Mencoba mendatangi kantor desa hingga kecamatan
Kecewa dengan tanggapan pemerintah yang adem ayem, suami saya akhirnya berinisiatif mendatangi kantor desa hingga kecamatan tempat tinggal kami. Tepatnya di Desa Sampora, Kecamatan Cisauk, Kabupaten Tangerang.
Di sana, kami mendapat jawaban diplomatis dari para pejabat publik. Mereka mengatakan bahwa sudah tersedia armada pengangkut sampah, tetapi warga diwajibkan membayar iuran Rp30 ribu per kepala keluarga. Warga yang membakar sampah itu keberatan dengan biaya Rp30 ribu sebulan itu dan memilih membakar sampah sembarangan.
Kami sekeluarga tinggal di wilayah BSD, wilayah yang dikelola oleh Sinarmas Land. Cluster perumahan BSD masih banyak yang berdempetan dan dibatasi tembok saja dengan warga lokal yang sudah tinggal di wilayah ini turun-temurun bertahun-tahun. Warga cluster kami berusaha membuka pintu diskusi dengan warga dekat rumah kami dengan mendatangi rumah warga yang membakar sampah.
Memang jalanan ke dalam perkampungan warga di belakang cluster rumah kami itu sempit dan tidak ada infrastruktur pengelolaan sampah. Diskusi dengan warga tahun 2023 nihil hasilnya karena warga tetap membakar sampah. Situasi ini terjadi dalam kurun waktu pemerintah daerah Tangerang Raya mengeluarkan peraturan mengenai pembakaran sampah. Saat itu warga tetap saja membakar sampah, tidak ada yang menegur, tidak ada yang takut didenda atau dipenjara, hingga detik ini.
Akhirnya langkah terakhir kami mengadukan pembakaran sampah di titik-titik yang kami ketahui kepada Sinarmas Land. Setelah beberapa kali aduan dan informasi bahwa kami baru memiliki bayi yang berisiko menghirup asap pembakaran, developer bertindak.
Setiap kali ada pembakaran sampah, tim security cluster akan bergerak dan mengingatkan warga. Anggota security yang biasanya direkrut dari warga lokal juga akan diberhentikan jika masih ada pembakaran sampah. Tindakan ini lumayan menekan angka pembakaran sampah yang masif di lingkungan kami pada tahun lalu.
Realitas pahit hidup di Tangerang Raya yang pejabatnya berlomba-lomba mengamankan kekuasaan dan harta, tapi lupa rakyatnya sesak napas karena polusi asap
Bagaimana dengan hari ini tahun 2024? Seolah tidak ada perbaikan, kejadian 2023 nyatanya terulang kembali. Bakar sampah lagi, polusi dan udara pekat asap lagi, dan anak-anak sakit ISPA lagi.
Yang mengganggu pemikiran saya sebagai rakyat dan warga negara biasa yang tinggal di Tangerang Raya adalah uang iuran sampah senilai Rp30 ribu per bulan per KK. Sebagian orang memang mempertanyakan, Rp30 ribu saja kok nggak mau bayar, tapi bagi saya justru kebalikannya. Jika saja uang anggaran belanja daerah tidak banyak disunat sana sini, saya yakin pasti pemerintah daerah Tangerang Raya mampu menyubisidi warga kurang mampu untuk mengelola sampah.
Faktanya, sebagian Tangerang Raya adalah wilayah industri, sementara sebagian lainnya adalah kota mandiri. Tentu perputaran uang dan pajak daerah di sini besar. Apakah tidak cukup untuk subsidi silang iuran sampah segelintir warga yang kurang mampu? Rp30 ribu yang tak seberapa dibandingkan kerugian kesehatan di masa mendatang, apakah pejabat terhormat pernah berpikir panjang?
Namun inilah realitas hidup di Tangerang Raya, wilayah yang berkembang pesat dan sebagian menjadi proyek strategis nasional. Pejabat dan keluarganya berlomba-lomba mengamankan kekuasaan dan harta, tapi lupa menengok warga yang sesak napas karena polusi asap.
Mengutip pernyataan Komnas HAM di tahun 2019, pencemaran udara adalah pelanggaran HAM. Udara bersih dan bebas partikel PM 2.5 seharusnya dihirup oleh semua rakyat Tangerang Raya, baik yang tinggal di perkampungan maupun perumahan yang dikembangkan pihak swasta.
Penulis: Maryza Surya Andari
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.