Pengelolaan Dana Haji Dulu dan Sekarang, Apa sih Bedanya?

Pengelolaan Dana Haji Dulu dan Sekarang, Apa sih Bedanya?

Pengelolaan Dana Haji Dulu dan Sekarang, Apa sih Bedanya? (Dena/Mojok.co)

Secara garis besar, model pengelolaan dana haji di Indonesia terbagi menjadi tiga era. Saatnya kita bedah perbedaannya!

Tahun 2023 menjadi tahun yang penuh dengan optimisme karena kasus Covid-19 melandai. Aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia mulai kembali pulih dan bergerak ke arah yang lebih positif. Selain kedua hal tersebut, dari segi ritus ibadah, masyarakat Indonesia juga mendapat angin segar karena kuota untuk jamaah haji ditambah dua kali lipat dari tahun sebelumnya.

Kuota untuk jamaah haji asal Indonesia naik menjadi 229.000 jamaah dengan komposisi jamaah lansia yang berangkat mencapai 60 ribu jamaah lebih. Penambahan kuota tersebut disambut baik mengingat dari tahun 2020-2021 terjadi penundaan pelaksanaan ibadah haji karena Covid-19 dan pembatasan kuota dan usia pada tahun 2022.

Ibadah haji bagi masyarakat Indonesia memang menjadi ibadah ritual yang pendaftarnya terus bertambah meski Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) juga terus naik tiap tahunnya. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag), Hilman Latief mengemukakan bahwa hingga saat ini tercatat ada sekitar 5,2 juta jamaah haji Indonesia yang masih dalam antrian. Dari jumlah jamaah tersebut, total dana yang dikelola mencapai Rp158,3 Triliun.

Tentu kalian bertanya-tanya bagaimana dana tersebut dikelola dengan baik sehingga memberikan imbal hasil yang sepadan dan dapat mensubsidi BPIH yang makin naik tiap tahunnya. Perlu diketahui, pada tahun ini, komposisi BPIH terdiri dari 55 persen dana setoran nasabah. Sisa 45 persennya disubsidi dari imbal hasil penempatan investasi dana haji yang dikelola. BPIH ini meliputi biaya penerbangan, penginapan, akomodasi transportasi, dan biaya lainnya.

Model pengelolaan dana haji di Indonesia

Secara garis besar, model pengelolaan dana haji di Indonesia terbagi menjadi tiga era. Era pertama pengelolaan dana haji oleh pihak swasta yang berlangsung dari tahun 1893 hingga 1951. Karena dilakukan oleh pihak swasta, maka masyarakat menyetorkannya ke pihak swasta kemudian dihimpun jadi satu oleh pemerintah. Era ini dihentikan dan diambil alih langsung oleh pemerintah karena skema pengelolaannya hanya mengedepankan keuntungan.

Selanjutnya, era kedua adalah pengelolaan oleh Kemenag di bawah Dirjen PHU. Era ini berlangsung hingga tahun 2016. Mandat pengelolaan dana haji kemudian dipindahkan sesuai amanat dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang pengelolaan keuangan haji dengan dilanjutkan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) mulai tahun 2017 hingga saat ini. Nah, sekarang mari kita bedah perbedaan pengelolaan era dana haji era Kemenag dengan era BPKH.

Pengelolaan dana haji era Kemenag

Pengelolaan dana haji pada era Kemenag dilakukan dengan lebih sederhana dengan sumber dana hanya dari setoran dana para jamaah. Setoran dari nasabah kemudian diterima oleh Kemenag melalui rekening Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggara Ibadah Haji (BPS BPIH) sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Mengapa saya sebut sederhana? Ya karena pengelolaan yang dilakukan oleh Kemenag hanya menempatkan dana haji melalui dua jalur, yaitu perbankan dan surat berharga. Untuk perbankan, instrumennya meliputi giro dan deposito berjangka. Sementara surat berharga maksudnya Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan di pasar modal.

Model pengelolaan ini pada dasarnya tidak buruk karena masih dapat mensubsidi BPIH pada saat itu. Dari interval tahun 2010 hingga 2014, BPIH pada saat itu masih di angka 30 juta hingga 59 juta. Melalui skema investasi yang demikian, nominal BPIH tersebut masih dapat disubsidi oleh pemerintah. Akan tetapi, skema ini tidak dapat dipertahankan terus menerus karena BPIH yang naik signifikan seiring dengan inflasi dan melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS yang dijadikan patokan BPIH-nya.

Saat ini, BPIH sudah menyentuh 90 juta per jamaah. Sehingga apabila model penempatan investasi ini masih berlaku hingga sekarang, maka porsi subsidi yang ditanggung pemerintah pasti tidak bisa mencakup setengah dari BPIH jamaah haji saat ini. Kalau sudah begitu, setoran haji para jamaah juga berpotensi jadi lebih besar.

Pengelolaan dana haji era BPKH

Pengelolaan dana haji dalam tubuh Kemenag dikritik banyak orang karena rentan dengan tindakan penyelewengan. Ya mosok, pihak penyelenggara punya wewenang hingga mengelola dana. Dua fungsi yang ditempatkan pada satu dirjen tertentu jadi tidak efektif. Wong kepanitiaan seminar aja memisahkan divisi teknis acara dengan bendahara. Tujuannya jelas agar yang satu fokus mempersiapkan konsep penyelenggaraan acara, sementara satunya lagi fokus ngurusin keuangan meliputi cash flow, pemasukan, dan pengeluaraan. Tentu biar tidak asal-asalan, kan?

