Menggugat Pembeli Martabak yang Bawa Topping Sendiri: Nggak Sekalian Aja Bawa Adonan dari Rumah Terus Numpang Masak di Gerobak Pedagangnya?

Menggugat Pembeli Martabak yang Bawa Topping Sendiri: Nggak Sekalian Aja Bawa Adonan dari Rumah Terus Numpang Masak di Gerobak Pedagangnya?

Menggugat Pembeli Martabak yang Bawa Topping Sendiri: Nggak Sekalian Aja Bawa Adonan dari Rumah Terus Numpang Masak di Gerobak Pedagangnya? (Shinta Amalia via Wikimedia Commons)

Orang-orang yang bawa topping sendiri kenapa nggak sekalian aja bawa adonan tepung dari rumah terus numpang masak di gerobak pedagang martabak?

Martabak termasuk salah satu makanan populer di Indonesia yang punya banyak ragam. Secara umum saja sudah ada dua pilihan, yaitu martabak asin dan manis. Keduanya pun punya bermacam-macam nama lain. Martabak asin kerap juga dipanggil martabak telur, sementara yang manis sudah punya paling nggak dua nama lain: martabak manis dan terang bulan.

Selain cita rasanya yang menyediakan dua pilihan, kuliner satu ini juga senantiasa berkembang melalui inovasi yang diciptakan para penjualnya. Misalnya saja dulu pernah ada martabak jadul yang seukuran telapak tangan. Sekarang kuliner ini sudah punya lebih banyak wujud. Ada yang kulitnya sengaja dibikin tipis dan kering yang membuatnya seperti saudara sepupu leker. Kulitnya pun kini bukan hanya yang berwarna cokelat keemasan, tapi ada pula yang merah, hijau, bahkan hitam. Belum lagi sekarang topping martabak sudah jauh lebih beragam. Dari yang dulunya hanya berupa meses dan kacang, kini ada variasi rasa red velvet, Nutella, Oreo, keju, hingga matcha.

Muncul orang-orang yang bawa topping sendiri

Bicara soal topping martabak manis, rupanya kini muncul pula sekte yang jauh lebih aneh dibandingkan inovasi topping itu sendiri. Mereka adalah kelompok pembeli martabak yang bawa topping sendiri dari rumah.

Aneh, kan? Di saat orang normal beli martabak manis sudah termasu topping-nya, ada orang yang ngide nenteng-nenteng meses, cokelat, dan keju sendiri dari rumah.

Saya sempat bertanya-tanya para anggota sekte ini mendapatkan ilham dari mana untuk membawa topping sendiri dari rumah ke gerobak pedagang martabak. Saat saya coba cari tahu, ternyata alasan mereka juga agak di luar nalar. Ada yang beralasan meses yang dipakai oleh penjualnya nggak enak sampai pengin cobain topping yang nyeleneh dan tapi belum tersedia, seperti remahan Pocky atau biskuit Lotus.

Pembeli kayak gini bikin resah pedagang

Sekte ini saking sudah banyak anggotanya sampai berhasil membuat pedagang martabak resah. Para pedagang yang nggak ridho sampai bikin tulisan di gerobaknya bahwa mereka nggak menerima customer yang bawa topping sendiri.

Apa para oknum pembeli ini nggak mengira ya kalau bawa topping sendiri dari rumah itu merugikan penjualnya? Topping yang disediakan oleh para penjual juga berpengaruh sama keuntungan mereka. Topping itu bukan cuma elemen tambahan, tapi juga ikut menjadi penentu harga jual sebuah martabak.  Harganya kan sudah diperhitungkan secara matang biar penjualnya untung.

Pembeli yang membawa topping sendiri pasti hanya akan membeli martabak polos yang harganya lebih murah. Dampaknya keuntungan penjualnya bisa saja berkurang. Soalnya biaya tetap untuk membuat martabak, mau itu yang sudah ada topping-nya maupun polos, tetap sama.

Contohnya begini. Dalam satu kali masak, penjual butuh biaya produksi Rp15 ribu yang mencakup bahan dasar, peralatan, tenaga, dan waktu. Jika harga martabak polos adalah Rp18 ribu sementara yang sudah sekalian dikasih topping adalah Rp25 ribu, tentunya penjual bisa mendapatkan keuntungan lebih banyak dari martabak yang sudah include topping. Ini karena dengan biaya produksi yang sama, margin keuntungan dari martabak polos jauh lebih kecil.

Merugikan pedagang martabak

Selain merugikan secara ekonomi, bawa topping sendiri dari rumah, meski nggak diucapkan secara langsung, juga menyimbolkan bahwa pembeli nggak bersedia pakai topping yang disediakan oleh penjual. Abang penjualnya tentu bakal membatin dan memikirkan apakah topping-nya kelihatan nggak layak atau kurang berkualitas, kok sampai nggak diminati konsumen.

Padahal topping yang mereka beli tentu udah disesuaikan sama harga martabaknya. Nggak mungkin dong martabak harga Rp25 ribu pakai topping cokelat Toblerone atau Oreo Supreme. Kalau topping-nya premium, harganya juga ikut naik.

Bisa juga penjual tersinggung karena pembeli seolah-olah merendahkan kreativitas mereka sewaktu membuat makanan satu ini. Sebagian penjual berinovasi untuk menggabungkan topping tertentu untuk membuat menu spesial. Tapi kalau pada bawa topping sendiri, penjual bisa saja jadi malas berinovasi lagi.

Akibatnya, kalau penjualnya sudah berhenti berinovasi, martabak jualannya jadi kehilangan ciri khas. Lama kelamaan jadi kalah saing karena pembelinya pergi ke tempat lain.

Membawa topping sendiri sewaktu membeli martabak mungkin kelihatan sepele buat para pelakunya. Padahal dampaknya sebegitu banyak untuk penjualnya. Kalau para anggota sekte ini masih saja bawa topping sendiri, apa nggak sekalian aja bawa adonan tepungnya sendiri dari rumah terus numpang masak di gerobak abangnya?

Penulis: Noor Annisa Falachul Firdausi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 5 Dosa Saat Makan Martabak dari Perspektif Penjualnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version