Nyatanya, Bekerja di Jepang Tak Seindah yang di Angan

Nyatanya, Bekerja di Jepang Tak Seindah yang di Angan

Nyatanya, Bekerja di Jepang Tak Seindah yang di Angan (pixabay.com)

Bagi beberapa orang, bekerja di Jepang adalah sebuah impian. Iming-iming gaji yang tinggi (kalau dibandingkan dengan UMR kita), fasilitas umum yang memadai, dan keindahan alam Jepang yang sangat bagus menjadi daya tarik tersendiri.

Namun, pernahkah melihat adegan ayah Nobita (Nobisuke Nobi) pulang kerja malam hari dalam keadaan mabuk dan ibu Nobita masih setia menunggunya? Di Jepang, yang ayah Nobita lakukan itu bukanlah mitos. Bekerja sebagai salaryman untuk mencicil utang rumah selama 30 tahun lebih seperti yang ayah Shinchan (Hiroshi Nohara) lakukan juga fakta. Selain pekerjaan yang monoton dan lingkungan kerja yang konservatif, bekerja kantoran di Jepang itu sangatlah rumit, pelik, dan tidak mudah.

Berikut beberapa hal yang bisa menjadi gambaran betapa tidak mudahnya bekerja di Jepang.

#1 Karyawan tetap seumur hidup

Di Jepang, mahasiswa semester akhir akan melakukan shuukatsu alias mencari pekerjaan. Kegiatan ini dilakukan sebelum wisuda dan cukup memakan waktu. Selama periode ini, tak heran di kampus akan sering bertemu mahasiswa berpakaian formal untuk wawancara kerja. Setelah mendapatkan pekerjaan, selepas lulus mereka langsung bekerja di tempat itu.

Setelah masa percobaan terlewati, biasanya mereka akan diangkat menjadi karyawan tetap. Umumnya, mereka akan bekerja di perusahaan tersebut seterusnya sampai mereka pensiun nanti, pada usia 60-an. Tradisi kerja seperti ini sudah dimulai sejak zaman Showa atau sekitar 1961. Sampai hari ini pun, salaryman selalu memakai setelan jas saat bekerja, lho.

Di Jepang, orang yang sering berpindah kerja dianggap dame alias “payah, tidak berguna”. Mereka dianggap tidak bisa loyal dan bertahan dalam segala kondisi yang tentunya sulit menemukan pekerjaan lagi di perusahaan lain. Anak muda sekarang lebih berani, lho, kalau sudah tidak betah ya resign, tetapi hal tersebut tidaklah mudah bagi orang zaman dulu.

Bekerja sebagai karyawan kontrak juga dianggap sebagai pekerjaan yang levelnya di bawah “karyawan tetap”. Di Jepang, lulusan freshgraduate dianggap bisa diajari kerja dari nol, setahap demi tahap. Yang jelas, “tidak ada yang instan, semua ada proses yang harus dijalani”, “kesabaran dan kesulitan adalah hal yang baik”, kalimat itulah yang selalu didengungkan oleh lingkungan kerja.

#2 Sistem senioritas dan gaji berjenjang

Sebenarnya kalau sistem senioritas itu di mana saja sama. Akan tetapi, di Jepang sangat kuat sekali senioritas ini. Kouhai (junior) harus selalu “menghormati” senpai (senior), termasuk dalam hal pendapat dan berinovasi. Prestasi dan kenaikan pangkat harus menunggu sesuai urutan, bahkan di lingkungan kampus ada jenjang yang harus dijalani saat ia ingin menjadi profesor. Para junior juga biasanya akan lebih sering dipindah ke kantor cabang. Hal ini sangat lumrah terjadi di perusahaan Jepang.

Ketika atasan mengajak minum-minum, biasanya bawahan akan kesulitan untuk menolaknya. Meskipun sekarang tradisi minum-minum katanya sudah agak berkurang, tetap saja ajakan senior atau atasan akan sangat sulit ditolak junior. Bayangkan saja, kalau ada janjian sama pacar eh tiba-tiba diajak minum sama atasan. Itu belum kalau weekend diajak main golf sama Pak Bos, nggak bakal bisa nolak, deh.

