Penambahan Masa Jabatan Kepala Desa: Kalau 6 Tahun Dirasa Kurang Maksimal, Mungkin Situ Memang Ampas

Ketum PSSI dan Kutukan yang Menyertai, masa jabatan kepala desa elon musk

Megalomania (Shutterstock.com)

Usulan penambahan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun ditanggapi dengan begitu negatif oleh netizen. Wajar saja, penambahan masa jabatan kepala desa, ditinjau dengan logika sehat mana pun, jelas nggak mashok. Terlebih dengan argumen bahwa makin panjang masa jabatan, makin maksimal kepala desa bekerja. Jelek betul itu argumen.

Saya tak tahu kenapa orang sekelas menteri bisa bicara bahwa jabatan kades selama 9 tahun bisa untungkan warga. Alasannya begini: karena sering terjadi konflik di pilkades, kades yang terpilih tidak bisa bekerja secara maksimal di awal kepemimpinannya. Maka, jabatan diperpanjang agar kinerja mereka bisa maksimal.

Alih-alih memahami realitas, argumen tersebut justru menunjukkan betapa malasnya pemerintah untuk menyelesaikan konflik di akar rumput. Konfliknya dijadikan kambing hitam, tapi nggak mau juga kalau diminta turun tangan. Sebenarnya lumrah saja kalau yang di atas kurang peduli dengan akar rumput, sejarah dunia mengatakan dengan gamblang bahwa bagian terbawah piramida makanan selalu diabaikan, tapi ya nggak gini juga kaleee.

Tapi mungkin kalian bertanya-tanya, memangnya apa efek masa jabatan kepala desa diperpanjang untuk rakyatnya? Can’t be that bad, right?

Tugas kepala desa

Begini, tugas kepala desa itu kalau mau dijadikan satu kalimat sederhana, adalah menyejahterakan warganya. Itu mencakup perbaikan jalan, memastikan akses kesehatan memadai, warga dapat bantuan sebagaimana mestinya, pokoknya yang punya efek langsung ke warga lah. Melihat dari tugasnya, penambahan masa jabatan kepala desa terlihat masuk akal. Iya kan?

Masalahnya, kalau argumen penambahan masa jabatan itu adalah agar kerja lebih optimal karena awal menjabat banyak konflik pasca-pilkades, itu jelas nggak masuk akal jika melihat tupoksi kepala desa. Usaha-usaha menyejahterakan warga itu nggak ada sangkut pautnya dengan konflik. Pun jika ada kepala desa yang sambat bahwa tugas mereka nggak maksimal karena dihadang warga, itu menunjukkan bahwasanya mereka emang nggak kompeten di bidang itu.

Tugas pemimpin salah satunya kan negosiasi. Kalau mencari solusi dari masalah gini aja mereka nggak bisa, apalagi bawa rakyatnya ke arah yang lebih sejahtera. Itu mah sama aja ngarep Luton Town juara La Liga, alias ra mashok!

Lagian perlu disadari juga, masa jabatan yang terlampau panjang rawan penyelewengan. Pembatasan masa jabatan itu ada maksudnya lho, Gaes. Bukan perkara giliran, tapi rawan penyalahgunaan kekuasaan.

Maksudnya gini lho, kita kan udah ngalami masa dipimpin oleh satu pemimpin selama 3 dekade. Efeknya ke bangsa ini juga nggak main-main, banyak kerusakan yang butuh waktu begitu lama untuk diperbaiki. Dari satu kasus itu saja kita harusnya belajar dan paham. Lha kok malah diulangi lagi, angel tenan lho kandanane.

Selain itu, penambahan masa jabatan kepala desa ini punya masalah serius dalam penetapannya, yaitu nggak ada (atau sejauh ini yang terlihat) warga desa yang diminta pendapatnya. Padahal ya yang harusnya ditanyain ya orang-orang ini. Yang dijadikan patokan untuk ngegolin atau menolak masa jabatan ya rakyat-rakyat ini.

Silakan Anda tanya ke warga desa gimana impresi mereka ke kepala desanya. Kalau Anda menemui jawaban seperti susah ditemui, urusan nggak kelar-kelar, nggak ada perubahan, itu amat lumrah. Saya yakin yang kayak gitu bukan minoritas. Kalau ada yang jawab kepala desanya sok berkuasa, saya pun nggak kaget. Nyatanya ya, kepala desa itu “raja”, dan rakyatnya tahu betul apa tabiat rajanya.

Kalau jabatan 6 tahun aja bisa bikin orang jadi megalomaniak, imagine 9 tahun per periode, dan bisa dipilih dua periode. Bayangin dipimpin seonggok kayu mati selama 18 tahun. Ketika dunia sudah menikmati mobil terbang, kendaraan tanpa awak, dan teleportasi, bisa jadi Anda masih diminta fotokopi untuk persyaratan berkas.

Gila jabatan itu nyata

Kapan hari, saya menulis tentang ketua RT adalah kunci kebahagiaan. Ketua RT tempat saya tinggal itu sudah menjabat selama lebih dari dua dekade, dari Soeharto runtuh hingga Jokowi mau lengser. Yang dia banggakan saat ketemu saya ya masa jabatan dia dan bagaimana ia bisa ngecor dalan. Kek gitu aja udah dia anggap sebagai pencapaian.

Ketua RT saja, yang ada di bagian paling bawah rantai makanan kekuasaan, bisa sebegitu narsisnya ketika diberi jabatan yang kelewat panjang. Saya nggak bisa bayangin kalau kepala desa, yang punya jabatan lebih tinggi, diberi masa jabatan yang kelewat panjang. Perlu kalian ingat juga, anggaran Dana Desa adalah anggaran yang paling rawan dikorupsi. Pada 2021 saja, ada 154 kasus korupsi anggaran dana desa.

Jabatan yang terlampau panjang bertemu dengan anggaran super besar, apa yang kau harapkan? Dapet TV plasma?

Usulan penambahan masa jabatan kepala desa ini, jujur saja, bagi saya adalah usulan paling aneh. Kalau kau tak bisa menyelesaikan masalah tingkat desa selama 6 tahun, mungkin memang baiknya kau tak jadi pemimpin, dan beralih kegiatan jadi apa saja yang kau bisa. Saran saya sih, baiknya ngingu lele, apa menanam bayam. Apa pun itu, yang penting jauh dari pemerintahan.

Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Masa Jabatan Kepala Desa 9 Tahun? Nggak Kapok Punya Pimpinan Nggak Becus?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version