Sebagai rakyat biasa yang tiap harinya masih buka aplikasi e-wallet sambil berharap nemu cashback Rp5.000 buat nambah-nambah beli menu flash sale di ojek online, saya nggak pernah kepikiran buat nyicip kopi di Djournal Coffee. Kopi dari Ismaya Group ini jelas bukan segmen saya. Bayangkan, Ismaya itu adalah grup besar yang juga menaungi tempat-tempat kece seperti Pizza e Birra, Social House, dan Dragonfly.
Intinya, Ismaya ini pemain papan atas di dunia F&B. Kalau mereka bikin kopi, pastilah bukan kopi yang bisa dibeli dengan kembalian beli bensin Pertalite.
Tapi hidup ini kan soal mencoba hal baru. Dan kebetulan waktu itu saya lagi di Pakuwon Mall—mall yang isinya merek-merek seperti Coach, Kate Spade, dan toko-toko yang nggak berani saya masuki karena tag harga barangnya pasti sama dengan gaji saya sebulan.
Nah, di antara toko-toko elite itu, berdirilah booth Djournal Coffee. Setelah memilih-milih menu yang paling pas harganya di kantong, akhirnya saya memutuskan buat beli satu cup Kopi Susu Batavia. Harganya? Rp37.000. Lumayan bikin jantung saya berdetak lebih cepat dari biasanya, bukan karena kafein, tapi karena saldo. Untungnya ada opsi pick up di marketplace dengan diskon khusus dan saya cuma bayar Rp30.000. Masih mahal sih, tapi ya setidaknya jantung saya tidak lagi berdebar.
Djournal Coffee memang seenak itu!
Begitu kopi datang, saya sempat ragu. Jangan-jangan rasanya sama seperti es kopi kekinian lain yang lebih banyak gulanya daripada kopinya. Tapi begitu saya menyeruput… Astaga, saya langsung diam. Diam seperti ketika kita membaca chat mantan yang bilang, “Kamu masih di hatiku, tapi kita udah beda jalan.”
Rasa kopi susu Djournal Coffee tuh mantap. Kopinya bold, tapi nggak nyegrak. Susunya creamy, dan manisnya pas. Bukan kopi yang rasa susunya dominan kayak es krim, juga bukan kopi yang bikin dada deg-degan dan perut melilit karena terlalu pekat. Sebagai penderita GERD yang biasanya cuma bisa iri liat orang lain minum kopi kayak orang normal, saya sangat mengapresiasi Kopi Susu Batavia ini.
Bahkan setelah es mencair, rasa kopinya masih stabil. Tidak mendadak jadi air tawar berkedok kopi. Ini kopi yang rasa dan karakternya konsisten, seperti teman lama yang kita temui lagi dan masih asik diajak ngobrol.
Satu-satunya masalah cuma satu: harga. Ya gimana ya, Rp37.000 itu bukan nominal yang bisa saya keluarkan tanpa mikir untuk secangkir kopi. Itu sudah setara dengan dua kali makan di burjo, atau bisa buat beli satu pak Indomie goreng jumbo plus telor dadar. Tapi di sisi lain, rasa kopi Djournal Coffee sebanding dengan harganya. Saya paham sekarang kenapa mereka berani pasang harga segitu. Karena mereka tahu rasa mereka punya kualitas, dan branding mereka memang menyasar segmen yang ingin ngopi dengan kelas.
Akankah saya beli lagi? Hell yeah, definitely
Apakah saya akan beli lagi? Iya. Tapi mungkin setelah menabung dulu, atau nunggu ada promo lagi. Tapi yang pasti, Djournal Coffee sudah bikin saya berubah dari orang yang skeptis jadi pelanggan yang penasaran sama menu-menu lainnya. Apakah varian non-kopi mereka juga enak? Apakah semua baristanya seandal yang bikin kopi saya hari itu?
Saya belum tahu. Tapi yang saya tahu, kadang kita memang perlu sesekali membayar mahal, bukan buat pamer, tapi buat merasakan bahwa hidup ini nggak selalu harus tawar.
Dan ya, mungkin buat beberapa orang, 30 ribu untuk kopi adalah hal biasa. Tapi buat saya, ini adalah pengalaman yang setelahnya saya buka aplikasi e-wallet lagi, ngecek sisa saldo, dan menghibur diri sendiri dengan bilang, “Nggak apa-apa, sekali-sekali self reward.”
Semoga Djournal Coffee tetap buka cabang, dan semoga saya tetap punya saldo.
Penulis: Wahyu Tri Utami
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Alasan Saya Rela Beli Kopi Mahal padahal Saya Konsumen Bergaji UMR
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















