Penyebutan Perempuan dalam Masyarakat Jawa dan Makna Filosofis di Baliknya

Penyebutan Perempuan dalam Masyarakat Jawa dan Makna Filosofis di Baliknya

Penyebutan Perempuan dalam Masyarakat Jawa dan Makna Filosofis di Baliknya

Dalam bahasa Jawa, ada namanya kawruh basa (pengetahuan tentang bahasa) yang salah satu disiplin kajian di dalamnya adalah kreta basa. Kreta: asal-usul dan basa: bahasa. Kreta basa bisa diartikan dengan mengupas asal-usul dari sebuah bahasa atau kata. Di mana dari asal kata tersebut akan ditemukan filosofi yang memberi gambaran tentang hakikat dari suatu kata atau istilah tertentu. Kalau dalam studi bahasa Indonesia mungkin sejenis akronim.

Misalnya, yang cukup populer adalah istilah guru. Kreta basa dari guru adalah gu: digugu (didengar atau dipercaya) dan ru: ditiru (ditiru atau dianut). Dari sini kita bisa mengerti gambaran sosok guru adalah menjadi suri tauladan bagi anak-muridnya. Karena hakikatnya guru adalah didengar setiap petuahnya dan ditiru tindak-lakunya. Seperti sebuah pribahasa yang berbunyi; Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Adalah ungkapan betapa guru haruslah menjadi panutan yang baik bagi siswa-siswinya. Atau dalam bahasa Jawa disebut dengan digugu lan ditiru.

Kalau diperhatikan, sebenarnya nggak sedikit istilah atau kata dalam bahasa Jawa yang berpola kreta basa. Namun karena bulan ini bernuansakan Kartini, maka saya akan mengupas akar kata dari istilah penyebutan terhadap perempuan yang familiar di masyarakat Jawa. Dibantu oleh simbah, selain menemukan arti yang sudah umum kami juga menemukan filosofi lain yang memberi gambaran hakikat perempuan yang sejatinya memiliki peran cukup sentral dalam kehidupan.. Saya akan mencoba membaginya ke delam dua kelompok; istilah umum dan istilah khusus (sebagai istri).

Pertama: Istilah Umum

Dalam tradisi masyarakat jawa, umumnya perempuan diistilahkan dengan beberapa nama lain yakni, wanita, wadon, dan estri.

Wanita

Selain digunakan dalam bahasa Indonesia, wanita juga sering digunakan dalam tata penyebutan bahasa Jawa untuk perempuan, meski sedikit berbeda cara pengucapan. Wanita dalam bahasa Indonesia dibaca normal; huruf ‘a’ di akhir kata dibaca sedemikian adanya. Sedangkan dalam bahasa Jawa dilafalkan semi ‘o’, seperti menyebut nama omah, odong-odong, obral, atau olshop.

Wanita terdiri dari dua unsur kata yaitu, wani (berani) dan ta: tata (tata atau teratur). Dua makna umum yaitu, wani ditata (berani diatur) dan wani ing nata (berani mengatur). Maksudanya, perempuan itu harus mau diatur meyangkut norma-norma dan stigma yang sudah kadung mereka sandang. Misalnya, perempuan itu nggak boleh keluar larut malam, maka dia harus manut. Atau dalam tradisi Jawa kuno ada namanya konsep pingitan seperti yang pernah dialami RA. Kartini. Perempuan harus mau diatur dengan adat yang sudah ada, nggak boleh melawan sekalipun hati tak suka.

Perempuan juga harus berani mengatur. Umumnya dimaksudkan agar perempuan kelak ketika berumah tangga mampu mengatur segala aspek dalam rumah tangga. Itulah kenapa stigma terhadap ibu rumah tangga adalah harus meng-handle segala pekerjaan rumah.

Tapi kalau kata simbah, seandainya loginya agak diperdalam seharusnya pemaknaan wani ditata dan wani ing nata itu bukan demikian juga. Meski dia mengaku pendapatnya nggak 100% bisa dibenarkan. Simbah lebih memilih memaknainya bahwa perempuan itu serba bisa; multiperan. Ini senada dengan apa yang pernah dikatakan Mbak Najwa Shihab ketika jadi bintang tamu di OVJ. Katanya, “Kenapa perempuan selalu disuruh milih jadi ibu rumah tangga atau jadi perempuan karir? Padahal perempuan itu bisa merangkap semuanya. Perempuan bisa jadi ibu, istri, jurnalis, perempuan pekerja, bahkan dalam waktu bersamaan.”

Wadon

Istilah ini diadopsi dari bahasa Kawi ‘wadu’ yang berarti kawula atau abdi. Wadon seringnya diartikan bahwa perempuan itu adalah abdi bagi laki-laki (suaminya). Perempuan dalam konteks ini dititahkan untuk taat dengan apapun yang diperintah oleh laki-laki. Dalam adat Jawa, ada ungkapan yang maksudnya kurang lebih: laki-laki itu taatnya sama ibunya, sementara perempuan harus patuh pada suaminya. Jika surga laki-laki ada di bawah telapak kaki ibunya, surga perempuan adalah ridlo suaminya. Jika menggunakan makna ini, memang terkesan patriarkal.

