“Ah, anying… Bego lu!”
Umpatan itu berasal dari seorang anak kecil yang tengah bermain balap motor dengan sebuah potongan kayu yang mereka imajinasikan menjadi sebuah setang kemudi motornya Valentino Rossi—entah ada insiden apa. Begitu ada tabrakan atau overtake membahayakan yang dilakukan oleh salah satu seorang pembalap, umpatan itu keluar begitu saja. Dengan fasih. Seolah sudah mejadi semacam auto teks pada keyboard smartphone saat sedang mengetik.
Si pengumpat barulah duduk di bangku kelas 2 SD. Mungkin belum mengerti bagaimana menyaring kalimat yang baik dan tidak baik. Entah kalimat itu dari siapa ia dapatkan. Yang pasti ia dapatkan dari lingkungannya. Seperti yang sudah kita ketahui, anak-anak adalah peniru ulung. Apapun itu bisa ditiru. Adegan Iron Man saat terbang dan mengeluarkan senjata canon buster saja ia bisa tirukan. Apa lagi cuma sebuah kata; anjing, bego, dan tolol. Bagi anak kecil hal itu mah cetek. Ia bisa hafal dengan hanya sekali mendengar.
Orangtua saya bilang, mendidik anak laksana merawat sebuah pohon. Kalau lingkungannya baik maka buahnya pun akan baik. Kalau lingkungan tidak baik, ya tentu saja buahnya tidak baik. Mungkin masam, mungkin nggak akan matang, mungkin terlihat tua di luar tapi di dalamnya masih mentah, dan mungkin saja tidak akan bisa tumbuh dengan subur sebab pupuk-pupuk yang didapatkannya sembarang pupuk. Mungkin pupuk hewan liar yang sekadar mampir lalu buang kotoran di bawah pohon itu.
Dalam ingatan saya yang buruk, hanya satu paragraf di atas saja ihwal nasihat orang tua mendidik anak dari orang tua saya. Setiap orang tua mendambakan anak yang baik. Tingkah pola yang manis. Mendamaikan hati orang tua. Tapi tidak semua orang tua mampu menjalankan pendidikan yang pertama dan utama. Yaitu pendidikan karakter di rumah. Pendidikan yang tentu saja orang tualah yang mempunyai peran utama.
Dalam hal pendidikan karakter seperti ini, orangtua lebih tendensius pada sebuah lembaga pendidikan. Namun amat sangat disayangkan pendidikan karakter di sekolah tidak bisa berjalan dengan baik tanpa peran orangtua di rumah. Ironisnya ada beberapa orangtua menganggap sistem pendidikan di Indonesia ini salah. Entahlah apa yang salah, saya pun tidak mengerti. Anak yang tidak baik (untuk tidak mengatakannya bodoh) dihakimi bahwa pendidikan di sekolahnya buruk. Mendidik anak itu butuh proses. Tidak semata-mata anak berangkat sekolah dengan tidak bisa membaca, lalu pulang sekolah bisa membaca dengan lancar. Kalau sudah begini, ya moon maap, Bapak, Ibu, sekolah bukan bengkel ketok magic.
Mendengar umpatan yang diucap oleh anak dengan fasih itu membuat ingatan saya mengawang-awang pada kejadian 12 tahun silam. Kala itu saya masih duduk di bangku kelas 1 SMK dengan jurusan Teknik Mekanik Otomotif. Tentu saja, satu kelas bahkan satu sekolah siswanya, mayoritas, ya batangan semua. Umpatan-umpatan seperti; anjing, babi, monyet, kunyuk, dan hewan-hewan lainnya sudah terdengar biasa-biasa saja. Saya pun demikian, suka mengumpat pada teman yang menyebalkan saat di kelas. Tanpa disadari saya terbawa lingkungan kelas. Saya bukan hanya membaur tapi benar-benar sudah melebur. Dalam pandangan sekilas, saya tidak ada bedanya dengan siswa-siswa lainnya.
Suatu pagi, eh siang deh, di jam istirahat, saya dan beberapa teman-teman kelas lainnya sedang melihat pengumuman nilai ujian harian yang terpampang di papan pengumuman sekolah. Kemudian seorang teman mengumpat, “Babi! Gue dikasih nilai 4”.
