Perjalanan saya pakai jilbab seperti layaknya orang membina hubungan, alias tidak terjadi begitu saja. Kalau orang membina hubungan ada tahap pendekatan, pacaran, lamaran, lalu menikah. Maka saya mengawali perjalanan saya memakai jilbab dengan jilbab leher, sedada, sampai jilbab tangan.
Saya ingat waktu itu tahun 2012, saat pertama saya pakai jilbab. Jilbabnya masih jilbab leher. Itu tuh, yang jilbab segitiga trus dililitin di leher. Hahaha…Maju mundur dong saya saat itu. Mau keluar rasanya kok deg-degan, berasa kayak mau nyamperin calon mertua untuk pertama kali.
Kira-kira apa kata orang nanti? Saya bakal kelihatan aneh nggak, ya? itu beberapa pertanyaan yang bikin saya maju mundur dan nggak pede saat mau keluar rumah. Tapi, masa iya saya mau di dalam rumah terus? Kan saya bukan kura-kura. Apalagi saat itu saya punya bocah batita yang pasti pengin keluar rumah buat main-main sama temennya.
Maka melengganglah saya keluar rumah. Ternyata bener, saat launching perdana keluar rumah, ditanyain dong sama tetangga kepo, “Mau kondangan, Mbak?”
Hiyaaa… bener juga nih tetangga saya. Biasanya, orang yang nggak pernah pakai jilbab terus tiba-tiba pakai, itu ada 3 kemungkinan: kondangan, kondangan, atau kondangan! Ya emang kayak gitu keadaanya. Jilbab sudah kayak jadi semacam dresscode emak-emak yang tinggal di kampung. Maka nggak salah kalau tetangga saya tanya seperti itu. Saya yang biasanya pakai kaus ketat dipadu jeans selutut, khas mamah-mamah muda kekinian gitu, tiba-tiba keluar rumah dalam keadaan rapet. Siapa yang nggak bertanya-tanya?
Ganti tahun, style jilbab saya berubah. Mulai nggak nyaman kalau jilbab dililit ke leher. Turun sedikit deh, jadi nutupin dada. Dan sekarang jadi sepanjang lengan tangan. Berikutnya, bakal tambah panjang lagi sampai lutut? Who knows?
Pengalaman selama pakai jilbab lebar mengajarkan saya untuk no baper-baper. Cukup denger yang penting aja, yang nggak penting nggak usah didenger apalagi dimasukin ati. Jangan. Panjang urusan nanti. Toh, bisa bikin jerawatan juga. Mahal, Bos, obat jerawat, tuh!
Satu: Dibilang Sok Suci
Hanya karena saya melebarkan jilbab sampai sepanjang lengan tangan dan tidak bersalaman dengan lawan jenis, saya pernah dibilang sok suci. Pertama denger sih kerasa nyelekit. Tapi berikutnya, woles. Nggak apa-apa dibilang sok suci. Emang nyatanya saya ini ‘sok suci’ alias ‘sokan nyuci’ atau kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi ‘sering nyuci. Lha kalau bukan saya yang nyuci siapa lagi? Sampeyan?
Dua: Dipanggil Ustazah
Berikutnya saat awal-awal saya pakai jilbab lebar, oleh teman yang jahil saya pernah dipanggil ‘ustazah’. Ada juga yang panggil ‘Bu Haji’. Pernah ngalamin juga, nggak? Udah, jangan dimasukin hati. Anggap aja kita lagi didoain naik haji beneran. Siapa tahu teman kita itu diem-diem lagi nabung buat bayarin kita naik haji. Ye, kan~
Namun, seiring waktu temen saya bosen juga, tuh. Terus dia berhenti sendiri. Paling ya sesekali, mungkin kalau pas dia lagi kumat jahilnya, dia nyeletuk, “Eh, ada ustazah.”
Tiga: Dianggap Paling Tahu Agama
Nah ini nih. Kadang saya suka geli sendiri kalau ada yang tanya hukum-hukum agama ke saya. Kalau pertanyaannya sederhana sebatas berapa jumlah rukun Islam atau bacaan salat sih, saya masih bisa jawab. Nah kalau pertanyaannya sudah rumit? Bingung, kan, saya jawabnya. Ya, mending nggak usah jawab juga, daripada salah jawab, hayo? Mbok tanyanya tuh sama yang beneran pinter. Saya siapa? Wong, cuma butiran debu. Pakai jilbab lebar bukan berarti saya ini sepintar Mamah Dedeh, kalii. Salah server, ah!
Kalau dipikir-pikir, iya sih. Dibanding beberapa tahun silam, penggunaan jilbab di kalangan perempuan memang meningkat tajam. Mungkin itu sebabnya ada yang menyebut penggunaan jilbab ini lebih ke arah ‘mengikuti tren’. Yang lain pada pakai jilbab, masa saya nggak? Malu ah sama calon mertua. Gitu kurang lebih.
Bisa juga karena melihat baju gamis yang modelnya bagus-bagus jadi tertarik memakai jilbab? Atau, jadi tertarik setelah denger lagu Aisyah Istri Rasulullah, Karena terinspirasi, begitu? Ya sudah nggak papa, sih. Hak mereka juga. Wong kalau dipikir-pikir, hidup kita ini seperti tulisan di badan truk: Hidup ini kita yang jalani, Tuhan yang menentukan, orang lain yang komentar.
BACA JUGA Jadi Sebenarnya yang Benar Itu Menutup Aurat atau Memakai Jilbab? dan tulisan Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.