Normalisasi Orang Pakai Kaus Band tapi Nggak Ngerti Soal Musiknya

Normalisasi Orang Pakai Kaus Band tapi Nggak Ngerti Soal Musiknya

Normalisasi Orang Pakai Kaus Band tapi Nggak Ngerti Soal Musiknya (pixabay.com)

Kaus band pertama yang saya miliki adalah kaus bergambar logo The Beatles. Di masa itu, saya hanya hafal sedikit lagu dari band keren itu. Secara saya masih awam soal The Beatles, pun kaus itu merupakan hadiah. Pengalaman tak enak saya rasakan saat tiba-tiba seorang pemuda menyerang saya dengan banyak pertanyaan tentang The Beatles.

Mulai dari sejarah, hingga album dan lagu-lagunya. Tentu saya langsung kena mental, apalagi saya disidang di depan banyak orang. Ya, menyebalkan memang. Tapi, saya bisa paham, bahwa di dunia ini manusia itu diciptakan beragam. Dan mas-mas tadi, saya kira masuk ordo kaus band snob. Mereka adalah orang-orang yang menuntut para pengguna kaus band atau musisi, harus benar-benar ngerti soal apa yang disablon di kausnya.

Kita harus mengakui, orang yang pakai kaus band itu punya banyak niatan yang berbeda. Ada yang karena memang suka pun ngerti, dan ini yang diharapkan oleh banyak pihak. Banyak yang nggak ngerti tapi suka desainnya. Bahkan, ada juga yang belum pernah sekali pun dengar band atau musisi yang tertempel di bajunya. Tak bisa dimungkiri, banyak yang geram dengan keadaan seperti itu. Masih banyak yang beranggapan bahwa pakai kausnya berarti harus ngerti musiknya. Ya, nggak harus gitu juga sebenarnya.

Kaus selain untuk menutupi tubuh—yang merupakan hakikat utama pakaian—bisa digunakan sebagai sarana berekspresi juga. Nggak masalah, dong, kalau cuma sekadar mengikuti tren? Ada juga yang kebetulan dikasih hadiah kayak saya. Memang, bakalan lebih asyik kalau ngerti soal musiknya, ngobrolnya enak. Tapi, itu kan kalau buat situ, tak semua orang harus begitu. Saya pernah lihat bapak-bapak jualan cilok pakai kaus berlogo Avenged Sevenfold. Pas saya puji kalau kausnya keren, blio bilang nggak ngerti ini film apaan. Apa si Bapak juga berdosa karena nggak ngerti perihal perbedaan antara band dengan film?

Kalau ada yang pakai kaus band agar terlihat keren, padahal nggak ngerti musiknya, harusnya kita bisa menerima sikap semacam itu. Itu salah satu bentuk ekspresi dan aktualisasi diri lewat fashion. Merdeka dalam berkaus. Kita juga harus mengakui bahwa kaus band tak hanya soal suka dan ngerti musiknya semata. Ini industri fashion yang besar, pun punya pangsa pasar yang bagus. Yang jual saja nggak sok hebat sama konsumennya. Masa kalau mau beli diwawancara dulu, ngerti apa nggak, punya albumnya nggak. Betapa repotnya hidup ini kalau pengin punya kaus saja harus dicecar pertanyaan ndakik-ndakik.

Sudah saatnya kita menormalisasi orang yang memakai kaus band, namun awam soal musik dan apa pun yang berkaitan dengan band tersebut. Semua orang punya hak mau pakai kaus apa pun, dengar musik apa pun, suka musisi manapun, bahkan ngidol grup apa pun sebebas-bebasnya. Kalau saya suka Slayer atau Deadsquad, lalu melihat seseorang mengenakan kaus berlogo dua band itu, cukup pandang dan lupakan. Kalau yang pakai kaus ngerti, ya, nggak apa-apa. Kalau buta sama sekali, juga sah-sah saja. Hidup terlalu singkat kalau hanya digunakan untuk mengurusi kaus orang lain.

Kalau memang kita ngerti dan suka, ya sudah. Tak perlu ngurusin orang lain. Cukup dengarkan, beli merchandise-nya kalau mampu, nikmati, dan jangan jadi orang rempong yang mengganggu orang lain. Kalau ngakunya mengedukasi, bukan begitu caranya. Sebenarnya kelihatan, mana yang ngasih edukasi dan ngobrol santai, sama yang sok paling musik dan pengin dianggap paling ngerti cum berwawasan luas. Menjatuhkan orang lain namun berkedok ngasih edukasi. Para kuli proyek, petani, hingga peserta pawai yang pakai kaus partai, tak semuanya merupakan pemilih dan ngerti soal partai itu beserta jajarannya. Tak semua harus sesuai dengan apa yang terlihat di atributnya.

Yang pakai seragam berlogo pengayom dan pelindung masyarakat pun, tak selalu melindungi dan mengayomi. Yang kelihatan merakyat, bahkan berlabel wakil rakyat pun tak mesti mencintai rakyat. Yang penting, jangan beli kaus bajakan, dosa!

Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Rizky Prasetya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version