Kalian pernah mendengar istilah zero waste? Itu lho, sebuah gerakan peduli lingkungan yang berfokus pada pengurangan sampah. Namanya saja zero waste (nol sampah). Jadi, kita dibiasakan agar tidak terus-terusan menghasilkan sampah yang berpotensi terbuang sia-sia.
Saya tau kalian akan berkata “memangnya bisa? Mana ada manusia di jaman sekarang yang tidak menghasilkan sampah sama sekali??”
Awalnya saya juga ragu. Tapi ternyata ada orang macam it. Mereka sama-sama hidup di muka bumi, makan, mandi, main, njajan, ngupil, tapi mereka nggak menghasilkan sampah sama sekali. Bahkan, akhir-akhir ini gerakan zero waste mulai menjadi tren dan gaya hidup masyarakat urban.
Semua dimulai dari penasaran. Seperti manusia pada umumnya, awalnya saya ikut-ikutan mencibir, eh lama-lama jadi naksir. Sebagai langkah awal, saya PDKT dulu tuh dengan cara mengikuti akun-akun zero waste di instagram, diantaranya: @zerowaste.id_official, @zerowasteadventure, @sustanation, @dk.wardhani, dll.
Dari postingan mereka itulah saya baru sadar bahwa selama ini kita dibodohi perintah “Buanglah sampah pada tempatnya”. Ternyata, sekadar buang sampah pada tempatnya itu nggak cukup. Kita pasti mikir, halah yang penting rumah kita bersih dan bebas dari sampah. Tapi, yang luput dari perhatian adalah: kita tidak pernah tahu kemana sampah-sampah kita berakhir?
Dari tempat sampah depan rumah, diangkut menuju TPS, lalu dibawa ke TPA. Di situlah sampah seluruh warga kota ditimbun bertahun-tahun hingga membentuk gunung-gemunung. Menurut data Dinas Lingkungan Hidup, volume sampah di Jakarta saja mencapai 7500 ton per hari. Itu sudah kayak membangun candi Borobudur setiap hari cuy!
Ibaratnya, rumah kita kebanjiran akibat keran air jebol. Kalau kita cuma bersihin air yang menggenang tanpa menutup keran airnya ya nggak bakal surut tuh banjir. Sama kayak masalah sampah. Kalau kita terus-terusan menghasilkan sampah (meskipun sampah tersebut sudah kita buang pada tempatnya) ya tetap aja jadi masalah di TPA.
Inilah pentingnya memulai gaya hidup zero waste. Hindari penggunaan barang sekali pakai dan mulai biasakan daur ulang sampah. Kalau bisa, penuhi segala kebutuhan dengan membuatnya sendiri agar tidak membawa pulang sampah. Mulai dari bikin sabun mandi sendiri, minyak goreng sendiri, dll. Langkah yang ketiga ini memang paling susah sih. Baru aktivis zero waste tingkat sufi yang sudah berhasil melakoninya.
Sebaiknya, kita fokus dan istiqomah pada upaya zero waste paling dasar, yaitu hindari penggunaan barang sekali pakai. Kalian pasti sudah familiar dengan gerakan untuk membawa botol minum, wadah makan, tas belanja, hingga sedotan ramah lingkungan yang bisa digunakan berulang-ulang. Nah, itu adalah salah satu bentuk zero waste paling dasar.
Tidak perlu bingung beli tumbler atau sedotan stainless yang harganya fantastis. Gunakan yang ada saja. Karena kunci zero waste adalah bijak dalam mengatur konsumsi sehari-hari.
Mungkin, hal yang lebih penting untuk kalian siapkan adalah mental. Ini nggak main-main,serius. Pertama kali bawa tas belanja sendiri dan menolak tas kresek dari mbak-mbak kasir Alfamart itu rasanya kayak uji nyali.
Kedengarannya lebay, tapi coba bayangkan: Kalian ngantri di kasir, lalu harus menolak tas kresek yang harganya cuma 200 perak demi memulai zero waste. Kemudian, kalian malu-malu mengeluarkan tas belanja sendiri, sementara ibu-ibu yang ngantri di sebelah nyinyir, “Saya pakai tas kresek aja mbak. Nggak papa, cuma nambah 200 perak aja kok,”
What the fuuu!!! Niat saya untuk mengurangi sampah malah dicap ‘terlalu pelit’ mengeluarkan 200 perak.
Tidak berhenti di situ saja. Saat saya mulai membiasakan beli makan dengan membawa wadah sendiri, para penjualnya yang justru memaksa saya pakai kantong plastik. Saya berusaha menolak, tapi mereka bersikukuh membungkus wadah makan saya dengan plastik. Saya pun tak kuasa menolak, sampai akhirnya mereka membisiki saya, “Biar dapat lamaran Mbak”
Apaan sih maksudnya? Apa hubungannya sama ‘dapat lamaran’?
Kayaknya salah denger deh, saya meyakinkan diri saya seperti itu. Anehnya, kejadian itu berulang sampai lebih dari lima kali di penjual yang berbeda-beda. Ternyata ada mitosnya di Jawa. Mitosnya adalah kita harus memasukkan barang-barang yang kita beli ke dalam kantong kresek kalau ingin mendapat lamaran.
Sumpah, ini adalah mitos paling aneh yang pernah saya dengar. Bahkan, ada seorang penjual baju yang memasang wajah penuh amarah saat saya menolak tas kreseknya. Padahal, saya sudah siap memasukkan baju yang saya beli ke dalam ransel. Tapi, beliau berkali-kali memarahi saya, “Gak ilok nak, gak ilok… nanti nggak dapat jodoh lho!”
Ya Allah, ini mitos apaan sih?? Apakah wajahku terlihat sejones itu sampai para penjual yang tak kukenal mengkhawatirkan kedatangan jodoh hamba?? Apakah ini penyebabnya diriku tak ada yang melamar?
Beginilah susahnya hidup di negara yang kaya akan mitos. Akhirnya, semua kembali lagi pada niat kita, masih mau melanjutkan zero waste atau cukup menyerah sampai di sini. Kalau sebelumnya kita dibodohi perintah “Buanglah sampah pada tempatnya”. Sekarang jangan sampai kita dibodohi lagi oleh mitos-mitos yang tak terbukti kebenarannya itu.
BACA JUGA Nebak Karakter Orang dengan Modal Stalking Instagram dan tulisan Riris Aditia N. lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
—