Coba rasakan berkendara melalui Payak 600, sebuah ruas jalan yang kejam dan brutal di Jalan Sungai Kelik Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Ketapang, sebuah kabupaten di timur laut provinsi Kalimantan Barat, daerah kelahiran saya sekaligus tempat saya besar, jaraknya sekitar 450 km dari ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak. Sebagaimana daerah-daerah di Pulau Jawa dan pulau lain di Indonesia pada umumnya, ibu kota provinsi menjadi salah satu sentral untuk merantau, traveling, atau perjalanan dinas bagi kabupaten-kabupaten lain di provinsi tersebut. Tak heran kalau traffic pulang-pergi orang Ketapang ke Pontianak sangat tinggi.
Selain menggunakan Lion Air yang harganya konsisten membuat orang Ketapang mengeluarkan sumpah serapah, alternatif yang biasa digunakan untuk menuju Pontianak adalah melalui perjalanan darat dengan kendaraan pribadi, baik itu mobil atau motor. Tidak seperti perjalanan darat di Pulau Jawa yang bisa menggunakan jalan tol atau kereta api, perjalanan darat di Kalimantan sangat berbeda.
Jalan mulus biasanya hanya ada di kota. Untuk lintas kabupaten atau lintas provinsi, jalan berlubang, bergelombang, atau bahkan hancur adalah santapan biasa. Salah satu daerah di Ketapang yang hampir selalu dilewati jika bepergian ke Pontianak atau ke kota-kota lainnya adalah Kecamatan Nanga Tayap, sekitar 150 km dari pusat kota Ketapang.
Nanga Tayap menjadi semacam rendezvous point atau tempat perlintasan dari Ketapang ke kota-kota lainnya. Logikanya, jenis daerah seperti ini seharusnya diperlengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai. Daerah seperti ini memiliki potensi ekonomi jika diungkit dengan infrastruktur konektivitas yang layak karena ada banyak kendaraan yang lalu-lalang di daerah ini. Tetapi, realitanya tidak selalu demikian.
Daftar Isi
Neraka kecil itu bernama Payak 600
Sebuah daerah perlintasan di Kecamatan Nanga Tayap dikenal dengan medan yang kejam dan brutal, terutama bagi pengendara mobil. Daerah jahanam itu bernama Payak 600, sebuah ruas di Jalan Sungai Kelik Nanga Tayap yang rawan banjir.
Payak 600 adalah momok mengerikan bagi siapa pun yang melintasinya kala musim hujan. Jika sedang parah-parahnya hujan, Payak 600 bisa menjadi sungai sedalam lebih dari satu meter. Jika hujan tidak parah dan cukup sedang tetapi intens, Payak 600 menjadi kubangan babi yang luas dengan bubur tanah lumpurnya.
Sebenarnya ada jalur lain setelah dari Nanga Tayap, yaitu melalui Pebihingan, sebuah desa di Kecamatan Pemahan, Kabupaten Ketapang. Tetapi, jalur ini cukup jauh memutar dan dipenuhi jalan berbatu, berlubang, dan bergelombang. Jalur Payak 600 lebih disukai warga karena lebih cepat untuk sampai ke Ketapang. Sayangnya, apa yang kita sukai belum tentu menyukai kita balik.
Payak 600 adalah ujian off road sejati bagi pengendara mobil. Anda belum disebut sebagai driver andal Ketapang jika belum pernah amblas berjam-jam di Payak 600, terbenam dalam kubangan babinya. Anda belum disebut sebagai driver andal juga jika mobil Anda belum pernah hanyut terbawa arus saat Payak 600 menjadi sungai. Membawa mobil ke bengkel adalah suatu rutinitas biasa jika orang Ketapang bepergian ke Pontianak dan sebaliknya. Itu pun kalau berhasil lewat.
