Usai Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, Pangeran Mangkubumi menghuni istana yang tuntas dibangunnya pada 7 Oktober 1756. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri megah. Mangkubumi pun bertahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I. Gelar sultan termasuk hasil kesepakatan Mangkubumi dengan Nicolaas Hartingh sebagai mediator Perjanjian Giyanti untuk membedakan gelar raja di Surakarta.
Sebelumnya, di desa Kabanaran, para pengikutnya telah menobatkannya sebagai raja Mataram bergelar Susuhunan Pakubuwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama. Berbagai sumber menyebut bahwa peristiwa itu terjadi pada 11 Desember 1749. Dalam naskah Jawa tertulis bulan Sura 1675 Tahun Jawa. Dibandingkan penobatan Pakubuwono III di Surakarta, penobatan Mangkubumi ini mendapatkan banyak dukungan elit Jawa. Belanda tak mungkin memandang remeh.
Berdasarkan titik pandang orang-orang Jawa, kata Merle Calvin Ricklefs, pemerintahan Mangkubumi dimulai pada 1749. “Fakta Belanda dipaksa mengakuinya selama enam tahun lagi bukanlah pembenaran historis yang memadai untuk menyatakan kekuasaannya diawali pada 1755,” tegas M.C. Ricklefs dalam buku Jogjakarta under Sultan Mangkubumi: A History of the Division of Java. Menyadari kekuatan Mangkubumi, Belanda pun mengatur siasat pembagian kekuasaan bumi Mataram via Palihan Nagari 1755.
Mangkubumi harus diakui identik dengan Yogyakarta. Terlalu jauh kalau dihubungkan dengan Sultan Agung. Yogyakarta adalah “pecahan geografis” Mataram. Setidaknya, sampai berakhirnya penjajahan Belanda, menurut M.C. Ricklefs, di antara penguasa dinasti Mataram, hanya Sultan Agung dan Sri Sultan I yang layak disebut “Great”. Mangkubumi lah yang membuat orang Yogyakarta tetap percaya diri mengidentikkan dirinya dengan label Mataram.
Masa kekuasaan Mangkubumi terhitung lama dalam sejarah Mataram. Mangkubumi wafat pada 24 Maret 1792. Semasa kekuasaan Sri Sultan I yang hampir 43 tahun itu tentu banyak kisah. Salah satu cerita menarik adalah soal lima figur wayang yang dijadikan pusaka keraton saat Sri Sultan I berkuasa. Di antaranya adalah hasil karya Sri Sultan I sendiri. Sri Sultan I meramalkan bahwa wayang pusaka itu akan hilang pada zaman Sri Sultan III dan akan kembali lagi pada masa Sri Sultan VIII dan Sri Sultan IX.
“Benar, ketika Hamengku Buwono III berkuasa hilanglah kelima wayang tersebut,” kata Sri Sultan IX yang diungkapkan dalam buku yang kini sudah menjadi klasik, Takhta untuk Rakyat (1982). “Ayah saya, Hamengku Buwono VIII berusaha mencarinya, dan dua di antaranya memang ditemukan kembali,” lanjut Sri Sultan IX. Menurut kepercayaan Jawa, tanpa dicari pun, pusaka itu dapat kembali dengan sendirinya. Namun, Sri Sultan VIII seakan-akan ingin membuktikan ramalan Sri Sultan I.
Dari lima wayang, dua telah kembali. Artinya, tiga figur wayang lagi yang belum kembali. Semasa Sri Sultan IX ada seorang Tionghoa dari Cirebon mendatangi keraton dengan maksud ingin mengembalikan sebuah wayang. Sri Sultan IX pun mengundang ahli. Setelah diteliti, ciri-cirinya cocok dengan lima wayang pusaka keraton yang hilang. “Figur yang diserahkan waktu itu adalah tokoh Arjuna yang indah sekali,” ucap Sri Sultan IX.
Sebelum kelahiran anak pertama, Sri Sultan IX kedatangan seseorang dari Ambarawa. Sebagaimana orang Tionghoa sebelumnya, orang Ambarawa itu bermaksud ingin menyerahkan sebuah wayang ke keraton. Wayang yang dibawanya berfigur Srikandi, istri Arjuna, bertatah halus dan cantik. Figur wayang ini yang menginspirasi pemberian nama Herjuno Darpito (kini Sri Sultan X) untuk anak laki-laki pertama Sri Sultan IX.
“Dengan demikian, kini empat dari kelima tokoh wayang telah berada di Keraton Yogyakarta kembali. Tinggal menunggu sebuah lagi akan lengkaplah kelimanya, tetapi berupa apa yang kelima ini saya tidak tahu,” tutur Sri Sultan IX. Apa menariknya lima wayang ini? Menurut ramalan Sri Sultan I, apabila kelak kelima wayang itu sudah kembali ke keraton, negara akan makmur sejahtera.
Dalam setiap ramalan terkadang mengandung makna lebih mendalam daripada kalimat tersirat. Makna “negara akan makmur sejahtera” bisa ditafsirkan beraneka rupa. Dalam pandangan Mangkubumi, negara dimaksud tentu terkait Mataram. Indonesia belumlah terbayang. Ramalan Sri Sultan I lewat lima wayang yang hilang itu boleh kita percaya. Kita pun boleh tidak memercayainya.
Apakah wayang yang kelima telah kembali ke keraton? Tidak ada keterangan dan penjelasan lebih lanjut dari Sri Sultan IX. Sri Sultan IX yang wafat pada 2 Oktober 1988 seolah-olah meninggalkan misteri soal wayang yang kelima. Kini, kita hanya bisa menduga-duga, bukan? Wallahu a’lam.
BACA JUGA Benarkah Masyarakat Yogya Rasialis? dan tulisan Hendra Sugiantoro lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.