Saya kurang bisa memahami artikel Mas Bobby Revolta yang membahas tentang betapa susahnya hidup di desa, khususnya dekat sawah, karena alasan kehadiran serangga, ular, biawak, hingga merang. Yah, wajar saja kalau sekali dua kali harus berhadapan dengan itu semua, namanya juga tinggal di dekat sawah. Sebenarnya tinggal di dekat sawah nggak semenyeramkan itu juga, kok.
Begini, saya akan menjelaskan pengalaman saya selama 18 tahun tinggal di depan sawah. Eh, sebenarnya umur saya 25, sih. Saya kurangi 7 tahun karena selama itu saya ada di perantauan, meski begitu saya masih sering pulang ke rumah, kok.
FYI, sawah yang berada di depan rumah saya persis adalah sawah yang luasnya berhektar-hektar milik petani dari dua kabupaten dengan empat desa yang bersinggungan. Jadi bisa dibayangkan betapa “dekatnya” saya dengan sawah, ya.
Pertama, kalau Mas Bobby dalam artikelnya menyinggung kehadiran serangga dan tomcat di rumah yang berada dekat sawah, sebetulnya bukan cuma serangga dan tomcat saja yang suka nongol. Ada lebih banyak lagi jenis serangga yang bisa kita jumpai jika punya rumah di depan sawah kayak saya. Ada kupu putih, serangga bersayap warna putih yang kalau kena bubuk putihnya gatel minta ampun. Ada laron yang sayapnya bakal memenuhi halaman teras kalau lagi musim kawin. Ada pula nyamuk berbagai ukuran dan spesifikasi nyeri gigit yang bermacam-macam pula.
Tapi, serangga-serangga itu nggak tiap hari jumlahnya banyak, kok. Mereka punya siklus. Kalau nyamuk dan laron ikut musim penghujan, hewan sawah pun demikian, ikut siklus hidup padi. Memang betul sih kalau serangga-serangga dan hewan tadi masuk ke dalam rumah, apalagi kalau lampu rumah nekat dinyalain. Tapi, perkara lampu kan bisa dimatikan. Lagi pula, kita sebagai pemilik rumah juga bisa mendesain rumah untuk mencegah hewan-hewan tadi nggak masuk ke dalam rumah, kok. Misalnya saja dengan memasang jaring-jaring di lubang ventilasi untuk mencegah nyamuk atau laron masuk.
Kedua, jangan bayangkan semua pedesaan itu hutan, Gaes. Di desa saya sendiri, ular dan biawak sudah nggak sebanyak dulu. Di rumah saya nih yang persis berada di depan sawah, selama 10 tahun belakangan ini sudah jarang dimasuki ular. Padahal sawah di depan rumah saya masih utuh berhektar-hektar. Apalagi ketemu biawak. Saya hampir nggak pernah melihat hewan satu ini berkeliaran di dekat rumah dari kecil.
Ketiga, memang ada banyak tanaman sawah yang jadi masalah musiman. Misalnya kedelai, debu habis diselip itu bikin gatal. Jagung juga sama, debu yang tercecer lewat proses penjemurannya juga bikin gatal. Jadi nggak cuma merang yang bikin gatal.
Tapi, itu semua hadirnya musiman, kok. Kalau sawah depan rumah saya tiga kali panen padi dalam setahun, ya berarti tiga kali saya harus berjuang melawan debu-debu. Kalau rumah saya nggak mengolah padi, ya nggak bakal merasakan gatal-gatal, palingan kena asap hasil bakaran jerami orang-orang dan debu yang jumlahnya sedikit lebih banyak saja.
Selama 18 tahun belakangan, selain bisa menikmati keindahan pemandangan dan kesejukan pematang sawah yang ada di depan rumah, saya juga masih bisa merasakan suara merdu burung yang berkicau di pagi hari dan nyanyian kodok yang bertalu-talu di malam musim hujan. Asyik, kan?
Minat tinggal di depan sawah kayak saya? Kalau memang niat, segera beli tanahnya. Sekarang harga tanah di desa juga sudah mulai naik. Jujur, saya gusar kalau kelak nggak mampu beli tanah di sana.
Penulis: Prima Ardiansah Surya
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 4 Kekurangan Tinggal di Apartemen yang Perlu Dipertimbangkan.