Penjelasan Ending Film The Great Flood buat Kamu yang Masih Mikir Keras Ini Sebenarnya Film Apa

Penjelasan Ending Film The Great Flood buat Kamu yang Masih Mikir Keras Ini Sebenarnya Film Apa

Penjelasan Ending Film The Great Flood buat Kamu yang Masih Mikir Keras Ini Sebenarnya Film Apa (unsplash.com)

Di awal menonton The Great Flood, kita mungkin mengira ini cuma film bencana biasa. Banjir besar, air naik, manusia panik, kamera goyang, teriakan di lorong apartemen, lalu kita ikut deg-degan sambil bertanya-tanya siapa yang bakal selamat? Tapi Netflix sepertinya berpikir terlalu sayang kalau cuma menyuguhkan air bah. Maka di bagian akhir film, kita disadarkan pada satu hal: banjirnya memang besar, tapi kebingungan penonton jauh lebih besar.

Sepanjang film, kita mengikuti An-na, seorang ibu yang terjebak di apartemen saat dunia tenggelam. Fokus ceritanya terlihat sederhana saja, tentang seorang ibu mencari anaknya di tengah kekacauan. Kita dibuat percaya bahwa inilah inti filmnya: tentang naluri keibuan yang melawan bencana alam.

Sampai akhirnya film ini menarik karpet dari bawah kaki kita sendiri.

Banjir besar di 30 menit pertama film The Great Flood memang nyata

Setengah jam pertama film Korea ini memang menyuguhkan apa yang dituliskan di judulnya, The Great Flood alias banjir mahadahsyat. Bahkan saat baru mencapai menit-menit awal, jantung penonton sudah dibuat berdetak kencang dengan pemandangan air menggenangi lantai apartemen.

Adegan saat Gu An-na (Kim Da-mi) menggendong putranya Shin Ja-in (Kwon Eun-seong) lalu diselamatkan oleh Son Hee-jo (Park Hae-soo) itu juga betulan terjadi di 30 menit awal. Demikian pula dengan kejadian dramatis saat An-na harus berpisah dengan Ja-in sebelum menaiki pesawat ke luar angkasa.

Nah, adegan setelahnya itulah yang membuat penontong bingung dan bertanya-tanya. Sebenarnya mereka ini selamat atau tidak?

Adegan selanjutnya adalah simulasi

Di ending The Great Flood, perlahan terungkap bahwa apa yang kita tonton selama ini bukan sepenuhnya realitas. Banyak peristiwa banjir yang dialami An-na ternyata merupakan bagian dari simulasi berulang. Dunia yang tenggelam itu bukan sekadar tragedi alam, melainkan sebuah “ruang uji coba”. An-na menjalani kejadian yang sama berkali-kali, gagal berkali-kali, dan terus diulang sampai dia “berhasil”.

Berhasil dalam arti apa? Bukan sekadar selamat, tapi berhasil menunjukkan sesuatu yang lebih penting, yaitu emosi manusia.

An-na sendiri dikisahkan sebagai seorang peneliti yang tengah dalam proses membantu pekerjaan replikasi manusia di sebuah laboratorium. Ja-in juga bukan anak kandungnya, melainkan anak yang dibuat dengan sistem AI di lab. Itulah yang membuat Hee-jo datang untuk menyelamatkannya.

Ternyata, inti dari The Great Flood bukan soal apakah manusia bisa bertahan dari banjir, tapi apakah emosi manusia, khususnya cinta seorang ibu, bisa direplikasi, dipelajari, dan ditanamkan ke dalam kecerdasan buatan. An-na bukan cuma korban bencana, melainkan subjek eksperimen. Simulasi ini dirancang untuk melatih AI agar memahami ikatan emosional terdalam manusia: seorang ibu yang tidak akan berhenti mencari anaknya, bahkan ketika dunia sudah berkali-kali runtuh.

Petunjuknya memang ada sejak awal, tapi sengaja dibuat samar. Angka di pakaian An-na, deja vu yang berulang, keputusan yang terasa seperti diulang dengan versi lebih “tepat”. Kita, sebagai penonton, baru sadar belakangan bahwa An-na seolah bukan sedang berjuang, melainkan sedang diuji.

Di simulasi terakhir, An-na akhirnya mengingat detail yang selama ini luput: di mana dia menyuruh anaknya bersembunyi. Dia menemukan Ja-in dan mereka selamat.

Setelah simulasi dianggap berhasil, kita melihat An-na dan Ja-in berada di sebuah kapsul atau wahana, menuju kembali ke Bumi yang sudah tenggelam. Di titik ini, pertanyaan yang lebih besar muncul: apakah mereka manusia yang sama seperti di awal film The Great Flood, atau hanya versi yang “cukup manusia” menurut standar eksperimen?

Film ini memang belum sepenuhnya memberi jawaban

The Great Flood sengaja tidak memberi kepastian, dan justru di situlah letak ketidaknyamannya. Ending-nya seolah berkata bahwa di masa depan, manusia mungkin tidak diselamatkan karena tubuhnya, tapi karena emosinya. Bukan karena kuat, tapi karena bisa mencintai.

Ironisnya, emosi itu justru dipelajari, diuji, dan divalidasi oleh mesin. Seolah manusia baru dianggap “layak diteruskan” ketika bisa dijelaskan secara algoritmik.

Pada akhirnya, banjir dalam film Korea ini terasa seperti metafora yang terlalu dekat dengan realitas kita sekarang. Dunia boleh tenggelam oleh air, teknologi, atau krisis iklim, tapi yang paling sering tenggelam lebih dulu adalah makna menjadi manusia itu sendiri.

The Great Flood tidak menutup ceritanya dengan harapan yang hangat, melainkan dengan pertanyaan yang dingin: jika suatu hari emosi manusia bisa direplikasi sempurna oleh mesin, apakah kita masih istimewa atau justru sudah tergantikan sejak lama? Dan mungkin, itu sebabnya film ini terasa lebih mengganggu setelah selesai ditonton daripada saat air pertama kali naik ke lantai apartemen.

Penulis: Wahyu Tri Utami
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Harga Nuthuk di Jogja Saat Liburan Bukan Hanya Milik Wisatawan, Warga Lokal pun Kena Getahnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version