Beberapa hari ini timeline saya ramai dengan video aksi heroik pak Polisi ketika merazia tempat nongkrong yang masih cukup banyak pengunjungnya. Kafe di dekat rumah saya di Surabaya jadi salah satu sasarannya. Malam minggu kemarin, polisi datang lalu membubarkan pengunjung kafe. Katanya sudah tidak boleh ada kumpul-kumpul, lalu pemilik kafe dimarahi karena dianggap hanya memikirkan keuntungan belaka karena masih saja membuka kafe di situasi seperti ini.
Sekilas, apa yang dilakukan polisi dalam “mendisiplinkan” warga dan pemilik kafe yang “bandel” karena tidak mengikuti social distancing adalah hal yang tepat. Tapi, sadar nggak sih, ada hal yang terlupakan dari kegiatan razia kafe yang masih beroperasi ini?
Gimana nasib pengelola kafenya?
Well, karena sudah tidak diperbolehkan menerima pengunjung, kita bisa menebak kalau mereka pasti harus tutup. Kalau kafenya tutup, artinya pekerja di kafenya juga harus diliburkan. Itu artinya, mereka akan kehilangan pendapatan karena tidak lagi bekerja.
Dan ini sebenarnya bukan hanya berlaku untuk kafe saja, banyak UMKM yang juga harus kehilangan pemasukan karena usaha mereka tidak lagi bisa beroperasi. Ujung-ujungnya, tetap pekerja dari UMKM inilah yang benar-benar jadi korbannya.
Iya, melakukan social distancing untuk menjamin kesehatan masyarakat memang hal penting yang harus kita lakukan. Kebijakan ini akan menekan angka persebaran virus corona. Tapi di sisi lain, dia juga mematikan ekonomi masyarakat. Akhirnya, kebijakan ini jadi sebuah paradoks.
Begini, jika pemerintah melakukan penutupan pada sejumlah industri kuliner, harusnya mereka memberikan kompensasi bagi pelaku usaha. Tapi, pemerintah tidak punya sumber daya yang cukup untuk melakukan hal ini. Makanya mereka pakai kata “imbauan” saja—bukan “larangan” agar pemilik kafe/industri kuliner masih tetap bisa buka. Dengan kata lain, mereka sengaja melompati kewajibannya untuk membantu pelaku UMKM. Di sisi lain juga membunuh bisnis mereka secara perlahan karena tidak diperbolehkan ada pengunjung selama kebijakan social distancing ini. Kalau begini sih, apa bedanya dengan pemerintah memaksa industri kuliner ini untuk tutup sekalian.
Hingga saat ini, tidak ada insentif yang jelas nampak serta dapat dimanfaatkan bagi pelaku UMKM. Hal ini sangat mengkhawatirkan. Bagaimana tidak? Lebih dari 60% pertumbuhan nasional merupakan hasil langsung dari UMKM. Lebih dari 90% lapangan pekerjaan dibuka oleh UMKM.[v] Masih mau diimbau?
Lagi-lagi efek dominonya ada pada pekerja secara keseluruhan. Bisnis yang bertahan tentu saja mengorbankan banyak kesejahteraan pekerjanya. Sementara lainnya, harus gulung tikar berdampak pada meningkatnya angka pengangguran.
Apakah nasib serupa akan dialami oleh pembuat kebijakan? Bapak-Ibu anggota dewan yang terhormat beserta keluarganya? Pak polisi yang menerima perintah, teriak-teriak, dan mendisiplinkan warganya? Atau semua aparatur negara di segala bidang?
Ironinya, meskipun sejumlah layanan publik tidak beroperasi (out of services) aparatur negara masih dapat menikmati privilise. Boro-boro berbicara soal potong gaji setengah bulan seperti yang dialami oleh pekerja di kafe tadi, tunjangan saja tetap lancar jaya kok.
Sabar, tidak boleh mengumpat.
Jika hal ini terus terjadi, bukan hanya krisis kesehatan masyarakat dan krisis ekonomi yang kita dapat. Kecemburuan sosial akibat dari kebijakan yang tidak adil, dapat berujung pada ketidakpercayaan public (public distrust) pada pemerintah.
Sebelum dihujat karena mengkritik kebijakan social distancing ini, saya mau sedikit menawarkan solusi (soalnya kalau kritik doang tanpa solusi pasti bakal dianggap bacot doang).
Karena kita tidak pernah berada di situasi seperti ini sebelumnya, satu hal yang pasti adalah, tidak ada orang yang benar-benar ahli dan bisa menangani situasi ini 100% tepat. Jadinya semua orang sebenarnya bisa saja urun tangan memberikan solusi atau inovasi.
Solusi yang hendak saya tawarkan adalah melakukan digitalisasi UMKM. Kita semua tahu, bahwa masyarakat kita belum sepenuhnya bertransaksi secara online. Pemerintah perlu menyalurkan insentif bagi pelaku usaha yang meluncurkan layanan take away melalui e-transaction, atau bentuk-bentuk e-commerce lainnya. Hal ini dapat meminimalisir tatap muka, tetapi ekonomi tetap bisa berjalan dengan cara yang berbeda. Kebijakan konvensional seperti pengampunan pajak untuk situasi seperti ini, tidak akan banyak berguna karena toh tidak menjami roda ekonomi berputar bagi UMKM.
Ide ini, tentu tidak menyelesaikan semua masalah. Bagaimana dengan penjaja kuliner, yang sebenarnya, menjajakan tempat yang instagramable bagi millennials dan wifi yang kencang bagi para fakir kuota? Di sinilah saya mengajak jama’ah mojokiyah untuk ikut berpikir bersama-sama. Karna masalah ini, seharusnya menjadi masalah kita bersama.
BACA JUGA Dampak Ekonomi Pandemi Corona yang Bisa Bikin Perekonomian Negara Hancur Lebur atau tulisan Rizky Adhyaksa lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.