Papeda gulung? Makanan apa lagi ini?
Ada banyak culture shock yang dialami oleh orang yang merantau ke daerah yang beda kota/kabupaten bahkan provinsi. Salah satunya perihal makanan. Misal orang asal Jawa Tengah dan sekitarnya biasa mengkonsumsi ayam geprek yang beneran digeprek. Ketika mereka merantau ke Jakarta, ternyata ayam geprek di sana cuma dioles sambal, tanpa digeprek. Atau yang lebih parah, sambalnya ditaruh di plastik kecil dan tetap ayamnya nggak digeprek.
Saya juga mengalami culture shock yang serupa. Tapi, culture shocknya dari kudapan di sekitar tempat asal saya, yaitu Cikarang. Bukan kudapan dari luar daerah asal saya. Terus terang saya nggak menyangka bisa punya culture shock di dunia kuliner. Soalnya lidah dan perut saya cocok-cocok aja dikasih makanan apa pun. Yang penting halal.
Awal mengenal papeda gulung
Culture shock pertama saya di dunia kuliner adalah papeda gulung. Awal mula mengetahui jajanan ini ketika pimpinan kantor saya di Sulawesi memberi tugas dinas ke Jakarta. Setelah segala tugas di Jakarta selesai, saya menyempatkan untuk pulang ke rumah orang tua di Cikarang. Karena di dekat rumah orang tua banyak SD dan MI, saya sempat melewati banyak tukang jajanan di dekat SD/MI.
Salah satu tukang jajanan yang menarik adalah pedagang papeda. Sebenarnya, di awal saya nggak begitu tertarik untuk membeli. Tapi, namanya bikin rasa penasaran saya membara. Saya pengen tahu gimana bentuk dari papeda yang dijual di depan SD. Mengingat di Sulawesi saya biasa mengkonsumsi makanan sejenis papeda, yaitu sinonggi dan kapurung. Jadi, saya sedikit banyak tahu tentang papeda.
Terkaget-kaget
Selepas saya membeli papeda gulung, saya mengalami culture shock untuk pertama kali di dunia kuliner. Perasaan kaget, bingung dan heran bercampur menjadi satu. Pokoknya, rasanya kayak permen nano nano. Rame banget perasaan di relung hati terdalam.
Culture shock yang saya alami ini terjadi karena perbedaan yang sangat kontras antara makanan sejenis papeda yang pernah saya makan dengan papeda gulung. Biar kamu tahu perbedaannya bakal saya sebutkan satu persatu. Perbedaan pertama adalah bahan dasar utama. Setahu saya, bahan dasar utama adonan papeda gulung adalah tepung tapioka/sagu, tepung terigu dan telur. Sedangkan bahan dasar papeda dari Papua itu hanya menggunakan tepung sagu tanpa campuran apa pun.
Lanjut perbedaan kedua yaitu cara masak. Cara memasak papeda gulung dengan the real papeda itu beda jauh. Cara masak papeda gulung dengan menuangkan adonan ke atas wajan anti lengket yang telah diberi margarin dan dipanasi terlebih dahulu. Kalau cara masak the real papeda lebih sederhana. Cukup dengan menuangkan air panas mendidih ke sagu yang sudah diletakan pada baskom, kemudian diaduk sampai masak.
Perbedaan ketiga adalah topping. Di papeda original nggak perlu pake topping. Sementara, di papeda gulung perlu topping. Umumnya, toppingnya berupa telur, saos dan bubuk cabe. Tapi, ada juga yang memberikan topping seperti mayonase dan bihun.
Berikutnya, perbedaan keempat yaitu hidangan pendamping. Papeda gulung nggak perlu hidangan pendamping. Alias tinggal lep (makan). Sedangkan, papeda dari Papua membutuhkan hidangan pendamping seperti makanan olahan ikan dan sayur berkuah.
Setelah itu, perbedaan kelima adalah kategori makanan. Papeda gulung termasuk jenis jajanan. Sama seperti sempol, pentol dan cilok. Sedangkan the real papeda termasuk makanan berat/pokok. Sekelas dengan nasi, singkong dan kentang.
Perbedaan keenam atau yang terakhir yaitu cara mengonsumsinya. Umumnya papeda gulung dikonsumsi dengan cara dikunyah. Sementara papeda original nggak perlu dikunyah terlebih dahulu. Cara mengonsumsi papeda original biasanya ditelan bulat-bulat.
Saran untuk pedagang
Untuk seluruh pedagang papeda gulung di Indonesia, sebaiknya kembalikan nama makanan sesuai fitrahnya. Pasalnya, setahu saya, asal nama jajanan ini bukan papeda gulung. Melainkan cilung alias aci digulung. Dengan dikembalikannya nama cilung, dapat mencegah culture shock orang yang pernah mencicipi masakan dari Indonesia bagian timur seperti saya. Ini sih cuma sekadar saran remeh dari saya untuk seluruh pedagang makanan ini di Indonesia. Kalau sarannya bisa diterima, ya syukur. Tapi, kalau nggak diterima, coba deh dipikir-pikir lagi, masa sih nggak mau nerima?
Sumber gambar: Gunawan Kartapranata via Wikimedia Commons
Penulis: Ahmad Arief Widodo
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sinonggi: Makanan Khas Orang Timur yang Kayak Lem