Naik kapal Pelni bukan cuma soal berpindah dari satu pulau ke pulau lain. Lebih dari itu, ini adalah perjalanan spiritual. Perjalanan batin. Perjalanan hidup. Terutama kalau kamu, seperti saya, harus hidup berdampingan dengan makhluk Tuhan paling underrated di kapal: kecoa.
Iya, kecoa. Saudara jauh yang nggak pernah saya undang, tapi selalu datang dengan sepenuh hati. Makan bareng, tidur bareng, bahkan kadang jadi teman ngobrol ketika malam terlalu panjang dan sinyal terlalu pelit.
Ini adalah perjalanan pertama saya naik Pelni untuk rute yang panjang. Totalnya? Empat hari penuh. Titik transitnya: Makassar, Baubau, Ambon, dan tujuan akhir: Banda Neira. Empat hari bersama ombak, toilet bau, nasi hambar, dan tentu saja, kecoa.
Berteman dengan kecoa menuju Banda Neira
Sebagai guru bimbel yang tabungannya lebih mirip sisa kuota ketimbang rekening, pergi ke Banda Neira dengan pesawat jelas bukan pilihan. Tiket pesawat ke Banda Neira bisa tembus dua hingga tiga juta rupiah sekali jalan, itu pun belum tentu dapat. Kadang harus transit dua sampai tiga kali, belum lagi maskapai yang batalin penerbangan seenaknya karena alasan operasional. Kalau mau naik pesawat ke Banda Neira, mungkin saya harus nabung sampai anak murid saya lulus kuliah dulu. Jadi, kapal laut adalah satu-satunya jalan ninja.
Belum lagi, nggak semua daerah di timur Indonesia punya bandara. Banyak pulau kecil yang keindahannya bisa bikin lupa mantan nggak bisa dijangkau dengan pesawat komersial. Kalaupun bisa, rutenya ribet, harganya selangit, dan sering kali harus dilanjutkan lagi dengan kapal kecil atau perahu motor. Jadi, meskipun kapal Pelni itu jauh dari kata nyaman, dia tetap jadi pilihan paling realistis buat orang-orang yang mau menjelajah tanpa harus menggadaikan motor.
Fasilitasnya? Ya… sesuai harga lah. Toilet yang lebih mirip tempat uji nyali, makanan yang rasanya seperti kenangan mantan nggak ada rasanya tapi tetap menyiksa, dan kecoa yang bebas berkeliaran seolah dia yang bayar tiket.
Tapi justru di sinilah letak keindahannya. Romantis bukan berarti mewah. Kadang yang sederhana malah lebih berkesan. Terutama kalau kamu bisa ngobrol bareng ibu-ibu Makassar atau bercanda dengan pace-pace Papua. Manusia-manusia di atas kapal itu, lebih hangat daripada selimut tipis yang dikasih gratis.
Sama-sama penumpang kapal Pelni, beda jalur saja
Awalnya saya jijik sama kecoa. Tapi lama-lama saya mencoba memahami dia. Mungkin dia juga sama seperti saya. Terjebak di sistem. Nggak punya pilihan. Cuma pengin hidup dan bertahan. Dan di kapal Pelni, kami sama-sama penumpang kelas ekonomi. Bedanya, dia nggak butuh tiket.
Saya nggak protes. Malah bersyukur. Karena lewat perjalanan ini, saya bisa melihat Indonesia yang jarang masuk katalog agen travel. Saya bisa merasakan jadi manusia seutuhnya, yang harus sabar, harus kuat, dan harus terbuka sama segala kemungkinan, termasuk kemungkinan kecoa lewat pas lagi makan.
Tapi, kalau boleh mimpi saya berharap pulau-pulau timur ini bisa lebih mudah dijangkau lewat udara. Biar orang-orang kelas menengah kayak saya bisa pergi tanpa harus cuti seminggu dan bonding paksa dengan serangga. Bukan mau manja, cuma pengin ada pilihan. Karena kadang, hidup itu bukan soal bisa atau nggak bisa, tapi soal gimana caranya nggak capek-capek amat.
Jadi ya, kalau kalian ingin menjelajah Indonesia Timur tapi dompet tipis, naik Pelni aja. Siapkan mental, masker, dan ruang di hati untuk makhluk-makhluk kecil yang ikut menumpang hidup. Karena di kapal ini, kita semua belajar bertahan. Bahkan kecoa.
Penulis: Vranola Ekanis Putri
Editor: Rizky Prasetya
