Jujur, belajar hukum adalah salah satu hal yang sangat memeras otak dan mendidihkan hati. Selain itu, kita memiliki tuntutan moral karena satu kesalahan dalam interpretasi dapat berujung seseorang dibui atau terkena degradasi alias pailit. Namun, kadang belajar hukum dan istilah hukum di dalamnya, bukan hanya soal kesulitan yang setengah mati atau perjuangan yang penuh lara dan derita. Rupanya ada kisah kocak nan jenaka yang kadang bikin saya terheran-heran sekaligus tertawa.
Setelah saya menjadi mahasiswa Fakultas Hukum pada suatu universitas di Jakarta. Saya baru menyadari bahwa ternyata banyak istilah hukum yang salah kaprah penggunaannya dalam komunikasi sehari-hari. Istilah ini memang lazim digunakan masyarakat, tapi bagi orang yang mempelajari Ilmu Hukum ketika mendengar istilah yang salah kaprah ini, rasane koyok disogrok Tugu Pahlawan, Cuk!
Sebagai contoh, masyarakat kurang mampu membedakan istilah pencurian dengan penggelapan. Kalau didefinisikan secara singkat yang dimaksud pencurian adalah tindakan seseorang mengambil barang milik orang lain tanpa izin/tanpa hak. Sedangkan penggelapan adalah tindakan seseorang mengambil barang milik orang lain di mana barang tersebut ada padanya bukan karena kejahatan. Jadi, pada pencurian barang tersebut diambil saat berada di bawah kepemilikan pemiliknya. Sedangkan pada penggelapan, barang tersebut diambil saat berada di bawah kuasanya, entah dipinjamkan, disewakan, dsb.
Begini contohnya. A punya sepeda motor. Saat motor A diparkir di depan rumahnya, tiba-tiba motor A diambil oleh B. Nah, itu adalah contoh pencurian. Sementara penggelapan contohnya, A punya uang Rp10 juta, terus dititipkan kepada B. Kemudian oleh B dibawa kabur uangnya. Itu adalah contoh dari penggelapan. Jadi, perbedaan utamanya adalah apakah barang pada pelaku ini ada padanya dengan izin atau tanpa izin.
Jadi, kalau ada anak sekolah yang diberikan uang oleh orang tuanya untuk membayar SPP, tapi digunakan untuk rental PS atau traktir pacarnya, itu namanya penggelapan bukan pencurian. Sebab, uangnya diberikan kepada A untuk bayar SPP tapi malah disalahgunakan.
Namun, dipikir-pikir aneh juga kalau istilah hukum yang digunakan penggelapan. Pasalnya, sepanjang saya hidup, ketika terjadi hal demikian pasti bapaknya ngamuk sambil bilang, “Udah berani ya kamu nyuri uang? Belajar darimana kamu nyuri uang?”
Belum pernah saya dengar, “Udah berani ya kamu melakukan penggelapan? Belajar darimana kamu melakukan penggelapan?” Aneh banget, ya? Biasanya yang seperti ini kita bisa didengarkan di acara 86, The Police, atau YouTube-nya Raimas Backbone.
Apa ada lagi? Ada. Dulu waktu kecil (entah apakah kebiasaan ini terbawa sampai menjadi bapak-bapak atau emak-emak) biasanya kalau ada yang mengambil sesuatu melebihi dari apa yang seharusnya pasti selalu dibilang, “Wah korupsi, nih, korupsi.” Padahal istilah hukum korupsi dan pencurian adalah dua hal yang berbeda. Memang sih pencurian, penggelapan, dan korupsi adalah kejahatan yang mirip-mirip satu sama lain. Namun, mirip itu bukan berarti sama ya, Rek!
Saat ini lagi hangat-hangatnya kasus korupsi oleh menteri, kan, ya? Tidak tanggung-tanggung, sudah dua menteri yang diciduk. Satu perkara lobster dan satu lagi perkara bantuan sosial. Luar biasa, Saudara-saudara. Belum sampai pertengahan periode ternyata KPK yang digadang-gadang telah dikebiri hampir mencetak hattrick. Booom!
Tahan, kita tidak boleh terpancing isu. Kita kudu fokus membahas istilah hukum yang salah kaprah.
Berbicara soal korupsi, ternyata korupsi itu banyak macamnya, lho. Coba deh kamu usil-usil main ke gedung bundarnya Jampidus (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus) terus kamu bakar arsip perkara korupsi. Eh, nggak sengaja kamu bakar. Eh, nggak. Maksudnya nanya-nanya perkara korupsi. Kalau kamu belum berani karena kamu merasa terlalu kentang untuk bakar gedung Jampidsus. Ehm, maksudnya nanya-nanya perkara korupsi. Kamu bisa tanya mbah Google untuk minta surat dakwaan perkara korupsi, nanti kamu bisa temukan jenis korupsi.
Namun, tenang, Rek. Kamu nggak perlu ke Jampidsus. Saya akan sedikit jelaskan mengenai jenis tindak pidana korupsi. Mengacu pada buku saku dari KPK yang berjudul memahami untuk membasmi tindak pidana korupsi (kamu bisa cari dan unduh ini di Google, gratis) dijelaskan bahwa ada 7 (tujuh) jenis tindak pidana korupsi. Apa saja?
Ada korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, perbuatan pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan Gratifikasi. Banyak? Ya, tentu saja. Setidaknya ini sedikit pengetahuan untuk kamu biar kelihatan lebih “berisi”. Sama seperti penjelasan sebelumnya, 7 (tujuh) jenis tindak pidana korupsi ini berbeda satu sama lain.
Jadi, perbuatan Pak JB dengan pak EP tentu berbeda, meskipun headline berita sama-sama menyebutnya sebagai korupsi. Coba saja kamu pantau kasusnya Pak JB dan EP, pasti pasal yang dikenakan dalam dakwaannya pun berbeda.
Yap, ini mungkin sekelumit kisah yang merupakan setitik bagian dari anehnya penggunaan bahasa Indonesia oleh para penuturnya. Saya tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa istilah hukum ini salah dan ini benar. Sebab, pada intinya dalam komunikasi adalah dipahaminya maksud dari apa yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Namun, menambah ilmu bukanlah hal yang salah, kan?
BACA JUGA Restorative Justice: Cara Menyelesaikan Perkara Pidana Tanpa Pengadilan dan tulisan Regentio Candrika Komala Dewa lainnya.