Sebenarnya, mendapatkan uang receh yang diselotip per 10 keping itu kadang bikin kesal juga. Kalau selotipnya susah dilepas, padahal butuhnya cuma sekepingnya saja, benar-benar bikin berabe. Kadang bisa dilepas, sih, tapi terkadang bekas perekatnya juga masih ada. Kalau bertemu dengan debu dll, maka uang koin logam yang tadinya mulus bakal jadi jelek sekali.
Fun fact: ide menyelotip uang koin di Indonesia itu dari mana asalnya?
Meski kadang ada untungnya karena mempermudah menghitung jumlah uangnya, tetap saja menyelotip uang itu mengotori uang koin itu sendiri. Padahal ya bisa saja diplastiki atau dengan cara lain yang lebih ramah ke uangnya.
Meski uang receh, seharusnya tetap diperlakukan istimewa juga, layaknya uang seratus ribuan yang merupakan nilai uang tertinggi di kancah per-uang-an Indonesia. Jangan-jangan, meremehkan hal-hal kecil seperti ini jadi kebiasaan orang Indonesia, ya? Uhmm… ngaku saja siapa yang suka memandang sebelah mata uang receh? Mungkin karena alasan ini juga, pemerintah hanya mengeluarkan sedikit uang koin. Uang Indonesia lebih banyak uang kertasnya (8 macam) dibanding uang koinnya (4 macam), kan?
Tetapi ternyata, tidak hanya uang koin saja, lho. Terkadang uang kertas pun jadi korban dengan cara di-staples per sepuluh/dua puluh lembar. Katanya, biar tidak geser-geser. Padahal dilipat saja cukup kan, ya? Kalau diperhatikan dengan cermat, bekas staplesnya itu benar-benar bisa melubangi uang kertas itu sendiri, lho. Kadang kalau melepas staplesnya terlalu kasar, bisa jadi malah uangnya sobek. Duh.
Selain staples, mencoret-coret lembaran uang kertas juga dilakukan. Dulu, pas zaman ada uang lembar bergambar orang utan juga selalu jadi korban pencoretan. Nomor ponsel atau nama orang biasanya yang sering dicoretkan pada uang kertas. Dih, ndeso banget.
Padahal, sikap seperti itu bisa dikategorikan merusak uang, lho. Menurut pasal 35 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 ayat pertama menyebut bahwa setiap orang yang sengaja merusak, memotong, menghancurkan, dan mengubah nilai rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan rupiah termasuk tindakan pidana. Ada sih undang-undang perlindungan uang ini, tetapi tetap saja menyelotip, menyetaples, mencoret, melipat kasar, atau menguwel-uwel terus dijadikan bola seperti itu seakan menjadi hal yang biasa dilakukan di Indonesia.
Kenapa kita kurang bisa memperlakukan uang dengan baik dan santun, ya? Entah edukasinya yang kurang atau warga +62 itu memang kreatifnya kelewatan? Heran deh.
Jadi, ide menyelotip uang koin di Indonesia itu dari mana asalnya? Jawabnya ada di ujung langit.
Cerita tentang uang di Jepang
Di Jepang, nilai uang terkecil adalah uang koin 1 yen (setara Rp130) dan yang tertinggi adalah uang lembar 10.000 yen (sekitar Rp1,3 juta). Meski uang 1 yen ini kecil dan enteng, terkesan “remeh”, benar-benar masih digunakan di Jepang, kok. Ya iyalah. Ketika belanja 51 yen, ya kita harus membayar 50 + 1 yen itu juga. Ketika uang kembalian 83 yen, ya akan dikembalikan sejumlah itu juga. Pas. Tanpa diganti permen. Eh.
Bayangkan saja kalau belanja dan uang kembaliannya selalu receh, jadi menumpuk, deh. Terkadang merepotkan karena dompet jadi tebel, tapi tebelnya karena uang receh. Makanya, kebanyakan orang Indonesia sangat banyak uang recehnya ini. Orang Indonesia biasanya malas bawa uang koin dan dompet koinnya. Padahal ya tidak perlu malu juga, membawa dompet kertas dan dompet koin seperti Mr Hong di drakor Hometown Cha-cha-cha, kan biasa saja.
Mungkin karena kebiasaan meremehkan uang receh juga sih, jadinya terbawa sampai ke negeri orang. Kalau belanja selalu menggunakan uang bulat, tanpa mau memanfaatkan uang receh biar bisa pas gitu. Padahal kasir dan antrean orang Jepang itu sabarnya bisa minta ampun. Menunggu orang membayar pakai uang receh pun mereka mau. Di bus, sopir juga mau menunggu kita membayar dengan uang pas. Penumpang bus juga sabar-sabar saja.
Sejak kecil, anak Jepang selalu diajarkan untuk menghargai uang, meski 1 yen pun. Orang tua selalu memberitahu anaknya agar jangan meremehkan uang 1 yen karena tanpa 1 yen tidak akan ada 10.000 yen. Kalau uangnya kurang 1 yen, kita juga tidak jadi bisa makan dan beli mainan. Nah.
Anak kecil Jepang juga kalau diberi uang jajan biasanya berupa uang koin. Sebenarnya, di Jepang tidak ada kebiasaan memberi uang jajan saat ke sekolah. Tidak ada kang cilok dan kang es cendol yang jualan di sekitar sekolah karena mereka makan bekal atau disediakan sekolah. Mungkin alasan ini juga yang membuat anak Jepang jadi lebih menghargai uang karena tidak sedikit-sedikit minta uang jajan. Lagian, ibu-ibu Jepang sangat disiplin soal uang jajan ini.
Selain masalah uang koin dan uang jajan, orang Jepang juga santun memperlakukan uang. Tidak bakal ditemukan selotipan uang 1 yen sebanyak 10 keping untuk 10 yen. Atau 10 keping 500 yen yang bisa untuk belanja di Uniqlo. Ya sudah, uang koin itu nanti satu per satu bakal dihitung oleh kasirnya. Kalau diselotip justru malah merepotkan.
Lembaran uang kertasnya juga mulus-mulus, lho. Dompetnya cukup untuk menaruh uang kertas tanpa dilipat. Atau kalaupun dilipat, mereka diajarkan untuk melipat uang hanya menjadi tiga bagian sama besar, bukan dilipat berkali-kali sehingga menjadi bagian yang sangat kecil. Khusus untuk uang angpao saja, ada tutorial melipatnya, lho.
Kembalian pakai permen? No way!!!
Ini nih, yang terjadi di Indonesia tapi agak mustahil terjadi di Jepang. Tulisan harganya Rp950 tapi tidak ada kembalian Rp50. Atau harga Rp900, uang kembaliannya diganti permen. Kadang, malah diminta untuk didonasikan saja. Kalau mau menolak, takutnya malah jadi ribet. Tapi kalau dibiarin, ya mereka juga tidak mau usaha mencari uang koin untuk kembalian.
Kadang heran, sebenarnya uang terkecil kita itu berapa sih? Katanya, sih, Rp50, tetapi fisiknya saja sudah jarang terlihat. Kalau dianggap Rp100 yang terkecil, kenapa harga masih ada yang berdigit Rp50. Lha terus itu kembaliannya pakai uang apa?
Kan sepertinya tidak etis saja kalau memberi harga barang yang sekiranya bakal susah uang kembaliannya. Masa iya beli cokelat harga Rp450, harus beli dua dulu biar ada kembalian? Atau jangan-jangan memang marketing ya, biar kembaliannya bulat jadinya beli agak banyakan gitu. Eh, gimana?