Sebenarnya saya tidak ingin mengangkat hal ini ke publik, takut dikira merendahkan polisi. Saya cuma penasaran, apakah kalian lapor ke “orang pintar” lebih dahulu kalau kemalingan? Di desa saya terbiasa seperti itu soalnya.
Saya tinggal di salah satu desa di Jawa Timur. Saya terkesima dengan tradisi desa yang mampu bertahan di tengah cepatnya perkembangan zaman. Misalnya saja, warga yang sangat percaya pada “orang pintar” atau yang biasa disebut dengan “wong pinter”.
“Orang pintar” adalah istilah bagi seseorang yang memiliki kemampuan lebih. Mereka memiliki anugerah tertentu, seperti memprediksi dan mengetahui hal-hal yang biasanya tidak diketahui banyak orang. Oleh karena itu, ketika ada kemalingan, warga desa kerap meminta bantuan “orang pintar” untuk mencari maling atau menemukan barang yang sudah raib.
Tugas “orang pintar” di desa saya memang mirip dengan tugas polisi. Awalnya saya merasa aneh kok orang-orang di desa lebih percaya kepada “wong pinter” daripada polisi. Setelah menjadi korban kasus kemalingan, saya baru paham betul alasannya.
Ini pengalaman pribadi saya sebagai korban ya. Tentu pengalaman itu tidak bisa menjadi tolok ukur untuk pelayanan polisi pada umumnya.
Daftar Isi
Pelayanan yang mengecewakan
Polisi punya jargon yang mantap yaitu mengayomi masyarakat. Namun, apa yang saya rasakan justru jauh dari jargon itu. Saya merasa, polisi tidak mengayomi ketika memproses kasus kemalingan. Kalau boleh membandingkan, pelayanan “orang pintar” jauh lebih baik. Waktu itu ya, nggak tahu kalau sekarang.
Bagaimana saya nggak berkata demikian? Saya yang sedih bukan kepalang karena Motor yang saya parkir di depan warung tempat saya bekerja dimaling orang. Saya langsung datang ke kantor polisi untuk melaporkan kasus itu. Harapannya, polisi mau membantu mencari pencuri dan motor saya yang mungkin saja belum terlalu jauh dari lokasi kejadian.
Respon dari polisi yang menerima laporan membuat saya benar-benar patah hati. Polisi itu mengatakan, “Mas dateng ke sini lagi besok, bawa KTP, BPKB, dan STNK. Saya sendiri, yang lain juga masih ke luar kota.” Di tengah perasaan saya yang kalut, polisi itu sama sekali tidak melontarkan kalimat yang membuat tenang. Bahkan, saya tidak dipersilahkan masuk untuk menjelaskan kejadiannya. Saya hanya berdiri di depan pintu dan diminta kembali esok hari. Sungguh!
Lapor ke polisi tekor, lapor “orang pintar” cuma sebungkus rokok
Polisi yang baik dan berintegritas memang banyak, tapi tidak sedikit juga yang butuh uang pelicin. Itu mengapa banyak orang di desa saya tidak menjadikan polisi sebagai opsi utama ketika kemalingan. Mereka beranggapan lapor polisi akan lebih tekor daripada mendatangi “wong pinter”.
Padahal “wong pinter” juga belum tentu berhasil menangkap maling. Hanya saja, warga desa lebih puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan “wong pinter”. Respon mereka terdengar lebih solutif. Misalnya saja, menyarankan menelusuri wilayah tertentu, memprediksi malingnya adalah kawan sendiri, ataupun pencuri yang belum jauh dari lokasi kejadian.
Percaya tidak percaya, saran-saran itu biasanya tepat. Kalaupun tidak tepat, warga desa hanya kehilangan sebungkus rokok. “Halahh… nggak usah ke polisi, ke Mbah Jono saja bawa rokok Gudang Garam,” begitu kata beberapa tetangga. Mereka selalu mengatakan hal yang sama ketika mendengar kabar seseorang yang kemalingan akan melapor ke polisi.
Lapor polisi ribet, “wong pinter” lebih satset
“Orang pintar” jadi orang paling cekatan alias satset ketika mendengar berita kehilangan. Apalagi kalau korbannya mendatangi mereka secara langsung. Bahkan, tidak jarang mereka ikut mencari saat itu juga. Pengalaman ini saya rasakan sendiri ketika motor saya hilang.
Saya masih ingat betul, waktu itu sudah larut malam, saya memutuskan meminta bantuan “wong pinter” di desa. “Wong pinter” itu langsung merespon bantuan saya. Bahkan, dia langsung ikut mencari motor. Terlepas ditemukan atau tidak, saya sebagai korban merasa lebih tenang karena ada usaha cekatan yang terlihat. Tidak sekadar menahan saya di depan pintu dan meminta datang kembali esok hari.
Mungkin itu beberapa alasan mengapa orang-orang desa lebih banyak mengandalkan “orang pintar” untuk kasus kemalingan. Apakah di luar desa saya juga ada kebiasaan lapor “orang pintar” dahulu baru polisi? Kalau iya, mungkin bisa dipertimbangkan “orang pintar” ikut dapat gaji dari pemerintah seperti polisi.
Penulis: Muhammad Mundir Hisyam
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Ketika Warga Surabaya Mulai Tak Percaya Polisi dan Dukun
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.