Menjadi miskin bukanlah sesuatu yang diimpikan oleh banyak orang. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari hidup miskin. Kalau miskin bisa dianggakan, mungkin negara kita tidak akan berusaha menjadi negara maju.
Hampir tidak pernah ada kasus yang memperlihatkan bagaimana kemiskinan diagung-agungkan dalam kisah kehidupan abad 21. Selama ini kemiskinan hanya dijadikan reality show untuk dipertontonkan bagaimana sedihnya menjadi miskin. Kalau pun ada cerita-cerita yang menggambarkan miskin dengan kebahagiaan, biasanya selalu dipadukan dengan penerimaan agama. Sungguh apa yang dibilang Marx bahwa “agama adalah candu” sesuatu yang masih relevan.
Ironisnya kemiskinan malah jadi musuh negara. Buktinya, pemerintah lebih suka menggusur pemukiman kumuh yang merupakan rumah orang-orang miskin dibanding dengan melakukan pemeliharaan atau revitalisasi pemukiman kumuh. Dan sampai sekarang bisa kita lihat kalau tidak ada langkah jelas untuk membenahi kemiskinan selain melakukan peminggiran.
Yang lebih parah, untuk menjadi miskin saja, di negara ini perlu memiliki legalitas berupa Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Tanpa SKTM, orang tidak bisa mengakses bantuan dari negara yang sebenarnya hak mereka. Padahal, tidak semua orang bisa mengakses SKTM. Banyak orang yang benar-benar miskin tidak punya kartu identitas dan KK. Tidak adanya kartu identitas sama artinya kehilangan haknya sebagai warga negara. Maka kaum miskin ini sebenarnya sudah dimiskinkan kembali secara sistematis oleh negara. Sudahlah tidak diakui negara, tidak dapat mengakses jaminan sosial negara, jaminan kesehatan negara, masih juga dipinggirkan. Akhirnya, SKTM pun lebih banyak diakses oleh kelas menengah yang sebenarnya tidak layak mendapatkan bantuan.
Negara memang gagal mendefinisikan arti miskin. Sehingga persoalan miskin ini dianggap hanya berasal dari satu sumber saja yaitu ekonomi. Padahal miskin dapat disebabkan banyak penyebab, mulai dari masalah ekonomi, sosial, politik hingga hukum dan sebenarnya itu ada dalam Undang-undang tentang penanganan fakir miskin.
Saya mengerti, mengapa negara meminta bukti seperti KTP dan SKTM dalam pemberian hak-hak warga miskin. Hal ini untuk meminimalisir terjadinya penipuan atau takut ada warga miskin negara lain yang menyusup masuk dan menjadi warga negara Indonesia. Maklum saja Untuk menjadi warga negara, seseorang tidak hanya memperlihatkan kulit sawo matang dan berbahasa daerah khas yang terdaftar di Indonesia.
Sebagai orang yang aktif di organisasi masyarakat sipil dalam pendampingan hukum perempuan dan anak. Saya dan teman-teman selalu mengatakan, perempuan yang memiliki profesi pekerja seks selalu menjadi penggambaran miskin yang sempurna. Sudahlah mendapatkan stigma, stereotype, tidak jarang kekerasan seksual, hidup tidak layak juga tidak memiliki KTP.
Pernah seorang pekerja seks datang ke kantor kami, mengadu karena mengalami kekerasan. Laporannya Ditolak di kepolisian karena tidak memiliki KTP. Banyaknya kasus pekerja seks, kawan-kawan transgender dan kaum marjinal yang tidak dilayani laporan hukumnya hanya karena tidak memiliki KTP. Kami pun mengalami kebingungan, karena untuk mengakses bantuan hukum seseorang membutuhkan SKTM, yang artinya dibutuhkan juga KTP untuk mendapatkannya.
Secara tidak langsung, pemerintah sebenarnya telah alpha dan dengan sengaja menghilangkan hak dasar warga negara seseorang karena ketiadaan KTP. Belum lagi susahnya untuk membuat kembali kartu identitas itu saat ini.
Penyebab seseorang tidak memiliki KTP beragam. Beberapa kali pendampingan kami selalu disuguhkan dengan banyaknya perempuan desa korban human trafficking yang kabur dari penyalurnya. Sedangkan semua identitasnya dipegang oleh sang penyalur. Pada teman-teman transgender, Ketiadaan KTP terjadi ketika mereka memilih kabur dari rumah karena keluarga tidak bisa menerima pilihan mereka tentang gender. Dan masih banyak kasus lainnya.
Tidak sulit sebenarnya membuat kartu identitas, tetapi selalu ada alasan yang tepat menggambarkan negara harus hadir dengan atau tanpa melihat KTP. Padahal miskin bukan hanya soal isi perut, pakaian dan pemukiman. Tapi lebih dari itu miskin juga bagian terdiri sosial, politik dan hukum. Dan sampai saat ini belum ada mekanisme yang dapat membantu kaum marjinal tanpa KTP untuk mengakses SKTM, sehingga dapat dipenuhi hak-hak dasarnya sebagi warga negara.
Sementara itu baik pemerintahan dan gerakan rakyat, masih bergerak atas isu-isu populis nan elitis. Sedikit orang yang menyadari bahwa isu seorang pekerja seks, transgender ataupun kaum marjinal lainnya yang tidak memiliki KTP, sulit untuk mengakses legalitas formil negara itu. Selama kita masih fokus pada hal-hal populis, selalu ada orang yang lapar sambil berteriak dan menangis.
BACA JUGA Katanya Mau Mengentaskan Kemiskinan, kok Malah Ngurusin Soal Nikah? atau tulisan Yazid Fahmi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pengin gabung grup WhatsApp Terminal Mojok? Kamu bisa klik link-nya di sini.