Nostalgia Kain Sarung

nostalgia sarung

nostalgia sarung

Sudah lama saya tidak salat menggunakan kain sarung—mungkin kali terakhir ketika saya masih duduk di bangku SMP. Namun, kemarin di salah satu masjid di kota Parigi yang terletak di Kabupaten Parigi Moutong, saya yang tidak membawa mukena harus menggunakan sarung karena tak punya pilihan lain. Lalu saya mulai bernostalgia tentang salat berjamaah di masjid hingga trik menggunakan kain sarung agar tidak melorot.

Dulu ketika masih kanak-kanak, salat berjamaah di masjid adalah hal yang paling dinantikan. Terlebih jika bulan Ramadan, waktu salat berjamaah yang biasanya paling ramai di masjid ialah Magrib, Isya, dan Subuh.

Waktu Magrib merupakan waktu yang cukup menarik beserta dengan takjil gratisnya yang melimpah—kue dan es aneka warna itu sangat menggoda untuk dicicipi. Biasanya, orang dewasa akan bertanya, “Betul ba puasa kamu ini? Apa kalau tida ba puasa tida mo di kase kue deng es”. Yang berpuasa dengan lantang menjawab, “Ba puasa!”, sedangkan yang tidak puasa biasanya hanya diam sambil naele-ele poi (tersenyum kecut). Tentu saja pertanyaan itu hanyalah gurauan para orang tua sembari menunggu waktu berbuka.

Memangnya siapa yang berani melarang masyarakat memakan takjil masjid yang memegang semboyan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sungguh akan menjadi perbuatan yang menentang hakikat demokrasi.

Waktu Isya—sebenarnya, salat berjamaah di masjid pada waktu Isya adalah yang paling ramai karena dilanjutkan dengan salat Tarawih yang hanya ada di bulan suci Ramadan. Biasanya, satu minggu pertama akan terlihat setidaknya empat saf perempuan. (Saya tak tau berapa saf lelaki karena belum pernah salat di saf mereka.)

Sejak saya masih kanak-kanak hingga sekarang, sepertinya rumus itu masih berlaku. Rumus di mana jumlah saf akan berkurang seiring dengan bertambahnya hari pada bulan Ramadan. Rumus ini juga berlaku pada salat Subuh selama Ramadan.

Ketika masih anak-anak, saya dan kawan-kawan datang ke masjid dengan membawa alat salat yang terdiri dari satu mukena putih polos dan satu kain sarung bermotif batik atau kotak-kotak. Hal ini berbeda dengan anak-anak sekarang yang datang dengan mukena berwarna warni ditambah berbagai macam motif. Mulai dari tokoh kartun favorit, batik, polkadot, bunga-bunga, hingga motif pisang-pisang yang sempat viral beberapa waktu lalu dan membuat pasar dunia maya maupun dunia nyata dipenuhi gambar pisang berwarna kuning. Ada yang kulitnya masih utuh, ada pula yang telah dikupas setengah. Ada yang satu buah, ada pula yang satu sisir—sejauh ini saya belum pernah melihat yang satu tandan sih. hehe

Dulu, entah kenapa rok yang menjadi pasangan kerudung salat sering mengalami masalah putus karet sehingga sarung biasa dijadikan alternatif pengganti. Dalam memakainya, kami harus saling tolong-menolong agar pengganti rok itu dapat digunakan dengan nyaman. Karena sarung yang hanya diikat secara asal-asalan akan mudah longgar yang mengakibatkan kurangnya konsentrasi dalam beribadah. Dalam situasi terburuk, sarung yang longgar tadi akan melorot. Jika ini terjadi, hampir bisa dipastikan si pemilik sarung akan di-bully hingga beberapa hari kedepan.

Untuk menghindari kelonggaran dan kemelorotan yang berujung pada kurangnya konsentrasi hingga pem-bully-an, kain sarung harus dipasang dengan mantap. Demi mencapai posisi mantap yang dimaksud maka dilakukan trik khusus yang memerlukan bantuan satu orang lain. Inilah yang saya maksud dengan tolong-menolong.

Langkah pertama adalah dengan memasang sarung. Memasang sarung bisa dilakukan dengan cara dimasukkan lewat kepala seperti memakai baju, atau lewat kaki seperti memakai rok. Setelah sarung dipasang hingga setengah badan masuk ke dalam sarung, seorang teman lain akan membantu menarik agar kain sarung meregang. Semakin regang, semakin bagus.

Selanjutnya, si pemakai sarung melakukan gerakan memutar ke arah si pemegang sarung tadi, hingga saluruh kain sarung terlilit dengan erat di tubuh si pemakai. Gerakan ini biasanya dilakukan secara dramatis—meniru putri-putri yang sedang berdansa di film kartun.

Terakhir, adalah menggulung bagian atas sarung hingga kain yang mejadi ciri khas para santri itu terpasang mantap di tubuh. Jika semua langkah diatas telah dilakukan, silahkan duduk menunggu imam memulai salat.

Kemarin, saat salat menggunakan sarung, saya bernostalgia dengan mempraktekkan kembal trik ini. Apakah kamu pernah melakukannya? Tidak ada salahnya bernostalgia, saya jamin hal ini akan menambah daftar alasan anda untuk tersenyum hari ini—sekadar mengingatkan, senyum itu ibadah.

Exit mobile version