Oppenheimer, Karya Christopher Nolan yang Paling Meledak

Oppenheimer, Karya Christopher Nolan yang Paling “Meledak”

Oppenheimer, Karya Christopher Nolan yang Paling Meledak (Instagram Oppenheimer Movie)

Saat ini saya sedang libur semesteran. Untuk mengisi waktu luang, kemarin saya memutuskan untuk pergi ke bioskop dan menyaksikan sebuah film yang sedang ramai dibahas, Oppenheimer.

Sebelum filmnya diputar, sejujurnya saya menaruh ekspektasi tinggi pada karya sinema berdurasi 3 jam ini. Dan ketika filmnya selesai saya tonton, saya beruntung karena nggak dikecewakan oleh tingginya ekspektasi. Bagi saya, Oppenheimer adalah sebuah film yang sangat epik dan layak disebut sebagai karya Christopher Nolan—sutradara dari film tersebut— yang paling “meledak”.

Akting jempolan para pemeran Oppenheimer

Oppenheimer merupakan film biografi dari sosok J. Robert Oppenheimer, sang bapak penemu bom atom. Di film ini, tokoh tersebut diperankan oleh Cillian Murphy, aktor yang sudah sering berkolaborasi dengan Christopher Nolan.

Sebagai pemeran dari seorang tokoh terkemuka, Murphy dituntut untuk mampu menyuguhkan performa terbaiknya. Pasalnya, jika ia gagal melakukan itu, Oppenheimer pasti akan menjadi sebuah karya layar lebar yang mengecewakan nggak peduli sebagus apa pun naskah, sinematografi, scoring, dll.

Beruntungnya, Cillian Murphy berhasil menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang aktor jempolan. Ia betul-betul bertransformasi menjadi Oppenheimer selama 180 menit waktu pemutaran film ini. Lelaki 47 tahun itu mampu menampilkan berbagai karakter dalam diri Oppenheimer yang membuat saya merasa simpati dengannya.

Saya dapat merasakan kebimbangan Oppenheimer tatkala menciptakan suatu penemuan mutakhir yang dapat digunakan sebagai senjata berbahaya. Saya dapat merasakan sisi-sisi humanisnya ketika harus melewati rumitnya kehidupan sebagai seorang ilmuwan, politisi, maupun laki-laki biasa yang mencintai dua wanita sekaligus dan terjebak dalam ideologi sayap kiri. Singkatnya, dari segi akting, Cillian Murphy adalah yang paling menonjol dibandingkan aktor-aktor lainnya yang terlibat di film ini.

Meskipun begitu, apresiasi juga patut diberikan kepada Robert Downey Jr. dan Matt Damon. Menurut saya, penampilan keduanya juga tak kalah menarik.

RDJ dalam Oppenheimer sama sekali nggak terlihat seperti Tony Stark. Ia berhasil keluar dari image Iron Man yang sudah begitu melekat padanya. Begitu pula Matt Damon yang saya rasa cocok sekali memerankan karakter Leslie Groves. Di sebuah film yang dipenuhi oleh ilmuwan dan orang-orang cerdas, kehadiran Groves dapat menjadi “penengah” dengan sikap tegasnya yang “militer banget”. Entah mengapa, saya sangat suka dengan tokoh tersebut.

Scoring, editing, dan sinematografi kelas atas

Selain akting para pemain, aspek lainnya dari Oppenheimer yang menarik perhatian saya adalah scoring dan sinematografinya. Dengan sound system di ruang bioskop yang begitu memadai, saya jadi dapat menikmati setiap efek suara yang ditampilkan dalam film ini dengan maksimal.

Menurut saya, Ludwig Göransson, sebagai sosok yang ditugaskan Nolan untuk menggubah musik di film ini, telah berhasil melaksanakan tugasnya dengan sangat baik. Banyak sekali momen di mana penonton makin dapat merasakan ketegangan dari suatu adegan karena faktor musik pengiring yang sungguh mendukung adegan-adegan tersebut.

Hal yang sama juga terjadi pada faktor editing dan sinematografinya. Keputusan Nolan untuk menggunakan unsur hitam-putih dalam adegan-adegan tertentu membuat Oppenheimer jadi makin berkesan di mata penonton. Saya memandang hal tersebut sebagai sebuah metode unik dalam penceritaan atau storytelling di sebuah karya sinema.

