“Mas, ini ada bancaan dari mas Awan.” Suara itu terdengar merdu. Sehingga mampu membuat saya bangkit kasur yang nyaman. Segera saya menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Awan (tentu bukan nama sebenarnya) adalah salah satu pengedar narkoba yang masyhur di desa kami. Saya sebut salah satu karena di desa saya, masih ada satu lagi pengedar narkoba yang memiliki segmen pasar yang berbeda.
Rumah saya dan Mas Awan terbilang cukup dekat. Tidak ada objek yang menghalangi kalau sewaktu-waktu saya ingin berteriak memanggilnya dari teras depan rumah.
Desa kami mayoritas masyarakatnya adalah agamis. Sangat menjunjung tinggi moral dan nilai agama. Jadi, kalau ada masalah yang bertentangan dengan nilai agama biasanya akan jadi bahan cibiran warga. Warga kami tidak mengenal kekerasan. Jadi, kalau ada yang dirasa kurang tepat, masalah biasanya akan diselesaikan dengan rasan-rasan.
Sekitar lima tahun silam, bertetangga dengan pengedar narkoba adalah pengalaman yang mengasyikkan. Mas Awan bukan pengedar narkoba seperti di film-film yang memiliki misi dan tantangan yang cukup mencekam. Ia adalah seorang pedagang dan pebisnis barang haram yang humanis.
Sebagaimana masyarakat pada umumnya, tampaknya Mas Awan cukup mengerti etika-etika dan tata krama menjadi seorang tetangga yang kaya. Dia sering membagikan bingkisan atau makanan kepada kami-kami, tetangganya.
Mungkin dia sedang syukuran. Entah itu bisa disebut syukuran atau tidak. Akan tetapi yang pasti, dia sedang berusaha untuk menjadi orang yang saleh di lingkungan sosial.
Orang tua saya biasanya enggan memakan makanan yang didapat dari Mas Awan. Katanya, “Itu kan didapat dari uang haram, mbok ya jangan dimakan, buang wae!”
“Hambok ben,” sahut saya. Saya sangat lahap dan selalu bersuka cita menyantap makanan atau jajanan yang saya dapatkan dari siapa pun.
Tidak ada yang tidak tahu kalau Mas Awan adalah pengedar narkoba. Hampir semua orang di desa menyadari itu. Namun, apa bisa dikata, berpuluh-puluh kali masyarakat dan perangkat desa mengingatkannya. Bahkan tokoh agama di desa kami pun kerap kali memperingatkan untuk segera menutup praktik obatnya. Tapi, peringatan demi peringatan tidak pernah ia iyakan.
Saya tidak tahu pasti, narkoba jenis apa yang ia jual. Akan tetapi, yang saya dengar dari orang-orang, Mas Awan meracik pil oplosan yang dijual dengan harga yang cukup merakyat.
Setiap hari, jalan kecil di depan rumah saya tidak pernah absen dari motor-motor “pasien” Mas Awan yang berseliweran. Semua pasiennya variatif. Mulai dari bapak-bapak tua, hingga anak remaja yang mungkin kalau nongkrong, masih kerap bercerita seputar sakitnya disunat. Terkadang, saya menjumpai kawan saya yang lewat. Akan tetapi, seringnya, pasiennya adalah orang-orang asing yang datang jauh dari luar desa, atau bahkan luar kecamatan.
Sebetulnya, dari data demografi yang saya dan bapak saya amati, mereka (pasien mas Awan) sebenarnya memiliki rasa malu untuk membeli dan menggunakan narkoba. Tapi mungkin, mereka juga tak berdaya, kecanduan memang sangat sulit dicarikan obatnya.
Mas Awan sangat jarang membuat kerusuhan di lingkungan kami. Bahkan, para pasiennya tidak jarang kami omeli ketika salah satu dari mereka membawa motor yang bunyinya terlalu berisik dan sangat mengganggu di telinga.
Sebagai “dokter”, Mas Awan biasanya akan menegur pasiennya yang mengganggu warga sekitar. Tidak ada pilihan lain bagi pasien selain tunduk terhadap perintah dokternya. Biasanya keesokan harinya, kami akan menjumpai seorang pemuda dengan baju preman, berotot, dan berkulit hitam, lewat depan rumah kami sambil berjalan kaki menuntun motornya dan menyapa, “Monggo, Pak,” sembari menampakkan wajah sumringahnya.
Itu di hari biasa. Ketika lebaran, tamu di rumah saya dan tamu di rumahnya sangat jauh berbeda dari segi kuantitasnya. Lebaran hari pertama, di rumah Mas Awan biasanya akan dijejali dengan pasien-pasiennya yang berkulit hitam, berotot, dan berpakaian ala akhi-akhi.
Mungkin mereka hendak bersilaturahmi dan berterima kasih ke Mas Awan. Lantaran berkat dia, para pasiennya bisa hidup mengikuti passion mereka. Tidak mengintil dan membebek pada kemajuan zaman. Mungkin lho, ya.
Kami, tetangganya, jarang sekali membela atau menghakimi. Kami semua tahu bahwa itu adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Selain karena bertentangan dengan nilai agama, praktik Mas Awan juga tentu melanggar hukum. Namun, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Mengingatkan tentu sudah sering kami lakukan, entah dengan cara tersirat maupun tersurat.
Akan tetapi, menghentikan praktik narkoba tentu sepenuhnya adalah kewenangan aparat. Kami tidak memiliki kekuatan apa pun untuk menghentikannya secara sepihak. Kami tidak sedigdaya itu.
Sejauh ingatan yang bisa saya jangkau, pernah beberapa kali Mas Awan keluar masuk penjara. Kadang, ia tidak pernah menampakkan diri. Begitu pula dengan pasiennya. Motornya tidak lagi berseliweran di jalan depan rumah saya selama berbulan-bulan. Namun, tidak lama kemudian, pemandangan jual beli barang haram tersebut akan kembali beroperasi.
Akan tetapi, kini semua praktik itu sudah berhenti. Beberapa bulan yang lalu ketika saya pulang kampung, sudah tidak tampak lagi pemandangan seperti dulu. Mungkin blio sudah sadar dan taubat. Atau bisa jadi, tingkat kecaman, ancaman, dan hukuman yang diterima Mas Awan akhir-akhir ini sudah semakin gencar. Tidak seperti kami dahulu yang terlalu santai menyikapi praktik haram yang menjerumuskan tersebut.
Pungkasnya, ada dua hal yang hendak saya garis bawahi. Pertama, sesuatu yang terlihat batil, tidak selalu harus diselesaikan dengan kerusuhan dan kekerasan. Kedua, kalau Anda berniat berdagang narkoba, pikirkan juga unsur-unsur kemanusiaannya. Itu penting sekali demi menunjang keberhasilan dan kelanggengan bisnis Anda. Eh.
BACA JUGA Mau Pakai Narkoba? Jangan Coba-Coba Deh atau tulisan Muhammad Farih Fanani lainnya.