Pelajaran Sejarah tuh Aslinya Seru dan Berguna, Guru yang Membuatnya Membosankan

Sukarno Bilang 'Jangan Lupakan Sejarah' Bukan 'Pelajarilah Sejarah' pelajaran sejarah ditiadakan kemendikbud terminal mojok.co

Sukarno Bilang 'Jangan Lupakan Sejarah' Bukan 'Pelajarilah Sejarah' pelajaran sejarah ditiadakan kemendikbud terminal mojok.co

Ada satu masa ketika saya sangat antusias dengan pelajaran Sejarah. Itu terjadi ketika saya duduk di kelas X. Guru saya lulusan Ilmu Sejarah UGM. Waktu itu saya ingat betul, ia mengajari tentang macam-macam teori persebaran nenek moyang. Saya senang sekali ketika  diizinkan berpendapat teori mana yang paling masuk akal. Guru saya tidak menyanggah atau membenarkan, tetapi memuji keberanian saya untuk berpendapat. Nggak bohong nih ya, beneran seneng.

Tapi semua berubah sejak saya naik kelas. Otomatis guru sejarahnya ganti, metode pembelajarannya juga. Dari yang interaktif, jadi melulu menghadap LKS. Memang sih sejak kelas X guru sejarah saya sering menggunakan LKS untuk menunjang pembelajaran, tetapi sebagai alat bantu aja, bukan sarana utama.

Mulai sejak itulah menyadari mengapa teman-teman tidak menyukai mapel sejarah.

***

Berkat orang tua, sejak kelas IV SD saya menganggap sejarah sebagai pelajaran paling menarik sejagat raya. Orang tua sudah menyuguhkan tontonan seri dokumenter PD II, Apocalypse World War II, di saluran National Geographic.

Setelah itu, saya jadi suka nonton sejarah perang lainnya. Dari peristiwa D-Day, Perang Pasifik, kejatuhan Berlin, dan seterusnya. Saya makin tertarik dengan peristiwa sejarah, terutama yang berkaitan dengan Amerika. Apalagi saya penggemar cerita nonfiksi, materi sejarah jadi cerita mengasyikkan yang nenambah wawasan sekaligus menghibur.

Namun, guru Sejarah kelas XI saya tidak memandang sejarah sebagai cerita. Materi sejarah disajikan dengan fakta-fakta tanpa menyinggung keterkaitannya. Otomatis yang dipelajari hanya nama tokoh, waktu, tempat terjadi, tanpa melihat maknanya. Hasilnya? Boring abisss.

Padahal saya ingat betul, saat itu yang dipelajari adalah Politik Balas Budi di masa Hindia-Belanda. Seandainya materi itu dipelajari dengan baik, pasti siswa akan jadi sangat paham bagaimana tokoh-tokoh terpelajar di era Kebangkitan Bangsa bisa bermunculan. Pasti seru.

Dan ketika saya ingat-ingat lagi, dulu saat saya masih kelas IX, di dalam mapel IPS hampir semua materinya adalah Sejarah. Seperti awal mula PD II, ingga peristiwa Reformasi.

Dan tebak, bagaimana guru saya mengajarkan materi tersebut? Beliau menuliskan rangkuman materi dari buku paket sebanyak dua embar dan menyuruh kami untuk menghafal rangkuman tersebut bulat-bulat. Iya bener, bulat-bulat alias tidak mengubahnya dengan gaya bahasa sendiri.

Beliau kemudian memberi waktu satu minggu bagi kami untuk menghafal materi tersebut. Dihafal untuk apa? Ya, untuk diuji hafalannya. Satu per satu siswa disuruh maju lalu menyebutkan semua isi rangkuman tanpa cacat sedikit pun. Tanpa lidah yang keseleo, tanpa banyak terdiam, tanpa perlu melihat catatan, dan yang paling penting: tidak mengubah isi rangkumannya sama sekali.

Salah satu teman saya saat itu sampai cerita, “Aku semaleman menghafal. Bangun subuh, terus lanjut ngafalin. Gelo lah, pas aku salat Subuh bukannya baca Al-Fatihah, malah baca kalimat rangkuman”. Jujur aja sih, waktu itu emang ngakak waktu dia cerita. Tapi pas dipikirin lagi, kok miris ya? Dan guru saya pun ketika tahu cerita ini malah ketawa dan menjadikannya contoh ke teman-teman saya yang lain, “Tuh, dia mah menghafal sampai segitunya. Kamu gimana?”

Walhasil, saya jadi memaklumi jika ada banyak teman-teman saya yang tidak suka bahkan sampai membenci pelajaran Sejarah. Karena yang disuguhkan bukan jalan cerita yang satu sama lain terkait sampai berpengaruh ke kehidupan kita sekarang, melainkan cuma deretan kronologi peristiwa tanpa arti.

Menurur saya sih, meski ada trauma dengan sejarah yang membosankan di sekolah, kita masih perlu mempelajarinya secara mandiri. Sebab, kalau kata pepatah Prancis, sejarah itu berulang. Dengan memahami masa lalu, kita bisa ngerti mengapa kita, masyarakat kita, negara dan dunia kita, bisa jadi seperti sekarang. Juga untuk tidak mengulang kesalahan masa lalu.

Menurut pengalaman pribadi, jika niat mempelajari sejarah adalah untuk mencari makna dan membuka misteri hari ini, semua fakta yang dulu dianggap jelimet akan teringat di luar kepala secara instingtif. Sama seperti saat kita menyimak cerita yang seru, yang menjadi fokus adalah alurnya. Latar dan tokoh akan mengikuti dengan sendirinya. Dan sepengalaman saya, puncak kegembiraan dalam mempelajari sejarah adalah ketika menemukan kaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa sejarah lainnya.

Misalnya, ketika saya berpikiran seandainya jenderal Ludendorff tidak membebaskan Lenin, mungkin rakyat Indonesia tidak akan mengenal apa itu Komunisme. Atau seandainya saja Mussolini tidak kabur dari wajib militer di Italia, mungkin Hitler tidak akan mengenal Fasisme dan memicu PD II. Hal-hal seperti inilah yang menjadi puncak kenikmatan mempelajari sejarah.

Andai saja semua orang getol mempelajari sejarah, mungkin ada banyak kesalahan hari ini yang bisa dihindari. Tetapi, yah, itu andai-andai doang sih.

BACA JUGA Ki Hadjar Dewantara: Nakal Harus, Goblok Jangan 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version