Orang Kota Bilang Rumah Dekat Sawah Enak. Belum Ngerasain Aja Menghirup Asap Pembakaran Sawah!

Orang Kota Bilang Rumah Dekat Sawah Enak. Belum Ngerasain Menghirup Asap Pembakaran Sawah!

Orang Kota Bilang Rumah Dekat Sawah Enak. Belum Ngerasain Menghirup Asap Pembakaran Sawah! (Unsplash.com)

“Enak banget, Bro, rumah kamu dekat sawah. Kiri kanan pemandangannya ijo-ijo semua,” kata seorang kawan yang kakinya belum pernah kena arit dan bersih tak ternodai lumpur sawah. Woy, lu orang kota mah enak ngomongnya. Lha, saya yang sudah puluhan tahun hidup di daerah persawahan blas nggak ngerasain enak.

Kalian kira tinggal di dekat sawah itu seenak apa yang ditampilkan sinetron? Sejuk, rindang, angin sepoi-sepoi, hanya warna hijau sejauh mata memandang, hanya suara jangkrik yang terdengar? Kalau kalian cuma tinggal sehari atau dua hari di daerah persawahan sih enak, tapi coba tinggal puluhan tahun kayak saya. Yakin deh, kalian bakal sambat nggak karuan.

Saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang tinggal di Gresik, Jawa Timur, yang merasakan betapa nggak enaknya punya rumah dekat sawah. Jawa Timur memang jadi lumbung padi nasional. Kalau kata BPS, produksi padi di Jatim pada 2020 mencapai 9,94 juta ton, atau kalau dibagikan ke seluruh rakyat Indonesia, masing-masing dapat sekitar 36 kilogram. Tapi predikat itu nggak selalu menjadi kabar baik, hidup di lumbung padi nasional itu nggak seenak tinggal di gedung pencakar langit.

Punya rumah dekat sawah harus siap dengan asap pembakaran lahan

Nggak enaknya tinggal di daerah persawahan itu dapat ditemui ketika musim kemarau tiba. Tepatnya ketika petani beristirahat menanam padi karena tak ada lagi air hujan, ketika sisa-sisa potongan padi masih tertancap di tanah. Nah, di saat itulah, sebelum pembajakan sawah di musim hujan yang akan tiba, biasanya petani membakar lahan sawahnya untuk membersihkan sisa-sisa potongan padi. Dan itu dilakukan hampir semua petani di daerah saya.

Hampir setiap hari pasti ada petani yang melakukan pembakaran sawah di musim kemarau. Coba kalian bayangkan, berapa banyak polusi yang diciptakan atas ratusan bahkan ribuan hektare sawah yang melakukan pembakaran. Berapa banyak arang ringan hasil pembakaran sisa padi yang betebangan di udara, bahkan memasuki rumah. Tahu sendiri kan, angin di musim kemarau itu kenceng banget yang secara nggak sopan seenaknya membawa kotoran betebangan.

Mohon maaf ya, jika dibandingkan debu jalanan yang masuk ke toko saya, lebih banyak arang padi yang bertebangan masuk ke toko saya yang belakangnya udah full sawah. Bahkan arang padi yang beterbangan ini masuk ke cela-cela mesin fotokopi saya. Saking banyaknya, saya sampai bisa menyapu toko tiga hingga empat kali sehari. Kasur dan bantal pun tak luput dari arang padi ini.

Coba bayangkan gimana kalau arang padi itu masuk hidung dan “menginap” di paru-paru orang. Jadi, selain pembakaran hutan, di musim kemarau di daerah saya, pembakaran lahan sawah juga menjengkelkan.

Angin kencang jadi momok warga yang punya rumah dekat sawah

Seperti yang saya katakan, angin kencang adalah sesuatu yang tak terhindarkan bagi mereka yang punya rumah dekat sawah. Mengapa angin kencang lebih banyak ditemui di daerah seperti ini? Jawabannya sederhana, karena di daerah persawahan nggak ada objek atau benda yang menghalangi atau memecah angin kencang. Berbeda dengan di kota yang banyak gedung pencakar langit, sehingga angin nggak sampai kencang sudah keburu kebentur tembok gedung.

