Bukittinggi, kota tempat tinggal saya ini, nggak hanya ngetop sebagai tempat wiskul bersantan, atau re-charge paru-paru dengan udara gunung yang segar saja. Bukittinggi juga tempatnya “cuci mata nguras dompet” a.k.a belanja.
Nggak heran, pusat perbelanjaan seperti pasar, kios, atau toko, kudu masuk dalam itinerary plesiran. Dan bahasa daerah setempat (bahasa Minang, di kota saya), biasanya dilontarkan sang penjual untuk memeriahkan gairah shopping ini. Memberikan salam sapaan yang khas atau langsung mempromosikan barang dagangannya.
Nah, supaya kalian nggak cuma lolak-lolok kebingungan nggak ngerti sehingga keliatan banget turisnya, sini saya kasih panduan singkat untuk berinteraksi dengan para pedagang dalam bahasa Minang.
Perhatikan beberapa hal berikut, ya.
#1 Siapa penjualnya
Pertama-tama, kenali dulu siapa penjualnya. Maksudnya, nggak perlu browsing nama, tempat tanggal lahir, atau suku dan agamanya seperti di beberapa media onlen. Nggak perlu juga kalian tau apa orientasi seksualnya seperti si anu yang “ditelanjangi” begitu.
Cukup dilihat apakah laki-laki atau perempuan, terus tebak-tebakan deh kira-kira blio lebih muda dari kalian, seumuran, atau lebih tua? Itu saja risetnya, cukup, kok.
Kalau yang berdagang perempuan paruh baya, paling aman panggil saja “ibuk” (di sini lebih terbiasa menggunakan kata “ibu” dengan huruf “k”). Sementara kalau laki-laki bisa dipanggil “pak” atau “apak” (bapak). Kalau umur sang ibu terlihat sudah renta, bisa dipanggil “mak” (dari kata “amak” yang berarti ibu/emak) untuk lebih menghormati.
Kalau pedagangnya kira-kira seumuran kalian atau beda usia tidak terlalu jauh, bisa dipanggil “bang” (abang) atau “da” (uda) untuk laki-laki, dan “ni” (uni) untuk perempuan, supaya kesannya lebih ikribs gitu. Nah, kalau tetiba ada bocah-bocah penjual makanan dan kita kepengin beli dagangannya, mereka bisa disapa dengan sebutan “diak” (adiak/adek).
#2 Kata-kata penyambutan
Kata-kata penyambutan yang biasanya diucapkan sang pedagang ketika kalian lewat di depan kiosnya, antara lain seperti ini.
“Masuaklah. Apo bali? Apo caliak?” Artinya, Mampirlah. Mau beli apa? Apa yang dicari?
Kalian bisa langsung menjawab barang apa yang sedang dicari. Kalau sekadar window shopping bisa menjawab dengan, “Caliak-caliak se dulu bu, lai buliah?” Maksudnya, boleh lihat-lihat dulu ya bu?
Selain kalimat sapaan tersebut, kadang ada juga beberapa kalimat lain seperti, “Buliah caliak-caliak.” Artinya, boleh (silakan) lihat-lihat (dulu barang-barangnya di dalam).
Ada juga yang terdengar agak ekstrim buat turis, yaitu, “Baoklah karupuak ko.” Sepintas terdengar, “Bawalah karupuak (kerupuk) ini.” Hati-hati gagal paham. Maksudnya, sang penjual kerupuk bukannya menyuruh kalian membawa (dalam bahasa Minang disebut “baok”) pulang barang dagangannya for free, lho. Tapi ya menawari supaya kita membeli kerupuknya. Bawalah (pulang), tapi (teteuuup) bayar!
#3 Proses tawar-menawar
Barang sudah menarik hati, next step-nya nanya harga, dong. Hal ini yang biasanya justru bikin saya deg-deg-an. Kadang saya suka suuzan sendiri sih, jangan-jangan bakal dikasih harga mahal istimewa gara-gara tampangnya “non lokal”?
Untuk meminimalisir hal itu, lupakan dulu nasionalisme berbahasa Indonesia sesuai PUEBI. Lebih baik kalian bertanya seperti ini saja, “Bara ko buk?” Artinya, berapa (harga barang) ini, Bu? Atau bentuk lainnya, “Bara ciek, Buk?” Artinya, berapa (harga) satu (unit)nya, Bu?
Buat kalian yang hobi nawar, bisa dilanjutkan dengan kalimat, “Kurang lai ndak haragonyo, Buk?” Artinya, bisa kurang lagi nggak, Bu, harganya?
Biar lebih mantep lagi, bisa ditambahkan juga, “Harago wak (awak) samo wak (awak), lah!” Arti slenge’annya, harga “temen”, lah!
Oh ya, tawar-menawar seperti ini lazimnya dipakai untuk transaksi produk kebutuhan sehari-hari seperti baju, makanan, tilakuang (mukena), kain songket, dan sejenisnya. Tapi, di beberapa daerah di Bumi Minangkabau ini, ada tradisi unik terkait tawar-menawar yang disebut Marosok.
Jadi, dalam tradisi Marosok, pembeli dan penjual melakukan tawar-menawar harga dengan menggunakan isyarat jari-jari tangan. Jari tangan ini dimasukkan ke dalam sarung/kain/baju. Tujuannya untuk mencegah campur tangan dari pihak lain. Hanya pedagang dan pembeli itu saja yang tahu. Tapi, jangan pakai tradisi ini untuk nawar baju atau kain di pasar, ya karena Marosok biasanya dilakukan di pasar ternak, untuk menawar sapi!
#4 Mengenal bilangan harga
Ada baiknya kalian juga mengenal bilangan lain dalam bahasa Minang selain ciek-duo-tigo (penyebutan angka satu, dua, dan tiga) yang legendaris itu. Untuk angka satu sampai sepuluh itu disebutnya ciek, duo, tigo, ampek, limo, anam, tujuah, lapan (salapan), sambilan, dan sapuluah.
Sementara nilai belasan disebut sebagai “baleh”. Misalnya, sebelas disebut sabaleh, dua belas disebut duo baleh, tiga belas disebut tigo baleh, dan seterusnya.
Untuk nilai puluhan, disebutnya “puluah”. Misalnya duo puluah, tigo puluah, ampek puluah, dan seterusnya. Sementara nilai ratusan diucapkan “ratuih”.Misalnya, saratuih atau duo ratuih. Untuk satuan yang lebih tinggi lagi, yaitu ribuan, penyebutannya tidak berbeda. Tetap diucapkan “ribu”, hanya angka depannya saja yang menyesuaikan. Misalnya, saribu (kadang ada yang menyebut saibu atau sibu), duo ribu, tigo ribu, dll. Ingat, bukan duo ribo atau tigo ribo, yaaa! Bisa ketauan nanti Minang KW-nya!
Terakhir, jangan lupa membalas ucapan “tarimo kasih” (terima kasih) dengan ucapan “samo-samo” (kembali, sama-sama). Begitu, untuk sopannya.
Mudah-mudahan panduan singkat ini bisa membantu kalian ketika berencana ngabisin pitih (duit) di kota tempat tinggal saya ini. Happy shopping, semoga sukses!