Jika ada yang bertanya mengenai pekerjaan pertama saya, menjadi Pak Ogah adalah jawabannya. Namun, apabila nggak ada yang menanyakannya, maka tanpa diminta saya akan tetap menceritakan pengalaman itu, yang lebih banyak senangnya meski sesekali ada bangsat-bangsatnya juga. Seperti pekerjaan pada umumnya lah.
Layaknya cinta pertama, pekerjaan ini meninggalkan kesan yang dalam di hidup saya. Buktinya, saya masih ingat persis siasat saya dan teman-teman untuk “menciptakan” pekerjaan tersebut.
Jadi, suatu malam di tengah liburan usai kelulusan SMP, salah satu teman di tongkrongan yang merupakan gondes senior, mengabarkan bahwa akan ada perbaikan jalan raya di depan Puskesmas kampung kami, Padamara. Ia juga bilang bahwa material untuk proyek tersebut sudah ada di lokasi.
Dan saat kami survei ke sana memang benar, sudah ada tumpukan batu split dan pasir yang menutupi seperempat lebar jalan. Lalu, entah iblis dari mana yang membisiki teman saya ini atau memang dasarnya dia sudah kayak iblis, dia mengusulkan ide untuk menggugurkan tumpukan itu sehingga menutupi setengah lebih dari lebar jalan. Pokoknya jalan yang tersisa hanya bisa dilewati satu mobil dari satu arah. Padahal jalan itu terbilang ramai karena menghubungkan Purbalingga dengan Purwokerto.
Oleh sebab itu, terciptalah pekerjaan Pak Ogah yang mengatur sistem buka tutup jalan. Besok paginya, kami berempat yang semalam menyiasati hal tersebut langsung tancap gas untuk mengumpulkan receh dari para pengendara.
Dengan bermodalkan dua buah ceting bekas yang saya ambil di dapur, bendera semapur entah siapa yang bawa, dan tentu tekad untuk berpanas-panasan, di hari pertama kami jadi Pak Ogah, kami masing-masing berhasil mendapatkan uang Rp 35 ribu, sudah termasuk rokok dan dua kali makan. Jumlah penghasilan yang kelewat banyak untuk umur saya yang belum genap 15 tahun pada saat itu. Padahal, kami hanya bekerja dari pukul delapan hingga pukul satu siang untuk kemudian dilanjutkan oleh shift kedua hingga merasa puas.
Mendapat uang segitu baru di awal-awal menjadi Pak Ogah. Saat proyek perbaikan jalan sudah dimulai atau lebih tepatnya seminggu setelahnya, pendapatan kami meningkat dua kali lipat bahkan terkadang lebih. Sebab, kendaraan yang terhenti menunggu giliran lewat semakin banyak dan lama sehingga kami punya waktu yang banyak pula untuk menarik uang dari setiap kendaraan yang ada.
Paling enak kalau deret kendaraan yang kami hentikan merupakan truk, mobil bak terbuka, dan motor yang dikendarai ibu-ibu pulang dari pabrik (mengingat wanita di Purbalingga banyak yang bekerja di sana). Sebab, mereka begitu royal untuk memberi uang kertas alih-alih yang receh. Selain itu, truk atau mobil bak terbuka kalau nggak ngasih uang ya ngasih rokok yang enak-enak.
Nah, saat antrean kendaraan yang kami hentikan mengular sangat panjang, kami biasanya numpang ke mobil bak terbuka agar nggak capek sampai di titik awal. Dan ini sungguh seru karena… ya nggak tahu kenapa gitu, seru saja.
Dari pekerjaan yang sebenarnya cuma iseng untuk mengisi waktu liburan ini, saya belajar tentang banyak hal. Saling berbagi antara pengendara dan kami, pengendara memberi kami uang, sementara kami memberi senyum tulus. Kadang juga kami berbagi nasi dan rokok pada pekerja proyek, dan masih banyak lagi.
Dari menjadi Pak Ogah juga saya belajar untuk percaya diri dan bodo amat di situasi yang nggak nyaman. Saya yang dulunya adalah bocah culun nan pemalu, jadi nggak gitu lagi berkat kegiatan ini. Soalnya di awal-awal sering tuh tetangga melontarkan omongan nggak enak sehingga jadi beban pikiran. Selain itu, awalnya saya juga malu saat bertemu dengan teman dan guru sekolah.
Namun seiring berjalannya waktu, perasaan inferior itu berganti dengan sebuah perasaan bangga. Bahkan, saya kelewat PD dan memiliki mental seorang penampil yang ingin terus dilihat. Ditambah, setiap turun ke jalan kami bersepakat untuk memakai pakaian yang rapi. Minimal celana jeans dengan kaos dan jaket. Saat itu saya pun berpikir bahwa kalau bisa satu sekolahan sekalian lewat jalan itu saat saya sedang bertugas. Hahaha.
Kepercayaan diri tersebut terbentuk juga berkat pemikiran bahwa saya yang umur semuda itu sudah bisa menghasilkan uang sendiri dan nggak minta orang tua lagi. Mungkin terkesan mengglorifikasi, tapi bocah baru lulus SMP, Bos, pikiran lebih bijak kayak apa sih yang bisa dihasilkan? Pokoknya senang dan bangga banget lah.
Ya meskipun penghasilan bersih jadi Pak Ogah selama satu bulan setengah atau sekitar Rp 2 juta itu wujudnya cuma jadi sepatu bola, sepatu, dan tas buat masuk SMA, sama beberapa baju distro, sih. Lebihnya nggak tahu ke mana dah.
Akan tetapi, saya tetap merasa bersyukur mendapat kesempatan dan uang itu, yang sering saya sesumbarkan dengan, “Gajine kayak PNS!” Dan kalau ada kesempatan itu lagi, pasti saya akan sesumbar, “Gajine ngelewihi UMR Jogja!” Wqwqwq~
Sumber Gambar: jawapos.com
BACA JUGA 5 Tips Ampuh Menghindari Tukang Parkir di Indomaret atau tulisan Fadlir Nyarmi Rahman lainnya.