Sama halnya dengan penyelenggaraan ibadah haji. Pihak yang menyiapkan penyelenggaraan haji juga harus dipisah dengan yang mengelola dana haji, dan itu harus di luar struktural dari kelembagaan Kemenag.

Nah, karena kepentingan tersebut, dibentuklah BPKH pada tahun 2017 berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. BPKH merupakan lembaga non-struktural yang bersifat independen dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama. Setidaknya terdapat empat fungsi BPKH:

  1.     Perencanaan penerimaan, pengembangan, dan pengeluaran keuangan haji.
  2.     Pelaksanaan penerimaan, pengembangan, dan pengeluaran keuangan haji.
  3.     Pengendalian dan pengawasan penerimaan, pengembangan, serta pengeluaran keuangan haji.
  4.     Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan penerimaan, pengembangan, dan pengeluaran keuangan haji.

Fungsi pengembangan Badan Pengelola Keuangan Haji

Fungsi pengembangan jadi salah satu pembeda dari BPKH. Karena adanya fungsi tersebut, orang-orang yang berada di dalam BPKH terutama Badan Pelaksana Harian dan divisi di bawahnya diisi oleh profesional dan berkompeten di bidang keuangan.

Hal ini dikarenakan wewenang BPKH yang diwajibkan mengelola dua jenis dana. Pertama adalah dana setoran awal jamaah haji yang ditempatkan di berbagai produk investasi yang aman dengan imbal hasil yang kompetitif sehingga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi segala macam kebutuhan jamaah haji.

Tercatat, nilai manfaatnya pada tahun 2022 mencapai Rp10,3 triliun. Penempatan investasi ini penting, mengingat BPIH para jamaah sangat dipengaruhi oleh fenomena naiknya inflasi dan kurs mata uang dollar US. Sejak tahun 2011, rata-rata kenaikan BPIH mencapai 7-8 persen setiap tahunnya. Ini kenaikan yang cukup tinggi, lho.

Kedua adalah pengelolaan terhadap Dana Abadi Umat (DAU) yang nominalnya mencapai Rp3,8 triliun pada tahun 2022. Dana ini bersumber dari efisiensi biaya penyelengaraan ibadah haji dari tahun tahun sebelumnya.

Berbeda dengan dana setoran haji nasabah, DAU memiliki fleksibilitas untuk disalurkan secara lebih luas untuk kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat. Target penyaluran nilai manfaatnya mencapai lebih dari Rp200 miliar pada tahun 2023.

Sekarang pertanyaannya, ke mana DAU yang nilai manfaatnya mencapai ratusan miliar ini dialokasikan?

Nilai manfaat dari DAU kemudian dialokasikan ke 6 sektor, yaitu pelayanan ibadah haji, pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial keagamaan, ekonomi umat, serta sarana dan prasarana ibadah. Secara spesifik, wujud dari nilai manfaat DAU dapat dilihat dari berbagai pembangunan fasilitas umum seperti asrama haji, pembangunan beberapa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri, gedung sekolah/madrasah, dan berbagai program-program pemberdayaan masyarakat yang bekerja sama dengan banyak pihak.

Bahkan, saat ini BPKH juga sedang mengembangkan ekosistem haji di Arab Saudi sebagai bentuk penyediaan segala akomodasi yang dibutuhkan oleh jamaah haji Indonesia. Tentu ikhtiar ini patut didukung karena ketersediaan ekosistem haji akan memangkas berbagai biaya akomodasi jamaah karena akan lebih murah.

Model investasi

Dalam mengembangkan dana haji baik dana setoran jamaah maupun DAU, BPKH tentu menempatkannya di beberapa instrumen investasi yang menjanjikan, menurut peraturan BPKH nomor 5 tahun 2018 tentang Tata Cara dan Bentuk Investasi Keuangan Haji setidaknya ada 4 model investasi:

  1.     Investasi surat berharga syariah baik melalui surat berharga negara maupun efek syariah.
  2.     Investasi emas melalui instrumen pembelian emas batangan dan rekening emas.
  3.     Investasi langsung berupa pernyataan modal atau saham ke perusahaan non publik atau kerja sama dengan lembaga yang memiliki reputasi baik.
  4.     Investasi lainnya meliputi produk perbankan selain giro dan deposito, investasi di pasar uang, serta penyewaan aset tanah/bangunan/barang yang dapat dinilai dengan uang.

Keempat model investasi ini memiliki persentase batasan dari total penempatan dana investasi yang diatur dalam PP Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Pertama, investasi dalam bentuk emas memiliki batas maksimal 5 persen. Kedua, investasi langsung maksimal 29 persen. Ketiga, investasi lainnya maksimal 10 persen. Dan keempat, investasi surat berharga syariah persentasenya dari total keuangan haji dikurangi besaran investasi jenis lainnya.

Nah, tentu skema pengembangan dana haji oleh BPKH terus dilakukan dan diperhatikan kehati-hatiannya agar manfaat dana haji ini dapat dirasakan secara menyeluruh. Seperti apa pun alokasi manfaatnya, kita tetap berharap BPKH menjaga independensinya sehingga dananya tidak dialokasikan ke sektor-sektor aneh. Yah, siapa tahu kan kecolongan malah ngasih dimanfaatkan ke agenda-agenda politik. Bentar lagi mau Pilpres, lho.

Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Memahami Apa Itu Kuota Haji dan Kenapa Masa Tunggunya Begitu Lama.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version