Pengalaman Saya Berkunjung ke Medan Nggak Sesuai dengan Ekspektasi, Benar-benar Bikin Kaget!

Pengalaman Saya Berkunjung ke Medan Nggak Sesuai dengan Ekspektasi, Benar-benar Bikin Kaget!

Pengalaman Saya Berkunjung ke Medan Nggak Sesuai dengan Ekspektasi, Benar-benar Bikin Kaget! (Harry Prabowo via Unsplash)

Medan adalah salah satu kota di Sumatera, bahkan masuk kategori Kota semi metropolitan di Indonesia. Sebab, kota ini punya fitur untuk disebut kota besar, tapi belum seutuhnya metropolitan selayaknya Jakarta atau Surabaya. Medan menjadi poros utama ekonomi di Sumatera.

Bandara-pelabuhan di Medan menjadi simpul yang menghubungkan berbagai aktivitas perdagangan dari berbagai daerah di luar Sumatera. Selain itu, jaringan dan layanan seperti rumah sakit, kampus, kawasan perdagangan, mall, dan kuliner lintas etnis sudah tersedia cukup lengkap di Medan. Hal itu membuatnya layak untuk dikunjungi dan jadi persinggahan wajib bila ingin ke daerah lain di Sumatera Utara.

Nah, saya sendiri pernah 2 kali ke Medan. Pertama saat kuliah S1 untuk acara perlombaan. Yang kedua karena urusan pekerjaan. Karena kunjungan pertama saya merasa kurang mengeksplor, maka pada kunjungan kedua, saya merasa perlu menjelajahi Medan sedikit lebih luas. Supaya tidak terkesan hanya numpang lewat saja.

Tapi apa yang saya dapati justru tak sesuai dengan ekspektasi. Realitasnya, ada beberapa hal yang saya alami dan amati ternyata membuat saya garuk-garuk kepala karena heran dan sedikit kecewa.

Julukan Kota Durian pada Medan yang nggak sesuai dengan ekspektasi

Pertama adalah julukan Kota Durian untuk Medan yang saya rasa terlalu diglorifikasi. Sebagai pecinta durian. Julukan seperti ini tentu membuat saya jadi semangat ketika ke Medan. Banyak yang bilang durian Medan itu selalu manis dan murah.

Kenyataannya nggak sepenuhnya demikian. Setelah dicicipi, rasa durian Medan memang manis di lidah, tapi agak pahit di dompet. Durian yang ditawarkan harganya nggak kalah mahal dari yang ada di Jawa. Entah sayanya yang salah beli ke penjual atau memang sedang tidak musimnya. Tapi yang jelas, perkara durian ini agak menyebalkan. Apes memang.

Selain itu, durian yang disantap pun jadi kurang nikmat karena yah sahut-sahutan antara penjual dan pembeli yang bising. Memang sebaiknya dibeli dan dibawa pulang saja, jangan dimakan langsung di lokasi.

Persoalan kedua yang saya rasa nggak sesuai ekspektasi adalah predikat sebagai surga kuliner dengan rasa yang ramah di lidah disertai tempatnya yang wah dan nyaman. Yah kuliner macam soto medan, bihun bebek, kari bihun, atau lontong Medan. Saya berkesempatan mencicipi beberapa di antaranya di warung-warung yang katanya sering jadi rekomendasi utama.

Namun sayangnya, makanan seperti bihun bebek dan lontong Medan nggak cocok di lidah saya. No offense ya. Tapi bagi saya terlalu pekat dengan rasa gurih, bahkan cenderung asin. Pernah nggak si kalian merasa eneg tapi karena terlalu asin? Nah kalau pernah, kurang lebih kek gitu rasanya.

Selain itu, karena warungnya ramai, menunggu makanannya datang pun sangat lama. Udah nunggunya harus sabar dan nahan lapar, pas datang, rasanya nggak cocok di lidah. Pada akhirnya saya pun balik lagi nyobain makanan yang lebih umum.

Perangai pengendara

Persoalan selanjutnya adalah tentang anggapan karena Medan berstatus kota bisnis berarti semuanya serba profesional, sistematis, dan efisien. Realitasnya, budaya perkotaan yang kompetitif nggak sepenuhnya terlihat di kota Medan. Yah sebenarnya ini bukan menjadi sebuah kekurangan sih, tapi lebih kepada unsur yang membuat saya sadar bahwa budaya perkotaan yang serba cepat, profesional, dan menuntut efisien itu nggak diberlakukan secara kaku di Medan.

Penilaian ini muncul karena saya ke sana untuk urusan pekerjaan sehingga interaksi saya kepada warga setempat pasti dari kacamata seorang yang sedang bekerja.

Terakhir yang membuat saya agak kesal adalah soal perilaku pengendara di jalanan. Yah saya tahu Medan ini isinya orang dari berbagai kalangan di Sumatera yang bertipe agak keras dan ceplas-ceplos, tapi rasanya kalau soal lalu lintas masih bisa terkendali. Setidaknya itu anggapan saya. Sampai akhirnya saya mengalaminya sendiri.

Mulai dari bunyi klakson yang bersahutan sana-sini, motor melesat membuka celah, dan mobil seperti sepakat menari rapat tanpa saling singgung. Saling salip jadi bahan tontonan saya di sepanjang jalan. Untungnya waktu itu saya menggunakan mobil, sehingga agak sedikit lebih aman.

Ketika berbincang dengan rekan yang menyetir, dia bilang kalau jalanan Medan seperti panggung besar dengan koreografi yang hanya dimengerti pemain lokal. Menyeberang butuh nyali dan timing, bukan sekadar mengandalkan naluri.

Kota to the point

Tapi terlepas dari itu, meski bukan tipe kota dengan ritme yang cepat, Medan tetaplah kota yang “to the point”. Sebab di sana, orang sering berbicara langsung ke inti, dari mana, urusan apa, mau ke mana. Buat pendatang, ini terasa seperti interogasi kilat.

Namun setelah menjawab dengan tenang dan bersahabat, biasanya mereka akan menjelaskan dengan jelas. Misalnya pertanyaan ke suatu tempat, maka mereka akan memberi rute tercepat dan memperingatkan bagian kota mana yang macet.

Intinya mayoritas dari mereka adalah tipe yang sangat to the point. Sehingga bikin saya agak gelagapan ketika hari pertama berinteraksi dengan orang sekitar (selain rekan kerja orang Medan yang memang sudah kenal).

Pada akhirnya, kota yang nggak sesuai ekspektasi dan bikin kaget nggak berarti selalu buruk. Malah sebaliknya, bisa jadi adalah tanda kejujuran. Itulah Medan. Yah paling tidak, jujur soal hal buruk kan nggak apa-apa. Selama semuanya nggak terkesan dilebih-lebihkan. Yang nggak kalah penting juga adalah belajar mengelola ekspektasi, biar nggak kecewa terlalu dalam.

Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Nestapa Mahasiswa Asal Bangkalan yang Mendapat Tugas Kuliah Review Kebijakan Unggulan Daerahnya: Bingung dan Malu karena Nggak Ada yang Bisa Dibanggakan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version