Angin yang katanya sepoi-sepoi menyejukkan adalah mitos belaka di daerah persawahan. Saya hanya menemui angin kencang yang justru sangat membahayakan. Di musim kemarau, angin kencang bercampur dengan hawa yang super panas. Ibaratnya, angin tersebut datang dari mulut iblis yang bersumber dari neraka langsung. Jadi, boro-boro mengulap keringat, angin itu justru memanggang kami yang tinggal di dekat sawah.

Itu di musim kemarau, kalau di musim penghujan lebih parah lagi. Angin kencang bercampur dengan mendung, air, dan petir yang menggelegar. Udah seperti Zeus mengamuk di desa kami. Bahkan saking parahnya, tak sedikit bambu belakang rumah menimpa rumah warga. Beneran deh kalau dibayangin rasanya kayak mau kiamat.

Tanah liat berserakan di jalan

Nggak hanya angin kencang yang super menakutkan ketika musim hujan tiba. Di momen seperti itu, punya rumah dekat sawah berarti bakal menemui banyak tanah liat berceceran di jalanan. Kalau seukuran debu gitu nggak papa, lah ini udah seperti bongkahan meteor yang berserakan di tengah jalan.

Banyak faktor kenapa tanah-tanah di sawah itu naik ke jalanan. Mulai dari sepeda motor dari sawah yang langsung naik ke jalan, traktor yang habis dari sawah langsung menginjak jalanan, mesin perontok dari sawah yang langsung ke jalanan, hingga truk-truk yang habis mengeruk sawah kemudian langsung mengotori jalanan. Intinya, jalanan di daerah persawahan itu nggak ada yang bersih seperti di kota, pasti ada tanah lumpur yang menghiasinya.

Ini bukan soal sepele. Di desa nggak ada petugas pembersih jalanan, sehingga bongkahan tanah liat itu akan tetap ada dan nggak akan hilang kecuali tersapu aliran air hujan. Tentu saja ini sangat berbahaya bagi pengendara yang melintas.

Punya rumah dekat sawah berarti harus berteman dengan jalanan yang hancur lebur

Nggak hanya persoalan tanah liat, jalanan di daerah persawahan juga berbahaya karena hancur lebur. Banyak jalanan yang rusak, berlubang, bahkan tak sedikit yang belum beraspal. Semua ini bukan cuma karena pemerintah setempat yang abai dengan pembangunan jalan di daerah persawahan, melainkan juga karena di daerah itu nggak sedikit kendaraan berat pengangkut padi berseliweran.

Mulai dari pick up dan truk yang mengangkut padi berlebihan hingga traktor bergigi lancip yang rodanya nggak diberi pelindung sehingga merusak jalanan. Semua kendaraan itu sangat merusak jalanan yang rapuh, yang dibangun dari uang sisa proyek akhir masa jabatan pemerintah. Jalanan yang rusak semacam ini tentu membahayakan, nggak hanya bagi nyawa pengendaranya, tapi juga reputasi dari para pemimpin daerahnya.

Bekas perontokan padi yang berhamburan

Jadi, selain tanah liat dan bobroknya jalanan, saya sering banget melihat jalanan dekat rumah dipenuhi batang padi yang berserakan kalau sedang musim panen di sawah. Bekas batang padi ini bersumber dari hasil merontokkan padi, khususnya yang menggunakan mesin klasik yang mana pembuangannya nggak bisa dikondisikan.

Banyak petani yang abai dengan bekas perontokannya. Mereka nggak memperhatikan berhamburan ke mana bekasnya. Kalau sawahnya jauh dari jalanan sih nggak masalah, tapi kalau sawahnya berada di nol jalan ini yang justru memperkeruh pemandangan jalanan rusak. Lubang di jalan jadi nggak kelihatan gara-gara tertutup batang padi yang berserakan.

Jadi, plis jangan meromantisasi bahwa punya rumah dekat sawah itu menyenangkan dan menyejukkan hati kayak di film-film. Kami di sini justru hidup sebaliknya, penuh tantangan dan harus melewati berbagai macam kepahitan.

Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Pengalaman Saya 18 Tahun Tinggal di Depan Sawah.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version