Ditambah sinematografi yang juga berkelas, Oppenheimer menjelma menjadi sebuah film yang elegan dalam menuturkan kisahnya. Durasi 3 jam takkan terasa lama jika dihabiskan dengan menikmati setiap detail-detail tersebut.

Tanpa CGI

Christopher Nolan adalah salah satu sutradara favorit saya. Salah satu alasan mengapa saya menggemari hasil kerja dari sutradara kelahiran London itu adalah kebiasaannya untuk nggak menggunakan CGI di film-filmnya. Hal itu pun kembali ia ulangi di Oppenheimer, tak peduli meskipun film tersebut berkisah mengenai bom atom. Makanya saya memaknai hal ini sebagai sebuah bentuk “protes” terhadap film-film zaman sekarang.

Di tengah gempuran “film komputer” dengan efek visual yang bertebaran di banyak adegan, Nolan malah mengambil jalan lain. Ia tetap setia pada ideologinya untuk semaksimal mungkin menciptakan film yang “nyata”, yang nggak “membohongi” para penontonnya dengan efek hasil kreasi komputer canggih.

Saya benar-benar mengapresiasi hal tersebut di Oppenheimer. Saya salut dengan kepiawaian dan kegigihan Nolan beserta semua kru yang terlibat untuk meminimalisir penggunaan efek komputer. Jadi, tak usah heran mengapa efek-efek ledakan di film berbujet 100 juta USD ini terlihat begitu riil. Ya, karena memang semua itu diciptakan secara nyata. Hehehe.

Bukan tipikal film yang mudah dicerna

Mulanya, saya berpikir bahwa Oppenheimer akan mempunyai kemiripan dengan The Imitation Game, sebuah film biografi dari sosok Alan Turing. Penonton akan ditunjukkan bagaimana awal mula kehidupan seorang tokoh hingga ia dapat menjadi ilmuwan cerdas yang akan membantu negaranya dalam memenangkan perang.

Ya, secara keseluruhan, kedua film tersebut memang memiliki kemiripan dari topik yang diangkat. Namun menurut saya, gaya penceritaan Oppenheimer jauh lebih kompleks dari apa yang disajikan di The Imitation Game.

Oleh sebab itu, saya menggolongkan Oppenheimer ke dalam tipikal film yang sulit dicerna. Judul yang satu ini bukanlah jenis film yang layak ditonton bersama keluarga demi mendapatkan hiburan dan kesenangan belaka. Nggak ada adegan-adegan aksi menegangkan ataupun deretan jokes pengocok perut seperti yang kerap ditampilkan dalam film-film golongan “mudah dicerna”.

Oppenheimer adalah sebuah film yang serius. Dialog-dialognya cukup berat dan pasti akan membuat kalian bingung jika kalian menontonnya dalam kondisi nggak konsentrasi.

Untuk para penggemar karya-karyanya Christopher Nolan, hal semacam ini tampaknya nggak menjadi sesuatu yang mengherankan. Akan tetapi, bagi para penonton awam, “keseriusan” dalam film ini mungkin akan menjadi salah satu faktor yang membuat mereka nggak begitu dapat menikmati Oppenheimer.

Oppenheimer adalah karya Nolan yang paling meledak

Sedikit saran dari saya, sebaiknya kalian menyaksikan film ini dengan mood yang betul-betul pas; nggak sedang dalam keadaan terburu-buru, kelaparan, menahan pipis, serta kondisi-kondisi kurang nyaman lainnya. Sebab, kalau nggak seperti itu, saya yakin kalian pasti akan termasuk ke dalam golongan orang yang nggak menyukai Oppenheimer.

Bagi saya, Oppenheimer adalah karya Nolan yang paling meledak, apalagi ketika disaksikan secara langsung di bioskop. Rasanya tak berlebihan kalau secara keseluruhan, film ini layak mendapat rating 4.4/5.

Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Dunkirk dan Dua Problem Kambuhan Nolan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Skor Review 5/5

Oppenheimer

4.4 SKOR

Sebuah film karya Christopher Nolan. Menceritakan kisah fisikawan Amerika Serikat bernama J. Robert Oppenheimer yang mengembangkan bom atom.

Kelebihan

  • Akting
  • Sinematografi
  • Scoring

Kekurangan

  • Dialognya cukup berat

Detail Review

  • Cerita
  • Akting
  • Sinematografi
  • Scoring
Exit mobile version