Pemilik Patah Hati yang Sebenarnya Adalah yang Mengambil Keputusan dan Pergi

putus pacaran Pemilik Patah Hati yang Sebenarnya Adalah yang Mengambil Keputusan dan Pergi

putus pacaran Pemilik Patah Hati yang Sebenarnya Adalah yang Mengambil Keputusan dan Pergi

Siapa bilang patah hati hanya milik seorang yang ditinggal kekasihnya dengan alasan kamu terlalu baik? Atau hanya milik seorang kamu yang di-ghosting mas atau mbak crush tanpa ada alasan?

Kenyataannya adalah bahwa patah hati bukan melulu soal ditinggal kekasih hati. Tidak. Patah hati itu ketika kamu mengambil keputusan secara sadar, meski berat, dan memutuskan untuk pergi. Ini dapat berlaku di bidang apa saja.

Di kampus, saat bimbingan skripsi, dosbing menyarankan (lebih tepatnya menyuruh) agar kamu mengganti topik sekalian. Hati ini berteriak ingin protes, tapi mungkin jauh di lubuk hati kamu sadar juga sih kalau pilihan topikmu nggak research-minded aka kurang bermutu. Meski tumpukan bahan dan referensi sudah kamu kumpulkan berminggu-minggu sebelumnya, dengan berat hati kamu putuskan mengikuti saran (suruhan) dosbingmu. Daripada ganti dosbing, ye, kan. Patah hati nggak? Ngaku aja lah, minimal keluar sumpah serapah tertuju ke dosbingmu.

Mungkin ada masa ketika kamu harus menyerah pada impianmu. Bukan menyerah dengan mudah tanpa mencoba ya, tapi lebih ke kesadaran bahwa ini mungkin bukan buat saya. Segala hal sudah dicoba, dikerjakan, dikejar, ditolak berulang kali, masih juga diperjuangkan lagi. Berulang kali menelan penolakan, masih ngeyel coba dan coba lagi.

Sampai di satu titik, titik kulminasi dari semua perjuangan kamu mengevaluasi lagi. Kamu bertanya pada dirimu sendiri, apa yang sebenarnya saya cari selama ini? Apakah semua ini worth it? Bagaimana dengan semua usaha selama ini, apakah ini semua akan jadi sia-sia jika saya berhenti? Dan ketika kamu memutuskan untuk berhenti, melupakan impianmu, meski berat, di situlah sakitnya patah hati. Betul tidak?

Atau ketika kamu sudah tertib antre saat beli cilok. Lalu dengan cara halus seorang emak berusaha menyerobot antrian dan bilang, “Aku duluan ya Mas, anakku sudah nangis ini.” Untuk mengonfirmasi keberadaan anaknya kamu pun menoleh, lalu dengan sigap si emak masuk di antrean depanmu. Mau protes, tapi nggak berani. Kamu memutuskan mengalah dengan sadar, lalu mundur memberi tempat pada emak tersebut. Patah hati nggak?

Dan tentu aja, patah hati terberat sepanjang sejarah disebabkan oleh cinta. No questions asked. Tapi sesungguhnya pemilik patah hati bukanlah pihak yang ditinggal.

Tidak lain tidak bukan, justru pihak yang meninggalkanlah yang sesungguhnya menderita patah hati. Mengambil keputusan, berpotensi menyakiti orang lain, doa-doa orang terzalimi mungkin akan dikabulkan terhadapnya, belum lagi stigma penjahat kelamin hati yang menempel di dadanya. Berat, sungguh berat.

Makanya banyak orang lebih suka di posisi yang ditinggalkan. Ya mau diapain lagi, wong sudah ditinggal dan doi sama orang lain. Mau nuntut? Nggak terima? Lah dalah, wis beno ae. Kayak nggak ada orang lain aja di dunia ini. Tapi, cuma sama dia saya nyaman~ Wis, wis, fokus mbahas patah hati ae, bukan malah cerita buat Curhat Mojok.

Membuat keputusan dan pergi itu banyak risikonya, Bro. Dari jauh-jauh hari sudah dipikirkan, apakah langkah ini benar? Kalau salah lalu menyesal, bagaimana? Bagaimana cara ngomongnya? Lewat pesan di WhatsApp (dasar pengecut!) atau ketemu langsung (dasar tega!)?

Bagaimana kalau doi nangis? Marah dan nggak terima? Atau malah meluncurkan modus toxic-nya dengan membuat perasaan ini semakin bersalah? Duh kah, repot. In the end, bikin gara-gara aja lah biar diputusin. Selingkuh kek, bohong kek, apa aja asal bisa diputusin. Karena sekali lagi, mengambil keputusan dan pergi itu menyakitkan. Lebih menyakitkan daripada ditinggal.

Kadang setelah kejadian pun masih dihinggapi perasaan andai. Andai saya lebih bersabar, mungkin kami masih bersama. Andai dia mau mengalah, mungkin saya mau bersabar. Andai kami masih bersama, mungkin dia mau mengalah. Apa saya yang lebai dan tidak santuy? Galau di antara lautan perasaan bersalah padanya dan takut melakukan kesalahan.

Ditinggal itu menyakitkan. Tapi kamu bisa memilih menerima keputusan itu atau mau memperjuangkan perasaan dan kisah yang masih ada. Patah hati belumlah dimulai, Kakak.

Patah hati itu ketika kamu memutuskan untuk menerima keputusan, tidak akan berjuang mempertahankan hubungan yang berat sebelah ini. Kamu memilih pergi, dan berharap dia keselek boba~

BACA JUGA Pentingnya Patah Hati dalam Hidup Ini atau tulisan Kartika Sari Situmeang lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version