Saya dan keluarga tinggal di Purbalingga. Namun, kami sering mengunjungi Pekalongan karena adik saya menempuh pendidikan sekolah menengah atas di sana. Bisa dibilang, kami warga Purbalingga yang akrab dengan tiap sudut Pekalongan karena sering bolak-balik ke Kota Batik itu.
Saya mengalami beberapa hal yang mengagetkan selama beberapa kali berkunjung ke Pekalongan. Istilah lainnya, culture shock. Kota Batik itu ternyata menyimpan banyak masalah yang membuat saya bersyukur tidak tumbuh dan tinggal di sana.
Daftar Isi
#1 Cuaca Pekalongan yang panas
Pekalongan terletak dekat dengan pantai utara Jawa. Layaknya kota-kota pesisir, cuaca di sana sangat panas apalagi ketika musim kemarau. Rata-rata panas di Pekalongan saat siang hari mencapai 31 derajat celcius.
Kondisinya tidak lebih baik ketika musim hujan tiba. Saat hujan terus menerus mengguyur, beberapa titik di Kota Batik itu terendam banjir. Hal seperti ini akan menjadi pemandangan yang umum di Jalan H. Mochamad Charoen, Banyurip Alit, dan Pekalongan Selatan. Memang sih, tinggi genangan air hanya semata kaki orang dewasa. Namun, tetap saja genangan ini merepotkan mobilitas sehari-hari.
#2 Masalah limbah batik yang tak kunjung usai
Pekalongan terkenal sebagai sentra pembuatan batik. Hal ini bisa dilihat dari kualitas batik cap dan tulis yang tidak perlu diragukan lagi. Namun, di balik itu, produksi batik di Pekalongan ternyata menimbulkan limbah yang berdampak buruk bagi warga.
Saya beri sedikit gambaran. Batik yang sudah selesai dilukis dan dikeringkan harus dicuci menggunakan air bersih. Jika sudah, air sisa pencucian batik harus dibuang ke tempat yang aman agar tidak mencemari lingkungan.
Akan tetapi, jika berkunjung ke Pekalongan, kalian akan menjumpai parit dengan air berwarna hitam pekat ya. Ingat ya, warnanya hitam bukan gelap atau keruh. Katanya, parit-parit dengan kondisi seperti ini tercemar limbah produksi batik.
Selain kotor, air parit di Pekalongan mengalir sangat lambat. Tidak hanya manusia yang malas dengan keberadaan parit yang seperti itu. Saya yakin nyamuk saja enggan menetaskan jentik-jentik di sana. Hal itu sangat berbeda dengan parit di daerah saya, Purbalingga. Di sana, parit bisa digunakan untuk bermain air dan berenang oleh anak-anak.
Kondisinya akan lebih buruk ketika musim hujan. Parit yang tercemar bisa meluap dan berdampak buruk bagi kondisi kulit warga. Wis lah pokoknya rumit mengurai permasalahan yang satu ini.
#3 Pantai Pekalongan tidak indah
Saat mengunjungi Pekalongan, beberapa kali saya sempatkan pergi ke pantainya. Niat hati ingin menikmati keindahan laut utara Jawa justru berujung pada kekecewaan. Pantai-pantai di sana ternyata kurang indah, terkesan kotor. Air lautnya tidak bening, cenderung berwarna gelap. Warna airnya mirip dengan air parit di Pekalongan.
Itu mengapa kalian akan jarang melihat pengunjung mandi di pantai. Boro-boro mandi, melihat airnya saja sudah tidak berminat untuk berlama-lama di sana. Menurut saya, bukan tidak mungkin air pantai bisa menimbulkan penyakit kulit saking nggak jernihnya.
Di atas beberapa hal yang saya rasakan ketika mengunjungi Pekalongan. Pengalaman itu membuat saya merasa bersyukur hidup di Purbalingga. Memang, tidak semua tentang Pekalongan itu buruk, tapi saya rasa akan sangat sulit berdamai dengan kondisi-kondisi di atas. Lebih baik tinggal di Purbalingga saja walau sebenarnya nggak sempurna-sempurna amat.
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Cicendo Daerah Paling Superior di Kota Bandung, Fasilitasnya Komplit dan Nyaman
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.