Berhadapan dengan Payak 600
Pengalaman saya kemarin saat pulang dari Pangkalanbun, Kalimantan Tengah ke Ketapang, saya dan keluarga pada awalnya memilih jalan Sungai Kelik. Saya menyetir waktu itu dan kami mengasumsikan bahwa Payak 600 sedang jinak.
Setibanya di ruas jalan jahanam itu, kami harus menghadapi pre-challenge terlebih dahulu, jalan-jalan primitif yang becek dan berlumpur, tetapi masih dalam kadar ringan. Ada sekitar dua hingga tiga titik yang seperti itu, yang melatih saya untuk secara cakap memainkan kopling dan gas agar mobil tidak amblas.
Hingga akhirnya, tibalah kami di pusat neraka itu. Sekitar 200 meter dari titik klimaks itu saja, saya sudah bisa melihat kemacetan akibat mobil-mobil yang amblas. Beberapa mobil harus ditarik agar bisa lewat.
Merasa percaya diri karena berhasil melewati level-level jalan hancur sebelumnya, saya tetap menerobos masuk ke jalur pesakitan itu. Hasilnya, selama satu jam mobil berkubang dalam lumpur tebal. Roda mobil slip dan tidak bisa bergerak. Hanya dengan bantuan dorongan dari sesama pengendara mobil yang bernasib sama, mobil kami baru bisa kembali ke jalur, itu pun kami memutuskan untuk putar balik. Kampas kopling mobil kami habis dan bau karet kosong tercium selama tiga hari selanjutnya.
Saya dan keluarga pun memutuskan untuk melewati Pebihingan. Kala itu sekitar pukul dua siang dan rencana awal adalah sekitar tiga jam dari Payak 600 ke Ketapang. Rencana meleset, lamanya waktu amblas, lamanya waktu putar balik ke simpang Nanga Tayap, dan lamanya jalur Pebihingan membuat kami baru tiba di Kota Ketapang pukul satu dini hari. Mobil juga harus masuk reparasi.
Menanti keseriusan Pemprov Kalbar
Pak Sutarmidji selaku Gubernur Kalimantan Barat pada November 2022 lalu sempat menjanjikan anggaran pembangunan ruas jalan provinsi terbesar untuk Ketapang, sekitar Rp131 miliar untuk tahun 2023. Jalan Sungai Kelik beserta ruas Payak 600 digolongkan dalam jalan provinsi, sehingga sudah selayaknya masyarakat Ketapang berharap ada perbaikan ke depannya. Meskipun saat ini sudah empat bulan berlalu dan masih belum ada tanda-tanda Payak 600 dan sekitarnya akan mulus.
Memang sedang ada proyek perbaikan ruas Jalan Nasional Nanga Tayap-Kelik senilai Rp38,2 miliar yang digarap PT. Ariaputra Dwi Prima yang hingga April 2023 ini progresnya dikatakan sudah mencapai 86%. Akan tetapi, sepertinya area keramat bin amblas bernama Payak 600 justru belum disentuh karena kendala teknis dan beratnya medan.
Pak Sutarmidji sendiri mengakui keterbatasan dana provinsi, karena untuk perbaikan dan pembangunan jalan provinsi sepanjang satu kilometer saja membutuhkan sekitar Rp7 miliar. Dan Payak 600 sendiri sudah puluhan tahun menjadi saksi bisu yang cacat dan abadi untuk disumpahi warga yang melintas.
Saya berusaha untuk tetap positive thinking dan husnuzan kepada Pemprov Kalimantan Barat serta jajaran Dinas Pekerjaan Umum. Mungkin saja anggarannya memang kurang, mungkin saja memang sedang dalam proses untuk pencairan, dan mungkin saja memang sudah direncanakan untuk perbaikan. Akan tetapi, jika kata “mungkin” itu berlaku untuk hal baik, kata tersebut juga bisa berlaku untuk hal buruk, dong.
Penulis: Raja Pranatha Doloksaribu
Editor: Intan Ekapratiwi