Orang Bali Sulit Menikmati Wisata di Tanah Kelahirannya Sendiri

Orang Bali Sulit Menikmati Wisata di Tanah Kelahirannya Sendiri kuliah di bali

Orang Bali Sulit Menikmati Wisata di Tanah Kelahirannya Sendiri (Unsplash.com)

Siapa yang nggak kenal Bali? Salah satu pulau di gugusan kepulauan Sunda kecil ini memiliki segudang pesona. Pesona alam dan budaya masih menjadi primadona utama penikmatnya. Tebaran objek wisata alam dan budaya, hotel berbintang, resor mewah, vila, bar, club, dan tempat-tempat kebudayaan lain yang mendukung wisata Bali seakan menjadi daya tarik abadi.

Akan tetapi di balik semua itu, pernah kepikiran nggak, apakah orang yang lahir, tinggal, dan bekerja di Bali pernah menikmati tempat ini selayaknya wisatawan yang berwisata ke Pulau Dewata? Ke mana orang Bali pergi liburan saat musim liburan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin sering terdengar, tapi jawabannya yang jarang kedengaran. Atau malah jawabannya masih rancu.

Sebenarnya, banyaknya objek wisata tak serta merta menggugah minat masyarakat Bali secara keseluruhan untuk berwisata. Pulau Dewata memang menawarkan wisata budaya, tapi tak semua komponen masyarakatnya memiliki budaya berwisata. Oleh karena itu, jika ditanya, apakah orang Bali menikmati tanah kelahirannya sebagai tempat untuk berwisata, jawabannya adalah nggak sepenuhnya. Bahkan orang sini sulit menikmati tanah kelahirannya sendiri untuk berwisata.

Kebiasaan dan keseharian orang Bali

Ada beberapa alasan mengapa orang Bali justru sulit menikmati Pulau Dewata sebagai tempat wisata. Faktor pertama adalah kebiasaan dan kegiatan keseharian orang Bali. Secara umum, mayoritas orang Bali yang tinggal di sini beragama Hindu Bali. Agama Hindu ini identik dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang berkolaborasi dengan kegiatan adat. Sehingga kadang sulit membedakan mana kegiatan atau upacara adat dan mana kegiatan atau upacara agama.

Upacara keagaamaan dan adat tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan hari baik atau yang lumrah disebut rahinan di kalangan masyarakat Bali. Rahinan tersebut ditentukan berdasarkan sistem penanggalan kalender Bali. Rahinan mewajibkan masyarakat Hindu Bali untuk melaksanakan ritual-ritual tertentu sesuai dengan jenis Rahinannya. Intinya, ajaran agama dan ketentuan adat mewajibkan masyarakat untuk melaksanakan upacara-upacara tertentu.

Upacara, ritual, dan persembahan bahkan dilaksanakan setiap hari oleh sebagian besar masyarakat. Nah, karena disibukkan dengan kegiatan upacara, ritual, dan persembahan tersebut, banyak orang Bali yang kekurangan waktu untuk me time khususnya untuk berwisata. Dengan kata lain, mereka sulit menikmati wisata di pulaunya sendiri karena kebiasaan dan kegiatan keseharian mereka.

Kondisi ekonomi masyarakat di Pulau Dewata

Alasan kedua adalah kondisi ekonomi masyarakat Bali. Keadaan ekonomi memang memengaruhi seseorang untuk berwisata karena berwisata memerlukan biaya. Keadaan ekonomi masyarakat di Pulau Dewata sangat beragam, ada golongan menengah atas dan golongan menengah bawah.

Untuk masyarakat dari golongan menengah atas nggak perlu diragukan lagi kemampuannya. Sudah pasti mereka dapat menikmati dan mengikuti tren wisata di pulau ini. Golongan menengah atas bahkan sudah menjadwalkan hari-hari tertentu untuk berlibur ke beberapa destinasi wisata di Pulau Dewata.

Keadaan tersebut tentu berbeda dengan golongan menengah bawah. Golongan ini cenderung jarang, atau bahkan nggak pernah menjadwalkan waktu untuk beriwsata. Hal ini berkaitan dengan faktor yang pertama, kewajiban adat dan agama membuat masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu untuk membagi pendapatan mereka untuk keperluan adat dan agama. Oleh karena itu, masyarakat yang ekonominya tergolong menengah bawah nggak memiliki dana lebih untuk berwisata.

Kebijakan wisata yang nggak berpihak pada masyarakat lokal

Alasan ketiga adalah kebijakan objek wisata. Menurut saya, kebijakan pariwisata di Pulau Dewata nggak berpihak bagi masyarakat lokal Bali yang notabene adalah pemilik tanah itu sendiri. Objek-objek wisata di sini masih banyak yang mematok tarif tinggi untuk warga lokalnya sendiri.

Sebagai contoh, objek wisata Garuda Wisnu Kencana (GWK). Objek wisata ikonik tersebut harusnya bisa memberikan harga khusus yang merakyat bagi masyarakat lokal. Hal ini tentu ada alasannya. Selain memberi kesempatan bagi masyarakat Pulau Dewata untuk menikmati keindahan tanah kelahirannya, masyarakat juga nggak perlu merasa malu dan canggung ketika berkunjung ke luar Bali dan ditanya-tanya mengenai objek wisata di Pulau Dewata. Intinya, supaya nggak ada kata-kata semacam, “Masa orang Bali nggak pernah ke GWK?”

Sebagai warga lokal, saya berharap semoga ke depannya kebijakan-kebijakan pariwisata di Pulau Dewata semakin memihak pada warga lokal. Perubahan itu setidaknya dapat mengubah citra orang Bali sulit menikmati tanah kelahirannya sendiri.

Masyarakat Bali adalah salah satu agen untuk promosi wisata Pulau Dewata, baik secara langsung maupun nggak langsung. Walaupun namanya sudah terkenal ke seluruh dunia, pulau ini juga masih memerlukan agen promosi wisata. Agen promosi wisata tentunya harus mengenal situasi dan kondisi tempat wisata yang dipromosikannya.

Nggak hanya bertugas mempromosikan pariwisata, agen promosi wisata juga harus mampu menjaga keberlanjutan pariwisata dan mengembangkan destinasi serta pengalaman-pengalaman baru berwisata khususnya di Bali. Makanya orang Bali perlu diberi kesempatan khusus untuk mengunjungi dan menikmati gemerlapnya dunia pariwisata di tanah kelahirannya.

Penulis: Ida Bagus Weda Wigena
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Stop Glorifikasi Kerja di Bali, Nyatanya Nggak Seindah yang Dibayangkan Orang.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version