam. Tidak diunggah di publik. Tidak diceritakan kepada siapa pun. Konten dan aktivitas pacaran pun diubah menjadi yang islami-islami gitu, biar dapat berkah.
Ada pula anak hijrah yang saking semangatnya menjadi penyeru paling keras untuk jangan mendekati zina. Lalu kebutuhan akan rasa sayang yang menggebu-gebu tersebut bagaimana solusinya? Nikah dong, apalagi?
Seolah-olah menikah merupakan satu-satunya alternatif untuk persoalan kebutuhan biologis dan kasih sayang. Seminar pranikah atau yang cinta-cintaan jadi lebih banyak yang datang daripada kajian akidah atau fikih yang seharusnya lebih dulu ditelan. Tapi, ya nggak tahu sih, kan harus melampiaskan perasaan fakir asmara dulu ketimbang yang lain-lain.
#2 Haram dan tidaknya mem-posting foto wajah
Bahasan ini selalu bersemi sepanjang waktu melalui konten hijrah di media sosial. Sepanjang anak hijrah baru lahir, selama itu pula isu haram dan tidaknya mem-posting foto wajah menjadi hangat diperbincangkan.
Saya pernah menjadi pelaku pengharaman mem-posting foto wajah karena memergoki salah satu penumpang bus. Seorang laki-laki memandang foto perempuan di postingan facebook lama sekali dan diulang-ulang. Saya risih melihat kejadian seperti itu meskipun orang itu bukan saya. Seketika itu juga saya membuat konten untuk jangan mem-posting foto wajah dan saya sebarkan kepada teman-teman saya. Entah mengapa, saya sudah sibuk menjadi content creator semenjak itu.
Siapa yang paling dicurigai dalam kasus ini? Siapa lagi kalau bukan laki-laki. Anak-anak hijrah baru akan mengambinghitamkan laki-laki sebagai jenis yang tidak punya adab. Selalu membuka matanya untuk hal-hal syahwati, sering menggunakan kuotanya untuk memuaskan hal-hal yang mendesak karena belum bisa tersalurkan dengan cara yang halal.
Setelah berhasil tidak mem-posting foto wajah dan mendakwahkannya kepada orang lain, maka menyalah-nyalahkan dan menganggap rendah ukhti-ukhti yang masih memasang foto wajahnya adalah sebuah beban profesionalitas. Seakan-akan ukhti tersebut sudah tidak punya urat malu. Begitu hinanya.
#3 Merasa eksklusif
Dari musik hingga parfum, dengan mudah semuanya dicap haram. Pokoknya haram, seharam babi. Seolah-olah apabila tidak sependapat maka silakan angkat kaki dari list anggota pertemanan.
Dengan berbekal ilmu dari konten hijrah akun Instagram, dengan penuh percaya diri merasa diri sendiri setingkat lebih baik dari teman-teman yang lain. Padahal ilmu yang didapat dari Instagram tidak menjamin terstruktur dengan baik. Main ambil saja mana yang dipengin dan dirasa cocok untuk melawan kekafiran dunia.
Seperti menemukan sebuah kebenaran, maka yang berada di luar lingkaran dianggap salah. Secara tidak sadar, anak hijrah baru membangun tembok antara dirinya sendiri dan orang lain yang dianggap tidak cukup baik. Pada akhirnya dengan pola seperti ini, anak hijrah akan merasa tidak punya teman, selalu merasa dihindari. Makannya, konten anak hijrah yang kehilangan teman selalu booming, diulang-ulang terus seperti konten bubur diaduk apa nggak.
#4 Keluarga yang gak pengertian
Saya pernah merasa di titik ini dan sering dapat curhatan tentang keluarga yang nggak ngertiin proses hijrah seseorang. Keluarga terlaknat. Mwehehe.
Padahal kalau diulas dan ditelaah lagi, bukan keluarga yang nggak ngertiin. Tapi, diri sendiri yang nggak ngertiin mereka. Komunikasi kurang, yang ada malah saling mengkafirkan.
Kan bapak dan ibumu itu lho yang tahu kamu luar dalem, depan belakang. Dari bangun tidur sampai tidur lagi itu kayak gimana bentuknya. Terus mau diceramahin tentang dosa dan pahala atau tuduhan nggak pengertian.
Anak hijrah juga perlu memandang dunia luar bahwa masih banyak stigma yang membuat gaya pakaian atau pikiran kolot jadi sasaran amuk masa, maksudnya gosipan. Orang tua itu nggak mau jadi bahan gosipan, yang ini lah itu lah. Mereka cuma mau kamu biasa saja, sama seperti yang lain. Nggak macem-macem, itu kan yang dinasihatkan?
Nggak berhenti di orang tua, malah memperlebar sayap pengkafiran kepada tetangga. Trus kamu mau ngeloyor dan bilang seluruh dunia ini kafir? Kamu tidak sesuci itu, Maemunah.
Semoga saja selanjutnya, dunia hijrah yang lebih moderat membuat format edukasi yang baik. Edukasi yang membuat anak hijrah junior tidak merasa menyesal ketika sudah menjadi senior, seperti saya ini. Jadi, tidak ada lagi yang mengkritisi betapa toksiknya menjadi manusia yang katanya lebih baik.
BACA JUGA Betapa Sulitnya Bergaul Dengan Orang yang Baru Hijrah dan tulisan Maharlika Igarani lainnya.