Setiap profesi memiliki cerita dan pengalaman masing-masing. Ada yang menyenangkan ada juga yang menyengsarakan. Berbagai macam profesi pernah saya lakoni. Tapi, ada satu yang paling sulit sekaligus membekas sampai sekarang dalam benak saya.
Profesi menjadi tukang tagih utang di sebuah koperasi swasta merupakan profesi yang sulit dan tidak mengenakkan menurut saya. Kerjanya berat, harus pergi ke rumah nasabah tak peduli terik dan hujan. Apalagi jika rumah si nasabah di atas bukit, Supra Fit saya sampai mengerang minta dipensiunkan saja. Maklum, Jember kan memang terkenal dengan daerah perbukitannya. Pas sampai di rumah nasabah, bukan dapat uang malah dapat kisah sedih perjalanan hidup mereka yang saya dengar.
Saya sebenarnya tak cocok berprofesi sebagai tukang tagih. Pada dasarnya saya mudah tersentuh dan nggak tegaan. Saat mendengar sawah si nasabah gagal panen saya pun akhirnya pulang dengan tangan hampa karena tak tega untuk memaksa. Beda dengan teman-teman yang sudah pro. Biasanya mereka menunggu sampai si nasabah nggak tahan dan terpaksa membayar tagihan utangnya.
Lebih menyebalkan lagi banyak juga orang yang salah paham dengan profesi ini. Dikiranya kami ini adalah tukang jabel atau debt collector. Perbedaan paling mencolok dari tukang tagih biasa dan tukang jabel adalah tukang tagih tidak akan menggunakan kekerasan saat menagih utang dari nasabah. Kami hanyalah fasilitas yang disediakan kantor untuk mempermudah nasabah yang tidak bisa datang langsung ke kantor karena rumahnya jauh. Jadi kami hanya sebagai fasilitator yang justru membantu para nasabah.
Namun, namanya juga masyarakat, terkadang lebih mengedepankan emosi daripada akalnya. Pernah saya mendapatkan ancaman pembunuhan karena dikira tukang jabel. Si nasabah yang merasa dirinya terhormat tidak terima dengan kedatangan saya ke rumahnya. Dia anggap tindakan saya mencoreng nama baiknya dan mengira motor yang dia jadikan jaminan akan disita. Padahal saya juga ngak mau capek-capek nyita motornya, dijual juga nggak seberapa.
Kalau memang tidak mau ditagih ke rumah kenapa sampai telat bayar cicilan bahkan sampai telat berbulan-bulan. Kalau memang terhormat kenapa tidak datang langsung ke kantor untuk bayar. Kan saya nggak perlu capek-capek datang menagih ke rumahnya.
Pernah ada di berita televisi dua orang penagih utang yang salah satunya masih training, tewas di tangan nasabah. Nasabahnya tak terima ditagih akhirnya gelap mata. Krezi.
Ada juga tipe nasabah yang hanya mengumbar janji-janji. “Nunggu motor laku mas, pasti saya lunasi” setiap kali dikunjungi pasti itu kata-kata andalannya. Setelah saya tanya pada teman yang lebih senior, ternyata dia sudah bilang begitu sejak dua tahun yang lalu. Ini motornya yang nggak laku atau memang dia saja yang nggak mau bayar?
Ada juga nasabah yang memang benar-benar malang nasibnya. Awalnya nasabah ini rutin membayar cicilan, tak pernah telat setiap bulan selalu datang sendiri ke kantor.
Suatu hari nasabah ini sakit dan tak bisa bekerja. Akhirnya dia tidak bisa membayar dan sampai telat berbulan-bulan. Ketika saya datangi ke rumahnya, dia memiliki itikad baik. Walaupun tidak membayar hari itu karena dia memang sedang tidak punya uang, tapi dia berjanji tanggal sekian akan bayar. Saat saya datang ke rumahnya tanggal sekian dia benar-benar menepati apa yang dia janjikan. Nasabah seperti ini biasanya akan saya hargai dan mintakan potongan ke kantor agar bebannya tak terlalu berat.
Selain menghadapi nasabah yang sulit sekali ditagih dan jarak rumah nasabah yang jauh, tantangan lain yang dihadapi tukang tagih adalah target yang diberikan kantor. Ada minimal tagihan yang harus didapatkan supaya uang makan bisa cair. Kalau tidak memenuhi target, jangan harap dapat uang makan. Apalagi saat itu saya diberi daerah yang sudah di-blacklist karena nasabahnya terkenal bandel. Bahkan banyak yang menunggak cicilan sampai bertahun-tahun.
Sebenarnya itu juga bukan merupakan sepenuhnya kesalahan para nasabah di daerah itu. Sebelumnya mereka lancar bayar tagihan, tapi ternyata tagihan yang mereka bayarkan ke penagih yang menangani daerah ini sebelum saya malah digelapkan, sehingga tak tercatat di kantor. Jadi ketika saya diturunkan ke daerah situ, para nasabah sudah tidak punya kepercayaan lagi dan tak mau sama sekali bayar cicilan. Maklum juga sih, namanya kepercayaan yang sudah dirusak pasti menimbulkan trauma.
Nah, dengan wilayah dan kondisi nasabah yang sudah tak mau membayar sama sekali pada akhirnya yang dirugikan adalah saya pribadi. Target harian tak pernah tercapai,uang makan tak pernah cair, gaji pokok pun hanya cukup buat transport dan makan sehari-hari. Ditambah lagi motor Supra Fit saya sudah rusak parah. Kantor menjanjikan fasilitas motor setelah selesai masa training tapi sampai berbulan-bulan tak juga diberikan.
Tantangan bagi seorang tukang tagih juga ketika kita membawa uang setoran banyak. Lembar-lembar uang itu seakan-akan merayu untuk kita gunakan sendiri. Saya merasa beruntung setiap penagihan tidak pernah mendapat jumlah yang besar, bahkan sering kali kosong. Yah meskipun sampai kantor saya dimarahi bos, tapi setidaknya godaan untuk menggelapkan uang kantor tak terlalu berasa sehingga bisa terhindar dari masalah yang kebanyakan menjerat para penagih.
Jadi, bagi kalian yang ingin melamar kerja sebagai penagih utang di sebuah koperasi atau bank swasta, mungkin pengalaman di atas bisa jadi sedikit referensi.
BACA JUGA Bersyukurlah Jadi Maba Universitas Jember, Biaya Hidup Murah dan Wisatanya Banyak dan artikel Sigit Candra Lesmana lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.