Bicara soal motor di Indonesia itu sama saja bicara soal nasi. Banyak, beragam, dan jadi kebutuhan pokok. Dari matic yang praktis, bebek yang lincah, sampai sport yang lekat dengan maskulinitas—semuanya beredar memenuhi jalanan negeri ini. Tapi ada satu motor yang menurut saya nggak sekadar kendaraan, melainkan sebuah pernyataan hidup: Vespa, apalagi Vespa tua.
Saya selalu melihat Vespa lawas ini sebagai semacam anomali. Bentuknya aneh, mesinnya nongkrong di sebelah kanan, dan transmisinya? Duh, nyeleneh abis. Mau pindah gigi aja harus tarik kopling sambil muter setang ke atas buat gigi satu, lalu putar ke bawah buat gigi berikutnya. Repot? Jelas. Tapi justru di situlah letak romantismenya.
Kalau motor lain lahir untuk efisiensi, Vespa seperti sengaja diciptakan untuk bikin pengendaranya sabar, sedikit sengsara, tapi juga agak berkelas. Entah kenapa dulu saya percaya, naik Vespa itu bikin ganteng nambah lima level. Dan bagi kaum hawa? Cantiknya bisa naik berkali-kali lipat. Lha wong Vespa membawa pesona kok.
Dari mimpi ke perburuan
Ceritanya, saudara saya anak dari Pakde dulu nggak langsung bisa beli Vespa. Namanya juga mahasiswa, duit lebih sering mampir ke warung pecel lele, kang fotokopi, ketimbang ke dealer motor. Jadi pencarian motor ini ibarat nyari kitab suci: harus sabar, harus ikhlas, kadang harus siap kecewa.
Beberapa kali nyaris menyerah, soalnya unit yang ketemu entah terlalu mahal, entah terlalu rongsok. Sampai suatu hari, di pojokan bengkel kecil, saudara saya melihat Vespa Super 1972 warna hijau yang langsung bikin jatuh hati. Body kusam, velg karatan, ban kempes, mesin berantakan—pokoknya paket komplit. Tapi entah kenapa, saya merasa inilah jodohnya.
Pijat plus-plus untuk Si Mbah Vespa
Restorasi Vespa tua itu bukan urusan gampang. Dari ban, kampas kopling, sampai boring mesin harus dibongkar pasang. Bengkel sampai jadi rumah keduanya. Ada momen di mana dia pengin angkat tangan, tapi tiap kali lihat body utuhnya, hati jadi luluh lagi. Akhirnya banyak yang dipasrahkan ke mekanik, sebab ia sadar karena kalau nekat utak-atik sendiri, bisa-bisa tuh motor jalannya nanti mundur.
Setelah berminggu-minggu mendapat “pijatan plus-plus” di bengkel, akhirnya si Mbah Vespa mulai sehat. Mesin udah nggak batuk-batuk, kaki-kaki lumayan tegak, dan meski nggak kinclong, auranya tetap memesona. Saudara saya sengaja membiarkan body tetap original—karena buat apa poles luar kalau justru menghilangkan karakter? Ibarat manusia, keriputnya justru bikin menarik. Nyueniiii Masehh…
Filosofi Vespa
Yang menarik, begitu Vespa sehat dan diajak jalan, rasanya beda banget dibanding motor lain. Kalau motor matic bikin orang ingin buru-buru sampai, Vespa justru mengajarkan kita untuk pelan-pelan menikmati jalan. Mau ngebut? Bisa sih, tapi resikonya langsung masuk UGD—Unit bengkel Dadakan. Jadi Vespa itu memaksa kita berdamai dengan tempo, berdamai dengan jalan berlubang, bahkan berdamai dengan keterbatasan.
Di situ saudara saya sadar, motor ini bukan sekadar kendaraan. Ia adalah filosofi hidup. Ia ngajarin kalau nggak semua hal harus serba cepat. Kadang, justru dengan melambat, kita bisa lebih menikmati perjalanan.
Dan ada satu hal lagi: motor ini inklusif. Nggak peduli kamu siapa, asal kamu bisa dorong kalau mogok, kamu langsung diterima di “keluarga besar Vespa”. Komunitas Vespa di mana-mana terkenal guyub, karena yang namanya mogok itu sudah takdir, bukan aib.
Kenapa Vespa tetap relevan?
Di tengah serbuan motor baru dengan fitur canggih—smart key, ABS, sampai colokan USB—Vespa tua masih punya magnetnya sendiri. Orang yang naik Vespa bukan berarti nggak mampu beli motor lain. Justru mereka yang sadar bahwa nilai hidup nggak bisa selalu diukur dari teknologi atau kecepatan.
Naik motor ini semacam pernyataan seperti yang dibicarakan saudara saya yang kebetulan bermukim di Bogor: “Gue nggak ikut arus. Gue punya cara sendiri menikmati hidup.” Dan sikap ini terasa relevan di zaman sekarang, ketika orang makin terjebak pada kecepatan, kepraktisan, dan gaya hidup serba instan.
Vespa tua dengan segala kerepotannya hadir sebagai antitesis. Ia bilang: hidup nggak harus mulus, kadang mogok pun bisa jadi cerita lucu buat dikenang.
Penutup: sebuah cinta yang aneh tapi nyata
Pada akhirnya, Vespa bukan motor biasa. Ia mirip hubungan asmara: bikin repot, bikin pusing, tapi juga bikin rindu. Setiap perjalanan selalu meninggalkan kesan, entah karena mesin tiba-tiba ngadat, entah karena orang-orang di jalan melirik kagum.
Dan kalau ditanya kenapa si saudara saya masih suka Vespa, dia menjawab dengan sederhana: “karena ia unik. Karena di jalanan yang penuh keseragaman, Vespa hadir sebagai simbol keberanian untuk berbeda.”
Buat sebagian orang, motor ini mungkin cuma motor tua yang rewel. Tapi buatnya atau mungkin saya juga, ia adalah guru hidup yang mengajarkan bahwa di balik kerepotan, selalu ada keindahan. Dan percayalah, naik Vespa memang bikin ganteng nambah—meski kadang harus ganteng sambil dorong di pinggir jalan.
Penulis: Budi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mengenal Tipe Vespa Matic yang Harganya Overpriced
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