Mak tratap, entah dari mana datangnya si Bapak guru pelajaran tersebut sudah berdiri di belakang teman saya yang mengumpat itu. Digelandanglah teman saya itu masuk ke ruang kesiswaan.
Sampai di sini saya kembali teringat kepada guru praktek di bengkel sekolah yang pernah berkata: “Kita bisa karena terbiasa”. Rasanya jika semua dipukul rata, pernyataan itu tentu saja benar. Dalam hal apapun. Termasuk mengumpat. Kita bisa mengumpat karena kebiasaan. Di sini mengumpat, di sana mengumpat, di mana-mana mengumpat. Secara tidak sadar kita fasih sekali melantunkan umpatan. Itu sebabnya seseorang bisa dengan mudah menyatakan akan memenggal kepala presiden.
Kang Isjet, yang dulunya merupakan CEO Kompasiana, beberapa hari lalu membuat status di Facebook, “Mengapa narasi penggal kepala presiden mudah diucapkan di dunia nyata? Karena si anak muda itu punya kebiasaan bertutur kasar di dunia maya. Percayalah—peran yang Anda mainkan di Facebook dan Twitter akan menggerus kepribadian Anda di dunia nyata. Maka tetaplah jadi orang baik saat bermedia sosial. Tak peduli berapa banyak caci maki yang mengalir di lini masa. Pungkasnya menanggapi video narasi penggal kepala yang sedang viral itu.
Membaca itu saya benar-benar baru tersadar. Mata saya terbuka. Bahwa selain lingkungan dan pengawasan orang tua terhadap karakter seorang anak, ada hal lain yang memberi sumbangan pupuk terhadap tumbuh kembang anak. Yaitu media sosial. Mungkin untuk anak yang masih bocah banget belum main media sosial. Mungkin juga baru sebatas nonton Youtube. Tapi bagaimana dengan orangtuanya?
Orangtua kelas menengah ke atas pasti punya yang namanya smartphone. Untuk eksistensi seseorang terhadap smartphone, ya mesti punya akun media sosial—minimal Facebook. Ironisnya tidak semua orangtua bisa menyikapi arus media sosial dengan bijak. Dari perang Tweet dan perang komentar Facebook yang saya amati, banyak umpatan dan ujaran kebencian kebanyakan dilakukan—setidaknya dicontohkan—oleh para orang tua. Tentu bisa dengan mudah saya pindai kalau orang itu sesosok orang tua. Lha foto profilnya aja sambil menggendong anak yang lucunya kadang bikin gemas kita yang melihatnya. Mbok ya Pak, Bu, anakmu lucu kaya gitu kok ucapanmu di komentar ngaudubillah kayak setan. Dikurang-kuranginlah, Pak, Bu. Kasian anakmu.
Saya rasa, kenapa seorang anak bisa fasih mengumpat. Ini semua kembali lagi ke peran kita sebagai orangtua. Sekali lagi, pendidikan di rumah tetap yang pertama dan utama. Pendidikan di sekolah memang membentuk karakter, tapi bukan berarti sebagai bengkel karakter—apalagi sampai diartikan dengan bengkel ketok magic.
Anak-anak yang seharusnya bermain bebas dan terbang dengan imajinasinya, bisa mengumpat seperti itu mungkin juga karena orang tuanya suka mengumpat—di mana pun itu dan kepada siapa pun itu. Hal ini tidak hanya terjadi di kelas menengah ke atas, yang orangtuanya rata-rata memiliki smartphone—kalangan menengah ke bawah pun demikian. Hanya saja kita sering menganggap ini hal biasa. Sekali lagi, kita bisa karena terbiasa.
Semua kembali ke diri kita, orangtua, seberapa besar keinginan kita agar anak memiliki laku pola yang baik dan manis. Kita tidak ingin anak menjadi target umpatan anak lainnya. Terlebih lagi menjadi pelaku. Anak adalah cerminan orangtua. Sudah sepatutnya kita bercermin pada anak. Apakah kita suka menumpat? Apakah kita suka juga sering membuat narasi kebencian?
Ungkapan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya—masih dan akan—tetap berlaku. Sebab begitulah alam bekerja.