Contoh kecil lain, kita belum bisa pulang dan harus tetap menunggu senior dan atasan pulang terlebih dahulu walaupun pekerjaan kita sudah selesai. Dulu, sewaktu saya bekerja di perusahaan Jepang di Indonesia saja, saya juga mengalami ini. Mengikuti budaya kerja Jepang. Jam lima pulang, tetapi Pak Bos belum ada tanda-tanda pulang. Alhasil ya belum bisa pulang.

Ciri khas lainnya adalah gaji dan pangkat berjenjang. Kenaikan pangkat dari karyawan biasa, kemudian kakarichou, kachou, buchou juga tidaklah hanya ditentukan dari lamanya bekerja saja, tetapi kinerja dan loyalitasnya juga. Besaran gaji freshgraduate setelah dipotong pajak, asuransi, dana pensiun, dan lain-lain, hasil rata-ratanya akan sama di seluruh perusahaan Jepang, yakni sekitar 200.000-250.000 yen (30 juta rupiah) per bulan. Besar ya? Sayangnya, uang segitu cukup mepet untuk hidup di Tokyo.

Jadi, ketika sudah bekerja di Jepang selama 5 tahun, 10 tahun, orang lain akan tahu sekitar berapa gaji mereka. Biasanya karyawan single dan sudah bekerja lama tetapi mobilnya masih kuno, ia akan diledek “Uangmu buat apa, kenapa pelit sama diri sendiri?” Di Jepang ada juga lho, hal julid semacam ini.

#3 Jam kerja yang panjang

Urusan jam kerja ini sebenarnya memang agak pelik. Di Jepang, meskipun tulisan jam kerja 8.00 – 17. 00 misalnya, karyawan harus berangkat sebelum jam 8 (minimal 20 menit sebelumnya) dan biasanya akan pulang setelah jam 17. Tidak ada kebiasaan teng-go di sana. Ada istilah zangyou-saabisu (servis lembur), semacam lembur sebagai “ucapan” terima kasih karena sudah “diizinkan” bekerja di sana. Intinya, bisa pulang kerja tepat waktu di Jepang adalah mitos.

Pada 2018, menurut data, jam kerja Jepang dalam setahun sekitar 1.680 jam, lebih tinggi dari Inggris 1.538 jam, Perancis 1.520 jam, dan Jerman 1.363 jam. Ketika Pemerintah Jepang menyarankan para perusahaan agar bekerja selama empat hari saja dalam seminggu, ibarat angin lalu, tak tahu kapan beneran akan terealisasi. Nyatanya, pada tahun 2019 hanya lima persen saja perusahaan yang menjalankan jam kerja fleksibel. Pokoknya, susah deh.

Lantas, kenapa orang Jepang jam kerjanya panjang?

Biasanya karena bekerja lembur itu sudah sewajarnya (baik yang dibayar atau yang tidak dibayar), tidak bisa menolak pekerjaan, ketrampilan IT dan produktivitas tenaga kerja yang rendah, takut gagal, dan kebiasaan melakukan pekerjaan secara analog (fax, stempel, dll). Yang paling ngeri lagi, ada dalam diri karyawan Jepang kalau mereka merasa bersalah saat mengambil cuti berbayar. Padahal jelas-jelas cuti adalah hak karyawan, kan? Wow.

Bayangkan saja, bagaimana tersiksanya perempuan yang mengambil cuti melahirkan dan pengasuhan. Bukan rahasia lagi, akhirnya banyak perempuan Jepang yang memilih berhenti bekerja setelah memiliki anak karena tiada dukungan dari perusahaan, pemerintah, dan suaminya juga harus tetap bekerja.

Tradisi turun temurun yang terjadi dalam budaya kerja Jepang akan sulit untuk diubah oleh Jepang yang sangat kental feodalismenya. Pada April 2019, meskipun ada perbaikan UU ketenagakerjaan, tetap saja karyawan Jepang merasa pekewuh untuk mengambil cuti dan pulang kerja tepat waktu.

Jadi, ayah Nobita dan Shinchan pulang kerja tepat waktu atau minimal saat matahari belum tenggelam itu mungkin menjadi adegan yang sangat langka. Ayah Kenichi dalam serial Ninja Hattori juga termasuk salaryman yang sering pulang dalam keadaan mabuk, lho. Sudah pulang malam, mabuk lagi, kasihan ya.

Jadi, masih pengin bekerja di Jepang, atau mulai keder melihat fakta-fakta yang ada?

Penulis: Primasari N Dewi
Editor: Rizky Prasetya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version