Untuk itu simbah memberi wacana lain, bahwa maksud abdi di sini bukanlah abdi yang seperti itu. Perempuan bukan entitas yang lemah. Mereka juga berhak berdaulat atas pilihannya sendiri, nggak melulu harus diatur oleh sang suami. Abdi di sini menurut simbah adalah gambaran atas pengabdian dan dedikasi perempuan yang patutnya diapresiasi.

Contoh yang dipakai simbah adalah; perempuan sudahlah mengandung sembilan bulan lamanya, masih harus membesarkan dan bertanggungjawab atas buah hatinya tersebut sepanjang masa. Belum lagi bagi ibu rumah tangga, selain mengurus anak dan suami, perempuan bahkan harus mengurus pekerjaan rumah dari pagi ke pagi lagi tanpa diberi upah sepeser pun. Seperti dalam lirik lagu Kasih Ibu: Hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia.

Bukan, bukan berarti digambarkan seolah seperti pembantu atau budak, tapi lebih ke bagaimana seorang laki-laki harus menghargai perempuan. Sebab ada beberapa yang menganggap bahwa menjadi ibu rumah tangga itu pekerjaan sepele. Padahal, siapa coba yang sanggup bekerja sepanjang waktu tanpa upah sebanding?

Estri

Estri diambil dari bahasa Kawi ‘estren’ atau ‘pangestren’ yang berarti pendorong. Istilah ini sangat cocok dengan ungkapan; “Di balik laki-laki hebat, ada perempuan hebat.” Kian menegaskan bahwa perempuan sejatinya juga memiliki peran yang cukup sentral. Dalam konteks rumah tangga, dia juga memiliki andil dalam mendorong suaminya untuk membantu mempertimbangkan banyak hal dan mengambil keputusan yang terbaik dalam problem tertentu.

Jika ditarik ke pemerintahan, sepertinya boleh juga. Coba lihat saja kiprah perempuan-perempuan di kursi parlemen atau di jajaran dewan. Sebut saja militansi Bu Susi Pudjiastuti dalam menjaga kedaulatan perairan laut Indonesia selama menjabat sebagai Menteri Perikanan dan Kelautan. Atau dedikasi besar Bu Risma selama menjabat sebagai Wali Kota Surabaya. Di tingkat dunia, 6 perempuan pemimpin negara masing-masing sekarang bahkan dipuji-puji atas caranya melakukan penanganan dalam melawan pandemi

Di akhir diskusi simbah berkelakar, “Kenapa Nabi Adam sampai mau makan buah khuldi padahal dia tahu itu dilarang? Ya karena bujuk rayu dan dorongan dari sang estri itu tadi, hahahha.”

Kedua: Istilah Khusus (Sebagai Istri)

Ketika perempuan sudah memegang peran sebagai istri, maka biasanya akan menyandang panggilan berikut:

Kanca Wingking dan Garwa

Kanca berarti teman dan wingking berarti belakang. Sederhananya, perempuan adalah makmum bagi laki-laki, selalu di belakang laki-laki. Begitu arti yang sering kita pahami. Simbah memperdalamnya dengan menafsirkan bahwa kanca wingking ini sebenarnya hampir sama dengan estri tadi. Tugasnya sebagai pangsetren (pendorong), memiliki andil krusial di belakang layar. Kalau dalam industsri film mungkin bisa dianalogikan seperti ini: laki-laki adalah cast-nya, perempuan adalah sutradara, art director, penulis skenario, dan profesi lain di  belakang layar produksi. Jadi nggak seremeh harus di belakang laki-laki dalam arti harfiahnya.

Berikutnya adalah garwa. Asal katanya adalah gar: sigar (belahan) dan wa: nyawa (nyawa). Dalam hal ini perempuan bukan hanya berperan sebagai ibu, istri, apalagi difungsikan nggak ada bedanya sama pembantu. Tapi bisa jadi sahabat, pertner, dan guru dalam hal apa pun bagi suami dan anak-anaknya. Atau jika merujuk pada arti asalnya: sigaraning nyawa (belahan jiwa), ia adalah denyut kehidupan bagi laki-laki. Sebab, betapa nelangsanya hidup laki-laki tanpa perempuan di sisinya. Kalau nggak gitu, nggak mungkin dong Nabi Adam sampai bedoa agar Tuhan menciptakan Hawa.

Dari sini, ada dua sudut pandang yang bisa Anda ambil. Bisa dengan arti umum atau konsep filosofis yang saya bedah bareng simbah. Waktu dan tempat kami persilakan.

BACA JUGA Mengenal Istilah-istilah Kelamin yang Digunakan Orang Jawa untuk Memanggil Anak dan tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version