Penjelasan Logis Kenapa Malam Tahun Baru Identik dengan Bakar Jagung

Menerka Alasan Malam Tahun Baru Identik dengan Bakar Jagung Terminal Mojok

Menerka Alasan Malam Tahun Baru Identik dengan Bakar Jagung (Unsplash.com)

Siapa yang udah siap-siap mau bakar jagung di malam tahun baru nanti?

Apa sih yang tebersit di pikiran kalian saat membicarakan malam tahun baru? Mungkin sebagian besar dari kita akan terbayang dengan pesta terompet, kembang api, bakar-bakaran, dan resolusi awal tahun. Bakar-bakaran memang jadi salah satu kegiatan paling template untuk mengisi malam pergantian tahun bersama orang-orang terdekat. Bagi yang keluarganya saling berjauhan atau nggak punya temen sepermainan sih biasanya bakal skip ritual ini dan memilih tidur layaknya malam-malam biasanya.

Sejak zaman dahulu kala ketika manusia sudah mengenal api, bakar-bakaran atau barbeque-an ini sudah menjadi kegiatan favorit untuk memeriahkan acara kumpul-kumpul. Bisa memasak makanan sama-sama sambil berkumpul adalah kegiatan yang menyenangkan. Kegiatan memasaknya pun sangat praktis dan bisa dikerjakan siapa pun, makanan yang mau disajikan tinggal dioles bumbu lalu dibakar. Beres. Pun keberadaan api bisa menghangatkan badan di tengah dinginnya udara malam.

Di kalangan orang berduit, bintang utama dalam ritual bakar-bakaran adalah daging layaknya yang populer di negara barat. Wajar saja karena malam pergantian tahun di belahan bumi utara terjadi saat musim dingin, sehingga daging lebih mudah didapatkan ketimbang produk nabati. Sedangkan di negara agraris seperti Indonesia, jagung jadi pilihan utama. Jagung bisa dijumpai sepanjang tahun. Nggak masalah kalau nggak ada daging, selama masih ada jagung niscaya acara bakar-bakaran akan tetap terlaksana.

Pernah kepikiran nggak sih kenapa jagung sangat identik dengan kegiatan bakar-bakaran di kalangan masyarakat Indonesia? Padahal kan banyak pilihan lainnya, misalnya pakai daging seperti BBQ-an ala bule atau pakai pilihan sayur lain yang masih banyak jenisnya. Artikel ini akan mencoba mencari jawaban untuk pertanyaan di atas. Tentunya secara coba-coba, jadi nggak perlu dipikir serius.

Jagung jadi opsi bahan makanan yang murah meriah. Dari segi harga, jagung menang telak dari daging. Dengan bujet yang sama untuk sekilo daging misalnya, kita bisa mendapatkan jagung yang cukup untuk memberi makan lebih banyak orang. Karena harganya lebih terjangkau, jagung bisa dibeli oleh seluruh lapisan masyarakat. Berbeda dengan daging yang belum tentu bisa dijangkau masyarakat kelas bawah. Mau diganti sosis dan frozen food pun jatuhnya masih lebih murah jagung, kok. Kecuali kalau dagingnya didapat dari menyembelih hewan ternak peliharaan sendiri.

Lagi pula ketersediaan jagung di Indonesia sangat melimpah. Jagung juga jadi salah satu makanan pokok yang nggak asing lagi bagi masyarakat. Waktu panennya pun relatif singkat, jadi para petani bisa membudidayakannya dengan lebih mudah.

Kalau alasannya karena harga jagung lebih murah daripada daging dan keterdapatannya melimpah, kenapa nggak pakai umbi-umbian saja? Toh harga umbi-umbian juga murah dan sama-sama mudah dijumpai di sekitar kita. Keduanya juga sama-sama makanan pokok yang dekat dengan keseharian masyarakat. Malahan umbi-umbian bisa ditanam di skala rumah tangga tanpa perlu menunggu petani turun tangan.

Gini, menurut saya jagung punya beberapa keunggulan dibandingkan keluarga umbi-umbian. Keunggulan tersebut membuat jagung lebih layak jadi bintang utama acara bakar-bakaran dibandingkan keluarga umbi-umbian.

Pertama, jagung punya tekstur yang lebih ringan daripada umbi-umbian jenis apa pun. Memang makan jagung masih bisa bikin seret, tapi makan umbi-umbian bakal lebih seret lagi. Nggak asik kan kalau kita tersedak ubi atau singkong bakar pas lagi seru-serunya ngobrol?

Alasan kedua, jagung punya lapisan daging yang lebih tipis daripada umbi-umbian. Hal ini membuat jagung lebih nikmat saat diolesi dengan bumbu dan bisa matang lebih cepat. Dioles pakai margarin saja sudah enak, apalagi kalau dibikin agak pedas. Tentunya olesan inilah yang bikin segala jenis bakaran jadi lebih nikmat. Bayangin deh kalau umbi-umbian yang diolesin bumbu bebakaran. Bumbunya nggak akan bisa meresap sampai jauh ke dalam daging umbi yang tebal, bakalan nempel di permukaan saja.

Alasan ketiga, jagung punya fitur alami yang membuatnya berjodoh dengan kegiatan bakar-bakaran, yaitu punya tongkol. Tongkol jagung membuat makanan ini sangat nyaman untuk dipegang sambil bercengkerama, nggak bikin tangan kotor. Sedangkan umbi-umbian nggak ada yang punya tongkol, memegangnya perlu dilapisi sesuatu biar tangan nggak melepuh kepanasan. Kalau dimakan beralaskan piring dan pakai sendok garpu juga nggak praktis, kasihan yang cuci piring, Gaes.

Umbi-umbian yang cocok dibakar mungkin hanyalah ubi. Kulitnya tipis sehingga mudah dikupas dan dagingnya manis. Tapi, makan ubi nggak bisa sepraktis jagung yang ada tongkolnya dan tinggal dilahap tanpa perlu kupas-kupas lagi. Kalau singkong bakar, kulitnya bakal hitam banget seperti arang, makin repot lagi ngupas kulitnya. Pun umbi-umbian selain ubi dan kentang masih perlu dipotong-potong untuk dibagi rata ke semua orang. Beda dengan jagung yang sudah diciptakan pas satu buah untuk satu porsi, nggak perlu dipotong-potong lagi.

Nah, itulah analisis dari saya kenapa malam tahun baru di Indonesia sangat identik dengan kegiatan bakar jagung. Tanpa kehadiran jagung, rasa-rasanya kegiatan bakar-bakar jadi kurang lengkap. Apa masih ada teori lain?

Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 7 Rekomendasi Sosis buat Bakar-bakaran di Malam Tahun Baru.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version