Pengalaman Pertama Saya Jadi Korban Banjir di Kota Metropolitan Jakarta

Pengalaman Pertama Saya Jadi Korban Banjir di Kota Metropolitan Jakarta terminal mojok.co

Pengalaman Pertama Saya Jadi Korban Banjir di Kota Metropolitan Jakarta terminal mojok.co

Banjir adalah masalah klasik yang kerap dihadapi oleh kota metropolitan seperti Jakarta. Jauh sebelum Bapak Anies Baswedan menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, masalah banjir sudah sering melanda daerah ibu kota dari Indonesia ini. Dulu saya tidak membayangkan akan jadi satu dari sekian banyak korban banjir Jakarta.

Kendati demikian, rumah mbah saya yang terletak di Jakarta tak begitu terkena dampak banjir. Rumah mbah saya sendiri terletak di area yang agak tinggi. Jika ada air bah yang datang, ia biasanya hanya akan menggenangi area pekarangan rumah.

Tahun ini, saya akhirnya mencicipi juga yang namanya banjir sebagaimana yang sering diberitakan di media massa. Selama bermukim di Jakarta, baru kali ini saya menyaksikan air bah benar-benar masuk ke dalam rumah mbah.

Musibah ini bermula dari hujan di malam Sabtu, 19 Februari 2021. Pada saat itu, hujan sempat turun sekitar pukul 22.00. Sebenarnya sih, hujan di malam hari itu rasanya nikmat. Sensasi hawa dingin yang ditimbulkan dari percikan air hujan bisa membuat tidur jadi terasa lebih nyenyak.

Namun, hujan yang datang pada malam tersebut justru menjadi mimpi buruk yang teramat nyata. Sempat berhenti beberapa saat, hujan kembali mengguyur dengan intensitas yang sangat deras. Sebagai bonus, ada angin beserta petir yang bersambut.

Sebenarnya, hujan yang turun pada saat itu tak lebih deras dan lama daripada hujan di pergantian tahun 2020 silam. Namun, efeknya benar-benar luar binasa. Dalam waktu beberapa jam, air bah di pekarangan rumah mbah saya sudah mencapai tinggi betis orang dewasa.

Jelas saja perasaan saya jadi tidak karuan setelah melihatnya dari balik jendela rumah. Apalagi saya seperti mendapat firasat buruk dari kamar mandi. Pada saat itu, ada banyak koloni kecoa yang keluar dari pecahan lantai. Beruntung, saya tak begitu geli atau takut dengan serangga tersebut.

Sembari memantau air bah yang menari-nari di luar, saya sempatkan untuk melongok sebentar ke area dapur. Takut-takut ada rembesan air hujan dari sela-sela pintu belakang rumah. Pada saat hujan deras tiba, percikan air hujan biasanya akan masuk ke dalam rumah.

Ketika saya mengecek area dapur, saya sungguh terkejut sebenar-benarnya terkejut. Bagaimana tidak, area kamar mandi yang letaknya persis di samping dapur sudah digenangi oleh air bah. Tingginya kira-kira semata kaki. Beruntung, ada semacam pembatas kecil yang menahan agar air tak sampai luber ke area dapur.

Pada sekitar pukul 01.30 dini hari, air bah benar-benar bertamu ke dalam rumah. Ia masuk dari sela-sela pintu depan rumah. Pada saat itu, saya mulai ketakutan dan hanya bisa berdoa agar hujan bisa segera reda.

Setelah lama menanti, hujan mulai berhenti secara perlahan menjelang waktu salat Subuh. Sport jantung saya perlahan mulai mereda. Kemudian, saya mulai membersihkan genangan air di lantai kendati mata sudah benar-benar mengantuk.

Di balik musibah banjir di bulan yang katanya penuh cinta ini, saya tetap bersyukur. Pasalnya, air PAM serta listrik di rumah nenek saya tetap beroperasi. Kondisi tersebut sangat kontras dengan kejadian banjir di 2020 lalu. Pada saat itu, kedua layanan vital tersebut terpaksa dihentikan untuk sementara waktu.

Saya kembali bersyukur dengan tidak adanya banjir susulan yang datang. Tak bisa dibayangkan bagaimana lelahnya saya dan tetangga sekitar yang jadi korban banjir ketika hal tersebut benar-benar datang kembali. Ah, pokoknya repot dah urusannya.

Banjir benar-benar memberi saya pengalaman yang tak terlupakan. Bukan pengalaman yang baik pastinya, melainkan pengalaman yang sangat buruk. Mungkin saya hanya satu dari sekian korban banjir Jakarta yang malam itu benar-benar takut. Bahkan musibah banjir di sekitar rumah mbah saya mungkin bukanlah yang terparah. Tapi, walau bagaimanapun, banjir tetaplah banjir. Menjadi korban banjir yang rumahnya disatroni air bukanlah hal yang menyenangkan.

Ah, semoga saja banjir bisa menghilang dari kota metropolitan yang saya cintai ini. Rasanya nggak lagi-lagi deh saya mau berurusan dengan yang namanya banjir. Pengalaman ini traumatis. Saya bersyukur tidak menjadi korban banjir yang selama berhari-hari rumahnya tergenang dan sulit mendapat akses. Sulit mendapatkan makanan, bahkan tidak bisa melakukan apa pun selain berharap bantuan yang entah datangnya kapan. Semoga seluruh korban bajir di luar sana selalu diberi kekuatan untuk menghadapi musibah ini.

Sumber gambar: Dok. Penulis

BACA JUGA Saatnya Blak-blakan soal Penyebab Banjir Kalimantan Selatan. Sama-sama Tahu lah! dan tulisan Muhammad Fariz Kurniawan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version