Saya pernah mendapat cerita dari ibu saya tentang salah satu temannya yang punya banyak anjing hasil diberi orang. Mungkin ada sekitar 10 anjing dengan ras berbeda yang ia pelihara di rumahnya, mulai dari yang masih usianya seumur jagung sampai yang sudah tinggal menanti ajal. Ibu saya bilang temannya itu memang pencinta anjing, maka saya juga tidak terlalu heran.
Tapi kemudian beliau yang juga sering bertemu Ibu ketika berjalan sore bersama anjing masing-masing, membuka kedok beberapa orang dan perlakuan mereka pada anjing yang akhirnya dirawat olehnya. Beliau bilang bahwa orang-orang seperti menemukan ruang bernapas ketika tahu ia terbuka dengan penitipan binatang terutama anjing.
Ada yang menitipkan hanya beberapa hari, berminggu-minggu, sampai yang akhirnya lepas tangan karena sudah nyaman hidup tanpa anjingnya. Padahal saya kira orang-orang yang tinggal dengan anjing mereka akan merasakan sebaliknya, bisa berbaur dan punya keterikatan dengan peliharaannya. Tapi, ternyata ada yang nihil juga.
Teman ibu saya itu tentu akhirnya diberi secara sukarela. Sebagai pencinta anjing, bukan kebetulan kalau beliau berkeinginan dan sepakat menjadi ibu sambung bagi para anjing itu. Tapi, yang lebih menyayat adalah cerita bahwa anjing yang selalu ia terima dari orang lain itu tidak begitu saja mudah beradaptasi di rumah barunya. Bahkan sebenarnya dengan hanya menitipkan, anjing sudah takut untuk ditinggalkan.
Berganti kepemilikan tentu memberatkan bagi anjing manapun. Kalau saja kita bisa menerawang isi pikiran mereka, mungkin yang ada dalam hatinya adalah segudang kekecewaan karena harus memulai hubungan dengan manusia yang baru lagi, memulai membuka hati untuk percaya pada pemilik barunya bahwa mereka bisa merasa aman.
Saya bukan bicara mewakili dokter hewan apalagi spesialis psikologi hewan. Kebetulan saya dan keluarga juga punya dua jenis peliharaan di rumah, kucing dan anjing. Kalau dihitung sudah sekitar 6 tahun mereka menemani momen suka duka kami di rumah. Untungnya keluarga saya sepakat dan sama-sama menyukai binatang, jadi membiarkan kucing dan anjing saya berkeliaran di dalam rumah tidak jadi masalah besar.
Kalau harus jujur, anjing yang saya pelihara pun didapat dari orang lain yang sudah tidak mooduntuk merawatnya lagi. Saya akhirnya menerimanya sebagai keluarga baru dan sekarang lebih sering disebut bungsu. Mendapatkan anjing baru tentu jadi euforia tersendiri buat saya, tapi anehnya banyak sekali orang-orang yang kemudian menghujani saya dengan banyak pertanyaan, terlebih jenis anjing apa yang saya pelihara ini.
Anjing yang saya pelihara itu bukan anjing ras murni, melainkan berasal dari kawinan. Tapi saya juga tidak tahu lebih tepatnya antara anjing jenis apa dan jenis apa. Saya sebenarnya tidak memusingkan itu. Aneh memang banyak orang justru merasa perlu untuk tahu apakah ini anjing kampung atau bukan. Rasanya mereka akan puas jika saya menjawab iya, ini anjing kampung.
Saya tahu betul memelihara anjing lama kelamaan menjadi lifestyle. Hewan jenis ini juga sering dikaitkan dengan kemakmuran seseorang. Terlebih alasan bahwa anjing itu butuh perawatan dan kebutuhan ekstra yang menghabiskan banyak biaya, sehingga mereka yang merawatnya adalah orang-orang yang memiliki banyak waktu di rumah dan tidak terlalu pusing dengan urusan pekerjaan.
Jika itu menjadi alasan pertama, saya bisa menyetujuinya. Tapi kembali lagi dengan budaya pandang bulu terhadap ras anjing non-murni seperti anjing saya ini yang sepertinya tidak bisa dijelaskan dengan alasan yang sama. Padahal saya pikir, anjing saya ini dapat perhatian yang lebih dari cukup. Ia saya berikan vaksin, vitamin, makanan yang tidak sembarangan, yang mungkin banyak orang masih suka mengombinasikan nasi dengan telor asin atau ati yang membuat bulu anjing menjadi rontok. Ia bahkan tidak pernah saya kandangi, dirantai di luar rumah, bahkan dipukul dengan kedok melatih.
Saya rasa tidak banyak juga yang menganggap bahwa anjing mereka perlu mendapatkan treatment yang layak. Salah satu orang yang pernah menanyai tentang anjing saya ini kemudian membeli anjing baru dengan ras murni. Saya tahu harganya cukup mahal untuk merawat anjing sejenis itu. Tapi ternyata di rumah, anjing itu tidak dibiarkan berkeliaran. Dikeluarkan dari kandang pun kalau ingin di-story saja. Sekadar untuk lucu-lucuan sampai bisa jadi untuk pamer kalau mereka punya anjing mahal di rumahnya.
Mungkin biar lifestyle mereka lebih lengkap jika ada anjing di rumah, meskipun anjing masih dianggap tidak lebih sebagai pengganti satpam saja. Dan saya pikir ini tidak hanya terjadi di satu sampai dua rumah saja. Teman ibu saya itu boleh jadi saksinya. Ia bahkan pernah memasang status di WhatsApp kalau ia tidak mau lagi dititip-titipkan anjing karena takut berakhir pada sikap tidak bertanggung jawab para pemiliknya.
Meskipun begitu, saya juga di sisi lain tidak ingin mengabaikan orang-orang yang dengan tulus mengadopsi anjing-anjing yang berkeliaran tanpa pemilik. Namun, di sini saya lebih berharap agar anjing yang sudah punya rumah setidaknya mendapatkan afeksi lebih layak dibandingkan anjing-anjing yang tak bertuan di luar sana.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.