Vaksin Covid-19 sudah tiba di Indonesia dan presiden memberi keterangan akan menggratiskannya. Sempat beredar kabar pula katanya pemerintah akan mewajibkan seluruh masyarakat menerima vaksin. Konsekuensinya, bagi orang yang menolak divaksin akan mendapatkan hukuman. Dalam pikiran saya, kenapa harus repot-repot, sih?
WHO tanggal 7 Desember 2020 lalu memberi sinyal menentang negara yang mewajibkan vaksinasi bagi rakyatnya. Alasannya disebut akan menyebabkan pertentangan di tengah masyarakat. Saya rasa alasan ini hanya gimmick WHO, karena sebenarnya mereka ingin mengatakan tidak perlu terlalu memikirkan nasib orang-orang bebal selama masa pandemi ini.
Selama seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, berperang melawan corona, ada saja orang-orang yang terhipnotis dengan teori-teori liar. Virus ini buatan elite global lah, pandemi untuk merusak tatanan dunia lah, di dalam vaksin Covid-19 dipasangi chip lah. Awalnya masih lucu, tapi lama kelamaan melihat tingkah orang-orang ini memuakkan juga.
Orang-orang yang senang menuduh ini, kalau dimarahi selalu berlindung di balik kebebasan berpendapat. Kasus seperti itu seolah jadi makanan sehari-hari selama menghadapi penganut teori konspirasi garis keras. Sampai-sampai saya teringat dan sepakat dengan perkataan Filsuf ternama Socrates bahwa demokrasi menjadi buruk bila masyarakatnya tidak terdidik.
Terbukti, di Indonesia sebagai negara demokrasi, opini yang orang-orang itu sebarkan kedengaran seperti omong kosong. Bukannya menolak teori konspirasi, tapi sebaiknya itu dijadikan sebagai bukti petunjuk, bukan bukti final. Sekali lagi, petunjuk, belum final. Memang bukti petunjuk bisa mengantarkan kepada bukti final. Akan tetapi, hal ini perlu pengujian agar sampai ke sana dan kemudian dapat digunakan untuk membuat kesimpulan.
Alasan tidak perlu memaksa mereka untuk vaksin seperti saat meminta mereka menjaga protokol dengan ketat
Protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Bukan cuma pencegahan penularan virus, melainkan juga langkah penanganannya. Langkah penanganan ini juga berkaitan dengan tes SWAB, PCR, dan Rapid. Sebelum adanya vaksin Covid-19, tes-tes inilah yang kerap digoreng penganut teori konspirasi.
Kalau sekadar opini masih lebih baik, tapi masalahnya adalah sampai pada perilaku. Protokol yang ditetapkan mereka langgar, peringatan pemerintah mereka abaikan, orang di sekeliling tidak mereka hiraukan. Bersikukuh pandangan mereka yang paling benar.
Masalahnya, pandemi ini bukan tentang opini siapa yang benar dan salah, melainkan tentang keselamatan hidup orang. Oleh karenanya, terdengar seperti bullshit kalau ada orang yang tidak taat protokol tapi bilang kemanusiaan di atas segalanya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa protokol kesehatan di masa pandemi ini bukan hanya untuk keselamatan diri sendiri, tapi juga orang lain. Pasalnya, dengan tidak mematuhi protokol mereka bisa turut berkontribusi menyebarkan virus ke orang lain.
Sementara itu, permasalahan vaksin Covid-19 lebih mengarah pada kesadaran akan kesehatan. Vaksin menandakan ada kepedulian supaya dirinya tidak tertular virus. Jadi kalau para penganut konspirasi masih sibuk dengan teori-teorinya dan menolak untuk divaksin, ya risikonya mereka sendiri yang tanggung.
Ibarat sedang hujan badai dan ada rumah untuk berlindung, orang yang ingin selamat silakan masuk. Sementara orang yang membiarkan dirinya terkena badai karena takut rumahnya berhantu, ya tetap di luar. Tidak perlu dipaksakan. Sama seperti penganut konspirasi tidak mau dipaksa mematuhi protokol selama masa pandemi.
Posisi terakhir dalam daftar adalah tempat yang layak bagi mereka
Kembali pada pertanyaan pertama, kenapa pemerintah mesti repot-repot memikirkan orang-orang seperti ini? Padahal faktanya masih ada masyarakat yang mengangkangi imbauan pemerintah selama ini. Menurut saya, bukan hanya tidak perlu diwajibkan, bahkan seharusnya orang-orang pelanggar protokol dan penganut konspirasi ini diberi antrean terakhir vaksin Covid-19.
Langkah ini juga bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat yang telah “meludahi” perjuangan banyak orang melawan pandemi. Akan sangat menyakitkan bagi orang-orang yang menaati protokol sejak awal dan tenaga kesehatan yang berjuang mati-matian menangani virus.
Hal ini saya rasa perlu dipertimbangkan pemerintah, yakni menambah kategori dalam urutan masyarakat yang diprioritaskan menerima vaksin Covid-19. Selain agar tidak melukai perasaan masyarakat dan tenaga kesehatan yang sudah patuh protokol.
Bukannya mengajarkan untuk mendendam, tapi kalau tidak diberi pelajaran ya kapan pintarnya. Pemerintah perlu menunjukkan ketegasan dalam hal ini. Bukan hanya dengan menghukum orang-orang yang membangkang, tapi juga memberi hadiah bagi yang sudah ikut berjuang. Anjing menggonggong kafilah berlalu. Biarlah penganut konspirasi merongrong, kita vaksin saja dulu.
BACA JUGA Kok Bisa Ada Negara yang Menggratiskan Vaksin? Contoh Indonesia, dong!